Berkilo-kilo kacang mede atau mete menggunung di hadapan tiga perempuan, siap dipilah, diolah, dan dimasak menjadi camilan gurih penggoyang lidah.
Seperti biasanya siang itu, Masiyah, Irma dan Mola menyortir kacang mete yang didatangkan dari Watulea, salah satu wilayah kelurahan administratif, Kecamatan Gu, Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara.
Masyarakat setempat sering menyebut Watulea dengan sebutan Lombe.
Masiyah tak pernah menghitung berapa kilogram kacang mete mentah yang ia sortir saban hari.
Yang jelas, dalam sebulan UD Mubaraq, tempat ia bekerja, bisa memproduksi sebanyak 1,7 ton kacang mete matang.
Cara menyortirnya terlihat mudah. Tapi sebenarnya perlu kehati-hatian dan ketelitian.
Jika sudah pengalaman, tak sulit untuk membedakan kacang mete dalam tiga tingkatan mutu, yaitu kualitas super, biasa atau sedang, dan yang pecah.
Adapun kacang mete yang busuk, disingkirkan.
"Yang super, kalau mentah bersih harganya Rp 95.000 per kilo. Kalau sudah digoreng jadi Rp 130.000," kata Masiyah, pekan lalu di Buton Tengah.
UD Mubaraq tempat Masiyah, Irma, dan Mola bekerja adalah salah satu produsen mete ternama di Kelurahan Lahundape, Kecamatan Kendari Barat, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara.
Meski proses produksi dari menyortir kacang mete mentah hingga menjadi kacang mete matang dilakukan di Lahundape, namun kacang mete gelondongan atau yang masih berkulit dibersihkan di Lombe.
Manajer UD Mubaraq, Muhaimin menuturkan, kacang mete gelondongan yang ada di gudang Lombe bisa bertahan sampai bertahun-tahun, asal kelembabannya dijaga.
Setiap sepekan sekali, bahan baku dari Lombe tersebut dikirim ke Lahundape untuk diolah.
"Dalam sebulan kami empat kali produksi. Sekali produksi ya rata-rata 400.000 ton," kata Muhaimin.
Dirintis oleh Laode Mane pada sekitar tahun 1986, UD Mubaraq kini memiliki 15 karyawan tetap, dan 10 karyawan paruh waktu, di mana kebanyakan masih berstatus mahasiswa.
Menariknya, Muhaimin mengatakan, UD Mubaraq membiayai kuliah mereka.
Pada saat itu, kata dia, kebiasaan masyarakat mengkonsumsi kacang mete masih rendah.
"Pada 2007, kami menata administrasi UD Mubaraq, dan menjadi sentra oleh-oleh di Kendari, seiring dengan makin tenarnya kacang mete," kata dia lagi.
Kini, setiap bulan UD Mubaraq bisa meraup omzet hingga Rp 200 juta.
Di hari-hari besar, Lebaran, atau ketika ada event nasional di Kendari, omzet UD Mubaraq bisa berlipat ganda menjadi Rp 400 juta dalam sebulan.
Namun sayangnya, Muhaimin mengaku, saat ini mereka baru bisa mencukupi kebutuhan domestik.
Kurangnya kapasitas produksi dan akses ke pasar mancanegara menjadi salah satu kendala ekspor.
Ditambah lagi, kata dia, dalam setahun terakhir ini bahan baku semakin sulit didapat. Kalau pun ada, harganya sudah naik dari kacang mete gelondongan yang tadinya Rp 12.000 menjadi Rp 20.000 per kilogram.
"Semakin hari makin banyak pedagang dari India yang membeli langsung kacang mete gelondongan, yang menyebabkan pasokan untuk industri rumahan makin sulit," ungkap Muhaimin.
Kacang mete, sama halnya jenis kacang-kacangan lain, menjadi bahan makanan pokok masyarakat India.
Tiap tahun, mereka membutuhkan sekitar satu juta ton kacang mete. Akan tetapi, produksi dalam negeri hanya mampu mencukupi separuhnya saja.
"Sisanya, yang 500.000 ton itu mereka mencari dari negara-negara lain," kata Muhaimin.
Selain India, negara di kawasan seperti Filipina juga banyak mengambil kacang mete mentah dari Sulawesi Tenggara.
Dengan kondisi demikian, Muhaimin pun berharap pemerintah memiliki regulasi, agar industri pengolahan kacang mete di Kendari tidak kekurangan bahan baku.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.