Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Duduk Perkara Sebelum Freeport Diberi Izin Ekspor 8 Bulan

Kompas.com - 07/04/2017, 17:11 WIB
Aprillia Ika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Staf Khusus Menteri ESDM Hadi Djuraid menilai opini negatif yang beredar di masyarakat seputar pemberian izin ekspor konsentrat ke PT Freeport Indonesia selama delapan bulan telah berkembang sedemikian rupa.

Sehingga banyak pihak menanyakan konsistensi pemerintah terhadap Freeport. Agar publik dan pihak-pihak berkepentingan tidak tersesat oleh informasi yang tidak akurat dan tidak sesuai fakta, Hadi merasa perlu menyampaikan penjelasan sebagai klarifikasi atas berbagai isu yang berkembang.

Menurut dia, pemberian izin ekspor merupakan hasil perundingan Kementerian ESDM dengan Freeport yang berlangsung empat pekan. Dasar dan pedoman perundingan ini yakni pada UU no 4 tahun 2009 dan PP no 1 tahun 2017.

Posisi dan sikap Kementerian ESDM adalah menggunakan perundingan untuk memastikan Freeport melakukan tiga hal.

Yakni, mengubah Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi, membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter), dan divestasi saham hingga 51 persen.

"Tiga poin tersebut tidak bisa ditawar dan dinegosiasi. Yang bisa dirundingkan adalah bagaimana implementasinya," ujar Hadi melalui keterangan tertulis ke Kompas.com.

Sebelumnya, dalam konferensi pers 10 Februari 2017, CEO Freeport McMoran Richard Adkerson tegas menolak perubahan KK menjadi IUPK, menolak membayar bea keluar ekspor konsentrat, dan menolak divestasi saham 51 persen.

Adkerson juga berencana membawa kasus Freeport ini ke arbitrase internasional jika dalam 120 hari tidak tercapai kesepakatan dengan pemerintah Indonesia.

Maka, pada perundingan pertama Freeport dengan Indonesia pada
Februari 2017, standing position kedua belah pihak sangat jelas bertolak belakang. Dalam pertemuan tersebut, kedua belah pihak sepakat membagi perundingan dalam dua tahap, yaitu perundingan jangka pendek dan perundingan jangka panjang.

Jangka waktu perundingan adalah enam bulan, terhitung sejak Februari 2017. Sementara fokus perundingan jangka pendek adalah perubahan KK menjadi IUPK.

Perubahan KK menjadi IUPK menjadi prioritas karena akan menjadi dasar bagi perundingan tahap berikutnya. Di samping itu, IUPK memungkinkan operasi Freeport Indonesia di Timika, Papua, kembali normal sehingga tidak timbul ekses ekonomi dan sosial berkepanjangan bagi masyarakat Timika khususnya dan Papua umumnya.

Setelah empat pekan berunding, Freeport akhirnya sepakat menerima IUPK. Meski demikian Freeport meminta perpanjangan waktu perundingan dari enam bulan sejak Februari menjadi delapan bulan sejak Februari.

Kementerian ESDM kemudian menyepakati permintaan tersebut, sehingga waktu tersisa terhitung sejak April ini adalah enam bulan.

Dengan demikian, enam bulan adalah waktu tersisa untuk perundingan jangka panjang. Perundingan jangka panjang ini akan meliputi pokok bahasan stabilitas investasi yang dituntut Freeport Indonesis sebagai syarat menerima IUPK, kelangsungan operasi FI, dan divestasi saham 51 persen.

Sesuai PP Nomor 1 Tahun 2017, pemegang IUPK bisa  mengajukan rekomendasi ekspor konsentrat untuk enam bulan, dengan syarat menyampaikan komitmen pembangunan smelter dalam lima tahun, membayar bea keluar yang ditetapkan Menteri Keuangan, dan divestasi saham hingga 51 persen.

Poin tentang divestasi akan masuk dalam pembahasan jangka panjang. Sementara progres pembangunan smelter akan diverifikasi oleh verifikator independen setelah enam bulan.

Jika hasil verifikasi menunjukkan progres pembangunan smelter tidak sesuai dengan rencana yang telah disetujui Kementerian ESDM, maka rekomendasi ekspor akan dicabut.

"Ketentuan tersebut berlaku untuk semua pemegang IUPK, tanpa kecuali," lanjut Hadi.

Prosedur ini telah ditempuh oleh pemegang KK lainnya yang telah beralih ke IUPK, yaitu PT Amman Mineral Nusa Tenggara (dulu bernama Newmont).

Dengan demikian jelas bahwa landasan operasi Freeport Indonesia dalam enam bulan ke depan adalah IUPK.

Alhasil target perundingan jangka pendek telah tercapai, termasuk kembali normalnya operasi Freeport Indonesia di Timika sehingga ekses sosial dan ekonomi yang terjadi sejak pelarangan ekspor Freeport Indonesia pada 12 Januari 2017 tidak meluas dan berkepanjangan.

Tahap Dua

Hadi melanjutkan, perundingan tahap kedua akan dimulai pekan kedua April, dengan landasan yang kokoh, yaitu IUPK. Perundingan melibatkan instansi/lembaga terkait, di antaranya Kemenkeu, BKPM, Kemendagri, Pemrov Papua, termasuk di dalamnya Pemkab Timika dan wakil masyarakat adat di Timika.

"Apabila setelah enam bulan ke depan tidak tercapai kesepakatan terkait poin-poin perundingan jangka panjang di atas, Freeport Indonesia bisa kembali ke KK dengan konsekuensi tidak bisa melakukan ekspor konsentrat," lanjut dia.

"Dengan demikian, cukup jelas dan gamblang bahwa Pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM konsisten pada komitmen mewujudkan hilirisasi mineral, serta memperkuat  kedaulatan nasional melalui kepemilikan 51 persen saham," pungkas Hadi.

(Baca: Jonan Tegaskan, Izin Ekspor Freeport untuk Mendorong Pembangunan "Smelter")

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com