JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Pertanian tengah menjalankan program serap gabah petani yang dinamakan ‘sergap’. Dengan program itu, pada musim panen raya ini, hingga minggu ketiga April, penyerapan beras oleh Bulog hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan tahun lalu.
April 2015, penyerapan beras oleh Bulog mencapai 287.035 ton. Pada April 2016 telah mencapai 626.299 ton.
Hal ini berarti pemerintah sudah hadir melalui Bulog dalam menstabilkan pasokan dan harga beras.
Namun demikian, diperkirakan Bulog tidak akan mampu memenuhi penyerapan gabah yang ditargetkan oleh pemerintah pada musim panen raya ini mencapai 4 juta ton setara beras.
Pengamat pertanian Husein Sawit mengatakan, kondisi saat ini, 40 persen penggilingan padi kecil mengaku kesulitan dalam mendapatkan pasokan gabah.
Mereka tidak bisa membeli gabah karena harganya sudah relatif tinggi. Hal ini tentunya tidak akan terjadi jika memang terdapat surplus produksi.
Indikasi peningkatan harga pun terungkap melalui data BPS. Berdasarkan data perkembangan mingguan harga eceran beberapa komoditis strategis yang di keluarkan BPS, harga beras termurah pada April 2015 sebesar Rp 9.767 per kilogram.
Sementara harga beras termurah pada April 2016 minggu ketiga, mencapai Rp 10.406 per kilogram.
Menurut Direktur INDEF Enny Srihartati, permasalahan beras saat ini disebabkan rapuhnya kelembagaan Bulog.
“Bulog inikan bapaknya banyak, ada Kementan, Kemendag, BUMN, Kemensos, dan TNI. Siapapun yang menjadi Dirut Perum Bulog pasti akan mengalami kesulitan dalam menghadapi model kelembagaan seperti ini,” ujar Enny.
Dugaan maladministratif
Terkait dengan karut marut perberasan saat ini, anggota Ombudsman bidang Agraria dan Pertanian Ahmad Alamsyah Saragih menyampaikan adanya dugaan maladmisinistrasi dalam pelaksanaan kebijakan pengadaan beras saat ini.
Terdapat tujuh indikator terhadap adanya dugaan tersebut. Pertama, pragnosa tak akurat akibat data ketersediaan lahan tidak bersumber dari pemegang otoritas (BPN).
Kedua, adanya penjualan pupuk bersubsidi. Petani kecil perlu biaya hidup selama proses produksi, menjual pupuk bersubsidi menjadi pilihan yang rasional.
Ketiga, pelibatan aparat TNI. Hal ini bertentangan dengan syarat syarat operasimiliter non-perang (UU TNI).
Keempat, unorganized, tidak semua tergabung dalam asosiasi, tidak ada data akurat dan berpotensi kehilangan sumber penerimaan pajak.
Kelima, beras tidak berkualitas.
Keenam, targeted. Kegagalan inheren pendataan dan situasi sosial masyarakat menyebabkan distribusi raskin cenderung menggunakan pendekatan bagi rata.
Ketujuh, larangan impor. Kebijakan larangan impor di tengah pragnosa keliru menyebabkan pembelian gabah oleh Bulog meningkatkan eskalasi harga dan akan meningkatkan inflasi.
Swasembada sudah usang
Pakar pertanian Rachmat Pambudy mengatakan, saat ini, cara cara konsumsi masyarakat dan produksi sudah mengalami perubahan. Indonesia tidak bisa lagi menggunakan jargon swasembada pangan sebagai indikator.
“Dalam Undang-Undang Pangan kita, tidak mengenal istilah swasembada pangan. Swasembada pangan sudah usang dan tidak sesuai jaman lagi”, ujarnya.
Menurut dia, kelembagaan pangan di Indonesia ini harus dibagi menjadi dua bagian, yang pertama adalah kelembagaan yang mengurusi beras bersubsidi. Dan yang kedua adalah kelembagaan untuk beras komersil yang seluruhnya dilepaskan kepada mekanisme pasar.
Kata kuncinya adalah efisiensi. Beras sudah tidak bias dianggap sebagai satu produk lagi.
Efektifitas program "Sergap"
Selain adanya dugaan maladmistrasi dalam pengadaan beras, program Serap Gabah (Sergap) yang sedang digembor-gemborkan saa tini perlu dievaluasi.
Menurut Husein Sawit, program sergap akan berpotensi gagal karena tidak di desain secara matang.
Hal senada pun diungkapkan oleh Sekjen Agribusiness Club Tony J Kristianto. Program Sergap sangat tidak efektif dan dana Rp 20 triliun yang akan digelontorkan Kementan untuk menyerap gabah di Jawa Tengah, akan habis tidak karu-karuan.
“Jika Indonesia mau serius dalam menangani masalah perberasan ini, maka solusinya bukan dengan model Sergap seperti itu. Selain tidak mensejahterakan petani jugaakan memboroskan APBN."
"Pemerintah perlu berinisiatif melakukan food financial engineering, misalnya melalui sistem gadai gabah,” ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.