Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ekonomi 2015 dan Krisis 1997

Kompas.com - 02/09/2015, 15:01 WIB

Katanya OJK sudah melakukan stress test, tetapi tak pernah diumumkan asumsi ataupun metoda perhitungannya. Di tengah gejolak eksternal dan eksesnya, sulit membayangkan bagaimana nasabah kredit bank di sektor pertambangan, pertanian dan real estat, ataupun manufaktur bisa melunasi kredit tepat waktu.

Sebelum krisis tahun 1997, Bank Indonesia juga selalu mengatakan industri perbankan sehat, cukup modal, dan rasio kredit macet sangat kecil karena sebagian besar kredit bank adalah kredit program yang diasuransikan Askrindo. Sumber dana pun disediakan BI lewat kredit likuiditas. Namun, semua hanya ilusi karena pemeriksaan bank hanya memantau apakah kredit sudah disalurkan sesuai sasaran tanpa memperhitungkan delapan jenis risiko yang dihadapi. Pemeriksaan pembukuan bank pun banyak bohongnya sehingga harus diperiksa ulang kantor akuntan internasional pasca krisis.

Selain dari krisis perbankan, krisis ekonomi 1997 juga terjadi karena besarnya pinjaman luar negeri sektor korporat. Karena tak ada kewajiban melapor ke BI, tidak diketahui jumlah utang luar negeri swasta. Baru ketahuan ketika utang luar negeri harus diambil alih pemerintah.

Waktu itu, dunia usaha Indonesia merupakan sekelompok kecil kroni Orde Baru yang menerima limpahan privatisasi, berupa transfer monopoli dari sektor negara. Mereka menjadi pemilik proyek besar, seperti tol, pembangkit listrik, telepon, dan air minum. Karena tidak punya modal, para kroni itu meminjam kredit jangka pendek dalam mata uang asing dari bank di luar negeri.

Terjadilah dua bentuk kesalahan (the original sins). Kesalahan pertama adalah kredit jangka pendek untuk membelanjai proyek jangka panjang. Terjadilah kesenjangan jangka waktu (maturity mismatch). Kesalahan kedua, kredit dalam valuta asing untuk membiayai proyek dengan penerimaan rupiah. Terjadilah kesenjangan mata uang (currency mismatch).

Dewasa ini, pinjaman luar negeri sektor swasta menjadi lebih luas, termasuk sektor pertambangan, perkebunan, perikanan laut, real estat, perhubungan laut dan udara, serta industri pariwisata. Seperti di masa lalu, pengusaha Indonesia penggelap pajak memarkir uang hasil ekspornya di Singapura dan tidak pernah melaporkan pinjaman luar negerinya. Banyak penggelap pajak yang dibekingi pejabat.

Jalan keluar

Kebijakan pemerintahan Jokowi menggambarkan tidak ada ahli strategi ekonomi makro dalam pemerintahan. Koordinasi pun tidak ada karena kabinet terlalu bongsor organisasinya dan berantam melulu.

Penghapusan subsidi listrik dan BBM sudah tepat karena hanya dinikmati orang kaya dan mengalihkannya untuk pembangunan infrastruktur. Namun, program kesehatan melalui BPJS terlalu luas dan mahal sehingga akan membebani anggaran negara lebih besar daripada penghematan subsidi BBM dan listrik.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com