“Tak penting itu ekolabel dikeluarkan siapa, yang penting masyarakat bisa memahami dulu apa itu ekolabel,” jelas Dewi.
Jika masyarakat sudah paham dengan ekolabel, lanjut Dewi, maka secara otomatis tuntutan terhadap produk ekolabel itu sendiri bakal muncul. Contohnya sertifikat halal. Banyak konsumen, terutama muslim, yang menjadikan sertifikat halal sebagai salah satu pertimbangan utama dalam membeli sebuah produk kemasan.
“Nah, tahapan sekarang memberikan pengertian apa itu produk yang baik, karena sekarang kebanyakan produk yang murah namun belum tentu memiliki asal usul yang baik,” tandas dia.
Dewi melanjutkan, kampanye beli yang baik ditargetkan kepada produsen dan konsumen. Produsen diharapkan memproduksi produk yang ekolabel sehingga kelestarian alam tetap terjaga, dan konsumen diminta membeli produk yang baik sehingga ikut juga menjaga bumi.
Togar Sitanggang, Senior Manager Corporate Affairs PT Musim Mas mengatakan, permintaan produk ekolabel di Indonesia masih minim. Pihaknya pernah memproduksi minyak kelapa sawit berlabel RSPO hingga jutaan ton. Namun yang diminta konsumen hanya 20 ton. Sedangkan untuk mendapatkan label RSPO itu membutuhkan biaya yang tidak kecil dan effort yang besar.
Menurut dia, persoalannya adalah bahwa masyarakat hanya melihat harga, belum sampai pada label RSPO atau kaitannya dengan perusahaan. Sementara bisnis harus tetap berjalan. Permintaan pasar sangat penting bagi keberlangsung perusahaan.
Dengan demikian, kendati perkebunannya sudah memiliki sertifikat RSPO, namun produk turunannya yang beredar di pasaran belum mendapatkan ekolabel tersebut. Namun hal itu bukan berarti bahwa produk turunannya itu tidak ramah lingkungan.
“Anda jangan melihat produk itu dari satu sisi saja, yakni yang baik, tetapi juga harus mempertimbangkan keberlanjutan bisnis,” tandas dia.
Togar menyatakan, pihaknya siap memproduksi barang ekolabel jika ada tuntutan dari masyarakat.