Bahkan, anggaran belanja tetap saja dinaikkan meskipun target penerimaan negara diturunkan.
Pada tahun 2013 misalnya. Dalam APBN 2013, pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp 1.529,7 triliun, sementara belanja negara sebesar Rp 1.683 triliun.
Kemudian dalam APBN-P 2013, target pendapatan negara diturunkan menjadi 1.488,32 triliun. Namun, belanja negara justru dinaikkan menjadi Rp 1.722,03 triliun.
Pola seperti itu kembali diterapkan pemerintahan SBY pada tahun 2014. Meskipun target pendapatan diturunkan, target belanja negara tetap dinaikkan.
Dampak dari kebijakan ini adalah defisit anggaran semakin besar sehingga otomatis pemerintah musti berutang lebih banyak.
Namun di sisi lain, ada juga sisi positif dari peningkatan belanja negara dalam APBN-P terutama dari persepsi pasar.
Terlepas dari alasan mengapa pemerintah menaikkan belanjanya, pasar tetap menilai langkah tersebut akan menyebabkan ekspansi pertumbuhan ekonomi.
Di mata pasar, ekspansi pertumbuhan dan stimulus pertumbuhan merupakan hal yang positif.
Dalam kondisi ini, pelaku usaha biasanya juga akan terdorong melakukan ekspansi sehingga akhirnya roda perekonomian berputar lebih cepat.
Berubah pola
Memasuki era pemerintahan Presiden Joko Widodo, kebiasaan merevisi anggaran dalam bentuk APBN-P tetap berlangsung. Namun, terjadi perubahan pola.
Jika pada masa presiden-presiden sebelumnya, anggaran belanja selalu dinaikkan dalam APBN-P, saat era Jokowi, anggaran belanja justru diturunkan.
“Jadi sekarang ini, APBN-P bukan lagi APBN Perubahan tapi APBN Pengurangan,” seloroh Mukhamad Misbakhun, anggota DPR dari fraksi Partai Golkar saat kami berbincang-bincang pekan lalu di ruang kerjanya di Komplek DPR.
Politisi yang cukup vokal itu mengakui, saat ini dirinya merupakan pendukung pemerintahan Jokowi.
Partai Golkar di bawah Ketua Umum Setya Novanto juga sudah mendeklarasi sebagai partai pendukung pemerintah
Namun, menurut Misbakhun, bukan berarti ia tak boleh mengkritisi kebijakan pemerintah.
“Jika kebijakan yang diambil pemerintah salah, saya tentu harus kritis,” ujarnya serius.
Pada tahun 2015, yang merupakan tahun pertama pemerintahan Jokowi, APBN-P langsung menyusut.
Pada APBN 2015, pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp 1.793,6 triliun, sementara belanja negara sebesar Rp 2.039,5 triliun.
Lantas dalam APBN-P 2015, pendapatan negara diturunkan menjadi Rp 1.761,6 triliun, sementara belanja negara dipangkas menjadi Rp 1.984,1 triliun.
Langkah itu dilakukan pemerintahan Jokowi karena perekonomian domestik dan global terus melesu.
Dari sisi eksternal, ekonomi di Eropa dan Jepang masih terpuruk. Pemulihan ekonomi Amerika Serikat pun belum solid.
Sementara ekonomi Tiongkok, meskipun mengarah ke kondisi yang lebih stabil, namun risiko pelemahan masih tinggi.
Di dalam negeri, kejatuhan harga komoditas terutama batubara membuat banyak perusahaan tambang merugi, bahkan gulung tikar.
Dampaknya, penerimaan negara terutama dari pajak jauh menyusut.
Kejatuhan harga minyak juga membuat pendapatan negara dari minyak dan gas anjlok drastis.