Hanya 11,3 persen mengetahui bahwa hak tersebut dijamin undang-undang. Artinya, masih sedikit konsumen yang pa ham akan hak-haknya. Hal ini menjadi celah bagi peredaran barang tak layak.
Untuk memacu kesadaran konsumen, Kementerian Perdagangan telah meluncurkan sistem pengawasan perlindungan konsumen secara daring (online). Sistem ini memiliki jaringan pengaduan di 33 provinsi.
Sistem tersebut bisa diakses melalui http://siswaspk.kemendag.go.id. Lewat saluran tersebut, konsumen tak perlu mengadu lewat e-mail, Facebook, atau Twitter, yang sering kali menyebabkan kriminalisasi terhadap konsumen, seperti pada kasus Prita.
Ketentuan soal perlindungan konsumen sebenarnya sudah banyak. Selain Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, setidaknya masih ada lima UU lagi yang juga mengatur perlindungan konsumen. Sebut saja UU No 5/1984 tentang Perindu strian dan UU No 7/1996 tentang Pangan. Namun, aturan-aturan tersebut belum efektif melindungi konsumen.
Semakin banyak konsumen yang kritis, secara otomatis peredaran barang-barang tidak layak berkurang dengan sendirinya. Konsumen cerdas juga lebih mencin tai produk dalam negeri ketimbang produk impor. Gerakan mencintai dan membeli produk lokal menjadi benteng terakhir di tengah derasnya aliran barang-barang impor. Dengan mengabaikan produk impor, industri dalam negeri akan tumbuh dan pengangguran pun semakin berkurang.
Konsumen cerdas yang memilih produk berkualitas dan produksi dalam negeri, menjadi motor penggerak bagi pertumbuhan ekonomi. Semakin banyaknya konsumen cerdas diharapkan bisa mengerem impor dan mendorong ekspor. Postur ekspor-impor yang sehat membuat pertumbuhan ekonomi maksimal. (ENY PRIHTIYANI)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.