Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentu harus dihormati. Putusan telah dibuat dan tidak ada jalan lain bagi semua pihak kecuali menjalankan. Tindakan cepat pemerintah untuk membentuk UPKHM tentu harus diapresiasi. Ini untuk mencegah kevakuman hukum dan terciptanya kepastian sebagai konsekuensi bubarnya BP Migas.
Menjadi pertanyaan, dengan adanya UPKHM Migas, apakah posisi negara lebih baik sebelum BP Migas dibubarkan? Untuk mendapatkan jawaban tersebut, maka perlu dipahami tiga model hubungan pemerintah dengan pelaku usaha dalam pengelolaan sumber daya alam.
Model pertama adalah model hubungan kontraktual antara pemerintah dan pelaku usaha (government to business). Model ini dikembangkan di sektor mineral dan batubara dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967. Contohnya kontrak karya antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia atau pemerintah dan PT Newmont Nusa Tenggara.
Hanya saja, rezim kontrak berdasarkan UU No 11/1967 telah ditinggalkan dan diganti dengan rezim izin berdasarkan UU No 4/2009. Dalam hubungan kontraktual kedudukan pemerintah setara dengan pelaku bisnis, sesuatu yang sebenarnya ingin dihindari oleh para pemohon uji materi atas UU Migas, termasuk keinginan dari MK.
Model kedua adalah hubungan kontraktual antara lembaga usaha yang terpisah dari negara tetapi berada dalam kendali negara. Dalam model kedua ini, lembaga usaha yang ditunjuk oleh negara berkontrak dengan kontraktor. Pertamina sebelum berlakunya UU Migas dan adanya BP Migas adalah perwujudan model ini.
Kelebihan dari Pertamina berdasarkan UU No 8/1971 dibandingkan dengan BP Migas adalah Pertamina memiliki kewenangan sebagai regulator. Berdasarkan UU Migas 2001, kewenangan sebagai regulator telah dikembalikan ke Direktorat Jenderal Migas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). BP Migas hanya badan hukum yang didirikan oleh negara untuk berkontrak dengan kontraktor.
Dua model di atas merupakan model kontrak yang dianut di suatu negara atas pengelolaan sumber daya alam.