KOMPAS.com - Meski sering dianggap sebagai makanan ”rendahan”, tempe yang kosong membuat warga kelimpungan. Di Pasar Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, misalnya, sejumlah warga kecewa karena tidak menemukan satu pun lapak yang menjual tahu ataupun tempe. ”Kosong semua. Tidak ada yang jualan tempe,” kata Sani (37), seorang warga.
Aktivitas di pasar yang lokasinya berdampingan dengan perkampungan sentra industri tempe dan tahu Kedaung, Pamulang, Tangerang Selatan, ini berjalan normal. Namun, di pasar ini tidak ditemukan lapak yang menjual tempe atau tahu.
Menurut Totok Subroto, Wakil Ketua Koperasi Perajin Tahu Tempe Indonesia Tangerang Selatan, perajin bakal mulai berjualan pada Kamis. Mereka meminta maaf kepada warga karena mogok dan menaikkan harga jual agar usaha mereka tidak bangkrut.
”Sulit dengan harga itu. Biaya pengolahan untuk tiap kilogram kedelai, seperti untuk ragi, plastik, daun pisang, dan tenaga, rata-rata Rp 3.000. Sementara kedelai sekarang sudah mencapai Rp 9.400 per kilogram. Jadi, total biaya produksinya sekitar Rp 12.400,” tutur Totok.
Akan tetapi, akibat mogok operasi sejak Minggu (8/9/2013) hingga Rabu (11/9/2013), sejumlah pekerja tidak mendapat upah harian yang rata-rata mencapai Rp 25.000 per hari.
”Bagaimana mau mengupah mereka, wong enggak ada produksi jadi enggak ada penghasilan. Mereka (pekerja) juga mendukung aksi mogok beroperasi ini. Mereka baru bekerja setelah aksi mogok,” kata Sumarni (49), perajin tahu dan tempe, di Gang Jambu, Cipondoh, Kota Tangerang, Banten, yang sudah lima tahun meneruskan usaha ayahnya.
Hal sama juga dikemukakan Tarjo (57), perajin tempe asal Pekalongan, Jawa Tengah, di Gang Haji Aom, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Menurut Tarjo, dia harus mendukung langkah mogok produksi tempe yang kini dilakukan perajin tempe dan tahu yang tergabung dalam Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo).
”Ini pelajaran buat pemerintah yang tak mau perhatian ke ’anak-anaknya’,” ujar perajin tempe yang sudah berusaha sejak tahun 1978 silam.
Untungnya, Tarjo membuka warung kecil-kecilan di rumahnya sehingga bisa menambah penghasilan.
”Wah, kalau enggak ada warung istri saya, saya sudah bangkrut, Mas,” katanya.
Imbas kenaikan harga tersebut membuat pedagang gorengan waswas. Pedagang gorengan di Pasar Kebayoran Lama mengaku bingung. ”Pasti naik, tetapi belum tahu berapa. Harus lihat dulu dari pemasok. Tetapi, mungkin minimal 10-20 persen,” kata Trimo, pedagang tahu.
Tidak terkendali
Menurut Trimo, harga tempe dan tahu sempat tidak terkendali kenaikannya selama dua pekan terakhir. Harga tempe satu papan biasanya Rp 5.000 kini sampai Rp 7.500-Rp 8.000. Tahu rata-rata sudah naik, dari awalnya Rp 2.000 per 10 buah untuk ukuran kecil, menjadi Rp 3.000.
Mereka bingung harus menjual gorengannya dengan harga berapa. Hal itu yang dirasakan Asep. ”Saya itu sudah lima tahun jual gorengan. Dari gorengan masih Rp 200 per biji sampai sekarang Rp 1.000 per biji. Naik lima kali lipat, untuk tempe tepung yang ukurannya sama,” kata Asep, tukang gorengan di Taman Puring, Jakarta Selatan.
Pada akhirnya seluruh kenaikan itu dikembalikan Asep dan Trimo kepada konsumen yang menganggap lauk tempe dan tahu goreng, murah, kaya protein, dan enak.
Hilangnya tempe dan tahu di warteg juga dikeluhkan sopir angkutan umum yang mangkal di Kebayoran Lama. ”Beli bensin makin mahal, makanan juga mahal. Bisa-bisa kerja seharian, untuk makan saja tetap tidak cukup,” kata Benny, sopir bus umum.
Kekecewaan juga dirasakan beberapa karyawan swasta di kawasan Pasar Kenari, Salemba, Jakarta Pusat, Selasa siang, yang biasa makan nasi di warteg dengan lauk tempe dan tahu goreng. Sebab, warteg langganan itu tidak lagi menyediakan makanan kesukaan mereka.
”Saya terus terang tidak semangat makan kalau tidak megang tempe atau tahu goreng sambil mencocol sambal,” ujar pria berkumis yang makan di warung itu.
Udin (25), penjual nasi warteg, juga tidak bisa menjelaskan kepada pelanggannya kapan wartegnya kembali menjual menu tempe dan tahu goreng.
”Katanya sih tiga hari. Rabu ini sudah bikin tempe lagi, tetapi enggak tahu deh. Mudah-mudahan sih bener,” kata Udin.
Asriah (30), pedagang gorengan di depan Plaza Senayan, mengaku, sejak tak lagi menjual tempe dan tahu goreng pada Senin lalu, dagangannya tak terlalu ramai.
”Yang selalu ditanya adalah goreng tempe atau tahu. Kalau tak ada goreng tahu dan tempe, mereka tak jadi beli,” ujar Asriah, yang hanya menjual singkong, bakwan, ubi, dan cimol.
Oleh karena itu, ia menolak perajin tempe ikutan-ikutan seperti mahasiswa melakukan aksi mogok.
”Kalau memang mau dinaikin harga tempe atau tahunya, silakan saja, tetapi jangan mogok bikin tempe. Kan, yang rugi, kita-kita juga yang cuma pedagang kecil,” ujarnya. (ART/NEL/RAY/PIN/HAR/JOS)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.