Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebijakan Baru Bisa Jadi Alat Legitimasi Ekspansi

Kompas.com - 06/02/2013, 23:34 WIB
Hamzirwan

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Organisasi nonpemerintah Greenomics Indonesia mengecam kebijakan baru Konservasi Hutan Asia Pulp and Paper, yang diluncurkan pada 5 Februari 2013. Kebijakan ini dinilai bisa menjadi alat legitimasi baru bagi Asia Pulp and Paper untuk ekspansi.

Demikian disampaikan Koordinator Program Nasional Greenomics Indonesia, Vanda Mutia Dewi, dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Rabu (6/2/2013).

Asia Pulp & Paper Group (APP) mengumumkan, terhitung sejak 1 Februari 2013, semua pemasok APP telah menangguhkan aktivitas pembukaan lahan hutan alam, hingga selesainya penilaian independen untuk mengidentifikasi area bernilai konservasi tinggi.

APP mengumumkan kebijakan perlindungan hutan pada Selasa (5/2/2013), dalam acara peluncuran laporan kemajuan triwulan kedua dari Peta Jalan Keberlanjutan APP Visi 2020 yang dikeluarkan pada Juni 2012.

"Pengumuman ini merupakan sebuah komitmen dan investasi yang besar dari Grup APP," kata Teguh Ganda Wijaya, Pemimpin APP.

Menurut Vanda, kebijakan baru APP tersebut perlu diakui sebagai komitmen yang baik dari segi konservasi hutan dan lahan gambut, namun pihak-pihak yang terlibat dalam memformulasikan kebijakan APP itu tampak sangat lengah.

Melalui kebijakan APP itu, APP tetap dapat berekspansi untuk memperoleh izin-izin baru hutan tanaman Industri (HTI), termasuk mengakuisisi izin-izin lama seperti yang dilakukannya selama ini, sepanjang APP terus berkomitmen untuk menerapkan kebijakan konservasi hutannya tersebut. Ini merupakan kelengahan mendasar.

Greenomics menilai, aturan tentang ekspansi APP yang terdapat dalam kebijakan konservasi hutan APP tersebut terlihat tidak ketat, sangat sederhana dan tidak berimbang, jika dibandingkan dengan aturan-aturan terhadap perlindungan hutan dan lahan gambut.

Ini menunjukkan, kebijakan konservasi hutan APP tersebut tidak sensitif terhadap aspek konglomerasi lahan HTI di Indonesia, yang secara dominan hanya dikuasai oleh dua grup bisnis saja, yang terbesar adalah APP. Pihak APP mengakui, APP dan mitranya memiliki lahan HTI seluas 2,5 juta hektar.  

"Fakta hukumnya, hampir seluruh areal konsesi HTI tersebut dikendalikan dan dioperasikan oleh APP. Ada yang dimilikinya secara langsung. Ada yang diakuinya memiliki keterkaitan saham. Ada yang dikuasainya lewat kerjasama operasinal. Ada yang diperolehnya melalui hasil akusisi, termasuk mengakuisisi perusahaan BUMN kehutanan," kata Vanda.

Menurut Vanda, data ini mengacu laporan resmi yang disampaikan oleh perusahaan-perusahaan grup APP tersebut kepada Kementerian Kehutanan, serta dokumen-dokumen legal dari pihak perusahaan grup APP sendiri.

"Sebagai contoh, APP tidak mengakui kepemilikan izin HTI-nya di Provinsi Sumatera Selatan. Padahal, dalam dokumen-dokumen resmi yang mereka serahkan ke Kementerian Kehutanan menunjukkan, hampir 800.000 hektar dimiliki oleh anak-anak usaha APP," kata Vanda.

Penguasaan lahan HTI seluas 2,5 juta hektar oleh grup APP tersebut, sudah lebih dari cukup sebagai sumber pasokan bahan baku industri pulp dan kertasnya. Greenomics meminta Kementerian Kehutanan, untuk menghentikan ekspansi konglomerasi lahan HTI di Indonesia.

"Ada bukti, Menhut Zulkifli Hasan pernah menolak usulan izin baru HTI oleh grup APP seluas ratusan ribu hektar di sebuah provinsi di Sumatera dengan alasan sangat sederhana," ujar Vanda.

Alasan penolakan itu, lanjut Vanda, ternyata pihak Sinarmas Forestry tidak merespon permintaan Kementerian Kehutanan untuk melaporkan kinerja penanaman HTI yang telah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di bawah grupnya tersebut, termasuk menyertakan nama perusahaan-perusahaan yang dimilikinya, dan nama perusahaan-perusahaan yang dioperasikannya.

Greenomics berpendapat, fakta tersebut memperlihatkan bahwa ekspansi konglomerasi lahan HTI menjadi faktor yang harus mendapat perhatian serius, tidak hanya oleh grup APP.

"Jangan sampai, hanya karena APP berkomitmen untuk tidak menggunakan ba han baku dari hutan alam, kita bisa menutup mata atas praktek-praktek ekspansi konglomerasi lahan HTI melalui kebijakan konservasi hutan APP tersebut. Kita harus sensitif terhadap persoalan ini," tegas Vanda

Greenpeace mendukung

Sementara itu organisasi nonpemerintah asing Greenpeace dalam siaran persnya menyambut baik komitmen APP yang diumumkan di Jakarta, Selasa (5/2/2013), untuk menghentikan deforestasi sebagai upaya untuk menyelamatkan hutan Indonesia yang tersisa. Sebelum ini, selama satu dekade mendapatkan tekanan dari publik dan melakukan sejumlah perundingan dengan Greenpeace.

APP, salah satu produsen kertas dan kemasan terbesar di dunia, telah mengumumkan Kebijakan Konservasi Hutan, yang jika ini benar-benar dilaksanakan, mampu meruntuhkan sejarah kontroversial kerusakan hutan yang sudah mereka lakukan.  

"Kami memuji APP atas komitmen baru mereka untuk mengakhiri deforestasi, namun apa yang sebenarnya terjadi di hutan itu lebih penting dan kami akan terus memantau perkembangannya. Jika APP sepenuhnya menerapkan kebijakan baru tersebut, maka ini akan menandai perubahan dramatis, setelah bertahun-tahun terlibat dalam deforestasi di Indonesia," kata Bustar Maitar, Kepala Kampanye Hutan Indonesia.

Hutan hujan Indonesia merupakan habitat penting bagi spesies yang terancam punah termasuk harimau sumatera, dan hunian bagi ribuan komunitas local yang tergantung terhadap hutan. Pemerintah Indonesia telah mengidentifikasi bahwa industri pulp dan kertas merupakan sektor yang memimpin laju deforestasi di Indonesia, begitu pula dengan sektor kelapa sawit.

Di Indonesia, Greenpeace berkampanye untuk penyelamatan lingkungan Indonesia, serta keadilan lingkungan bagi seluruh masyarakat, memastikan pengelolaan lingkungan dapat membawa kemaslahatan bagi masyarakat, serta perekonomian Indonesia tanpa harus menimbulkan kerusakan yang berarti.

"Setelah menelaah secara mendalam, komitmen ini juga membuka ruang penyelesaian konflik-konflik sosial secara damai, di tengah meningkatnya tindakan kekerasan yang dipicu oleh konflik lahan antara masyarakat lokal dan perusahaan," ucap Longgena Ginting, Kepala Greenpeace Indonesia.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com