Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

BBG sebagai Pengganti BBM

Kompas.com - 13/09/2012, 02:02 WIB

Konsumen juga harus rela mengorbankan performa mesin, di samping daya angkut penumpang atau barang berkurang dan daya jangkau lebih pendek. Ditambah lagi keraguan konsumen akan aspek keselamatan, mengingat tabung CNG memiliki tekanan sangat tinggi (200-275 atmosfer/bar), 35 kali lebih tinggi daripada tabung LPG. Walaupun statistik menunjukkan risiko tabung CNG tidak lebih tinggi dibandingkan tangki bensin.

Konsekuensi tersebut dapat dilihat dari pengalaman Iran, Pakistan, Argentina, Brasil, dan India. Di Argentina, misalnya, terdapat hampir 2 juta kendaraan dengan 1.800-an tempat pengisian (SPBBG). Di situ terlihat perlu SPPBG dalam jumlah besar dengan rasio 1:1000 kendaraan.

Harga yang jauh lebih rendah saja ternyata tak cukup menarik untuk memindahkan konsumen beralih ke BBG. Bahkan, di Amerika Serikat—yang sudah memperkenalkan CNG sejak 1940-an, populasi pemakainya sekarang hanya 120.000 kendaraan (dari total sekitar 400 juta kendaraan). Padahal, harga CNG hanya 30-40 persen dari harga BBM dan para pemakainya diberi diskon pajak sangat menarik atas harga kendaraannya. Maka, tak mengherankan bila negara-negara utama yang mendorong CNG selalu melakukan ”pemaksaan” melalui regulasi, ditambah insentif khusus bagi kendaraan umum. Infrastruktur distribusinya pun dibangun pemerintah, ditambah insentif besar bagi distributornya.

Bagaimana kita? Kita telah mencobanya pada awal 1990-an, tetapi pemakaiannya tak berkembang, lalu surut. Dari 18 SPBBG yang pernah dibangun di Jakarta, Surabaya, dan Cirebon, saat ini tinggal 25 persen yang masih beroperasi. Mengapa ini terjadi? Sekali lagi, perencanaan, arah, tujuan, dan konsistensi programnya tak jelas. Populasi kendaraan pemakai terus turun. Taksi yang dulu diberi insentif bila pakai BBG, pada waktu peremajaan kendaraan, insentifnya ”hilang” begitu saja. Juga kontinuitas suplai gasnya bermasalah.

Maka, pemakaian BBG bagi kendaraan bermotor perlu perencanaan, program, dan strategi implementasi yang matang. Dari pengambil kebijakan pun perlu kepemimpinan yang kuat. Pengalaman dalam kebijakan BBG di masa lalu, pengalaman negara lain, dan keberhasilan kita pada program konversi minyak tanah ke elpiji sudah merupakan acuan yang lebih dari cukup. Uji coba sudah tidak diperlukan lagi.

Namun, yang pasti, upaya mendorong pemakaian BBG perlu waktu panjang. Jangan berharap jadi solusi instan pengganti BBM bersubsidi.

Dari segi harga pun jangan berharap harga gas bisa sangat murah seperti di AS. Gas bumi kita ke depan akan makin tinggi harganya karena lokasi sumber daya alamnya berada di daerah terpencil, struktur geologi yang sulit dan komposisi gasnya kurang baik sehingga biaya produksi dan transportasi ke pusat konsumsi akan relatif tinggi. Meskipun harga gas bumi masih akan lebih rendah daripada harga keekonomian BBM.

Bagaimana ke depan?

Kalau kita serius ingin mendorong BBG sebagai pengganti BBM, perlu dibuat rencana induk pemakaian gas yang menyeluruh, berikut peta jalan program dan strategi implementasinya, ditambah kepemimpinan yang konsisten. Semua itu perlu dikemas dalam kerangka diversifikasi energi, khususnya dari BBM ke BBG. Harus dipahami pula sifat gas bumi berikut struktur bisnisnya yang membutuhkan infrastruktur yang sangat ekstensif dengan biaya besar dan waktu yang panjang.

Mengisolasi suatu rencana pemakaian BBG/CNG untuk kendaraan bermotor sebagai program tersendiri akan sangat mahal. Kebutuhan untuk penyediaan infrastruktur distribusi akan sangat besar dan tidak mungkin hanya ditugaskan pada BUMN (Pertamina dan PGN). Program ini harus dikemas dalam suatu rencana induk program diversifikasi energi. Program ini akan cocok bila merupakan salah satu subprogram yang sekaligus untuk distribusi gas bumi ke rumah tangga dan gas kota (city gas), yang dapat menggantikan elpiji yang masih perlu diimpor.

Rencana pemakaian BBG untuk kendaraan bermotor sebagai upaya bahan bakar alternatif bagi BBM bersubsidi tidak akan berhasil dalam waktu singkat. Apa yang terlihat akan dilakukan, berupa program kilat dan uji coba, hanya akan membuang waktu dan sumber daya finansial saja.

Ari Soemarno Mantan Direktur Utama Pertamina; Kini Konsultan Migas

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com