Jakarta, Kompas
Keistimewaan bagi kapal pukat cincin 1.000 GT itu tercantum dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, yang disahkan tanggal 27 Desember 2012.
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Rokhmin Dahuri, yang juga mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, di Jakarta, Minggu (24/2), menyatakan, kebijakan itu menunjukkan Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak konsisten dengan program industrialisasi perikanan yang telah dicanangkan guna membangkitkan usaha hulu-hilir perikanan.
Ia mengatakan, izin penangkapan ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) dan laut lepas untuk diangkut ke luar negeri, akan menggagalkan upaya pemerintah untuk menghidupkan industri hilir perikanan yang mati suri selama lima tahun terakhir akibat kekurangan bahan baku.
Keistimewaan yang diberikan bagi kapal pukat cincin lebih dari 1.000 gros ton (GT) dipastikan akan merugikan dan menggerus daya saing nelayan nasional yang didominasi oleh kapal-kapal kecil di bawah 100 GT.
Selama ini, kapal-kapal nelayan kecil berukuran 20-100 GT telah menjangkau wilayah penangkapan hingga ZEEI dan laut lepas. Di antaranya nelayan di Bali, selatan Jawa, dan pantai barat Sumatera dengan wilayah tangkapan sampai ke Samudra Hindia. Selain itu, nelayan di Morotai, dan Bitung yang menjangkau sampai Samudra Pasifik.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo menyatakan, izin bagi kapal pukat cincin lebih dari 1.000 GT merupakan peluang negara mengelola perairan yang belum banyak disentuh kapal ikan Indonesia. Kapal ikan nasional saat ini belum bisa menjangkau ikan sampai ke laut lepas, karena rata-rata kapal itu berkapasitas di bawah 100 GT.