KOMPAS.com – Alasan biru menjadi warna logo media sosial Facebook ternyata sederhana saja. Pembuatnya buta warna. Lalu, apa alasan rumah makan "senang" menggunakan logo berwarna merah? Apakah alasannya juga sesimpel itu?
Fakta bahwa Mark Zuckerberg buta warna dan menjadi alasan biru sebagai warna logo Facebook besutannya itu, terungkap pada 2010. Artikel tentang hal tersebut di The New Yorker.
Merujuk artikel tersebut, Zuckerberg sejak kecil memiliki masalah ketika melihat warna merah dan hijau. Di matanya, warna biru dan turunannyalah yang paling kentara dia lihat. Dengan alasan sama, pilihan warna logo Facebook itu kemudian tercipta.
Bisa jadi, alasan pilihan warna Facebook dianggap tidak logis. Namun, pada umumnya setiap warna logo punya maksud tersendiri, berdasarkan penelitian yang relevan. The Logo Company, perusahaan pembuat desain logo, pada 2013 merilis bahwa pilihan warna logo mengacu pada tujuan perusahaan menggaet sisi emosional konsumennya.
Menurut perusahaan itu selama bertahun-tahun para psikolog mempelajari dan menemukan ada hubungan kuat antara warna dengan tanggapan emosional. Di jalan raya, misalnya, orang akan otomatis berhenti saat lampu lalu lintas menampilkan warna merah. Sebaliknya, orang akan melanjutkan perjalanan ketika lampu berganti menjadi hijau. Refleks saja.
Pengaruh warna
Nah, pemilihan warna yang tepat dalam logo pun akan menentukan bagaimana merek tersebut ditengok konsumen. Itu juga alasan restoran-restoran cepat saji seperti McDonalds, Pizza Hut, KFC, dan Wendy’s menggunakan warna merah pada logonya.
Dalam logo, berdasarkan penelitian itu, warna merah diyakini merangsang rasa lapar. Adapun warna hitam, putih, emas, dan perak menggambarkan perasaan berkelas dan mutakhir, yang menjadikannya banyak dipakai untuk produk-produk premium.
Nah, Facebook tentu beruntung. Alasan "kebutawarnaan" Zuckerberg yang seolah tidak logis dalam pemilihan warna logo itu ternyata juga ada penjelasannya berdasarkan riset The Logo Company.
Menurut perusahaan itu, warna biru memunculkan kesan yang menguatkan nilai bisnis, profesional, dan kredibilitas. Warna ini bahkan jamak dipakai perusahaan teknologi informasi. Logis juga, bukan?
Psikologi warna pada logo dan merek diperkuat dengan penelitian dari Universitas Loyola pada 2013. Menurut riset itu, 60 persen orang memutuskan membeli produk karena warnanya, bukan terpicu pesan atau tagline yang disematkan dalam kemasan.
Temuan lain, warna dapat meningkatkan pengenalan merek pada konsumen hingga 80 persen. Hal ini berbanding lurus dengan hasil penelitian sebelumnya dari American Psychological Association (APA) pada 2002, yang mengungkapkan bahwa warna mempengaruhi memori atau ingatan manusia.
Jika sebuah gambar dapat mendeskripsikan seribu kata, satu gambar dengan campuran warna bisa mendeskripsikan jutaan kata. Para psikolog sepakat, warna dapat membantu siapa pun untuk memproses dan menyimpan gambar lebih efisien dalam memori dibanding logo tak berwarna.
Warna di era digital
Rangkaian hasil riset itulah yang kemudian menjadi dasar klasifikasi produk berdasarkan warna. Saat di supermarket, coba saja mampir di rak alat-alat kebersihan rumah. Perhatikan, kebanyakan merek detergen atau karbol memakai warna hijau dan biru sebagai warna kemasannya. Ternyata, dua warna itu mewakili “keterikatan” dengan produk berbahan kimia.
Bedanya, biru biasa dipakai oleh produk beraroma bahan kimia yang lebih menusuk hidung untuk merangsang perasaan sehat, bersih, dan nyaman. Adapun hijau digunakan produk beraroma segar seperti pohon atau tumbuh-tumbuhan lain, untuk menciptakan perasaan dekat dengan alam.
Klasifikasi warna pada produk seperti itu kemudian membuat konsumen otomatis mengklaim bahwa warna tertentu dipakai oleh produk dengan komposisi tertentu. Dari asumsi itu pula mereka memutuskan memilih produk yang mana.
Untuk itu, sebelum memilih logo dan warna, perusahaan harus mengetahui betul apa sisi emosional yang ingin dibawa. Bila warna yang dipilih lebih dari satu, tentukan warna apa yang akan lebih dominan.
Di era digital, tantangan soal pilihan warna ini juga terpengaruh dengan media penayangan gambar atau logo itu. Untuk memahami kesan dari warna gambar atau logo, butuh layar yang punya kemampuan menampilkan warna senatural aslinya.
Layar digital pada umumnya dibekali teknologi berbasis tiga warna dasar, yaitu merah, hijau, biru. Dalam perkembangannya, ada layar digital yang mampu menghasilkan jutaaan reproduksi warna karena teknologinya sudah mengadopsi enam warna dasar.
Televisi Viera dari Panasonic, misalnya, menggunakan teknologi hexa chroma drive. Ada tambahan cyan, magenta, dan kuning sebagai warna dasar teknologi tersebut. Dari sini, tak hanya kesan warna akan tampil sebagaimana pesan dari penggunanya, tetapi juga pengalaman visual menyaksikan tayangan natural di layar kaca.
Terlebih lagi, kenyamanan mata menangkap gambar akan meningkat saat warna yang ditawarkan “kotak bergambar” lebih kaya. Dengan pilihan layar digital yang tepat, para penikmat warna, kesan dari logo, gambar, atau bahkan film berteknologi terbaru, akan jadi tantangan sekaligus pengalaman baru.
Berani mencoba?
Baca juga: Setelah 2016, Tak Ada Lagi Aurora Borealis?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.