Kalau kita rajin membaca berita, tak sulit melihat perangai regulator yang rigid, berorientasi ke masa lalu, dan reaktif. Itu sudah terjadi dalam banyak kategori industri mulai dari besi baja, taksi online sampai lambannya inovasi di sektor keuangan melalui fintech.
Terima Konsekwensinya
Dan, kalau ini diteruskan maka kita harus menerima konsekuensinya: job creation hancur, konsumen kehilangan pilihan, industri tidak efisien, pertumbuhan konsumsi tak akan dinikmati industri yang beroperasi di sini karena ia akan dimakan habis pendatang baru dari luar negri yang datang bersama vendornya sendiri, dan bisnis mereka akan divakum pemain asing dengan teknologi internet of things dari luar negri.
Baiklah, kejadian itu mungkin luput dari perhatian Anda. Yang saya maksud itu dikutip media pada awal September 2012 saat Kemendag mengatakan tak ada kompromi bagi Sevel yang berizin ganda: satu izin retail dari Kemendag dan satu izin restoran dari Dinas Pariwisata DKI.
Bagi Kemendag saat itu, Sevel hanya boleh beroperasi sebagai retail. Ini berbeda dengan pandangan dinas pariwisata yang mengekuarkan ijin jasa restoran.
Dari media yang memberitakan saat itu saya membaca arahan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri (Detik Finance 04 September 2012):
"Gunaryo mengakui selama ini aktivitas 7-Eleven merangkap sebagai minimarket dan restoran. Ia menjelaskan bahwa pihak manajemen 7-Eleven siap mengikuti arahan dari Kemendag untuk memformat ulang bisnisnya."
Sementara Menteri Perdagangan kala itu pun meng-endorse keputusan dirjennya:
"Sederhana ya, ini kan izin yang mereka peroleh adalah rumah makan yang didapat dari Kementerian Pariwisata, bukan dari Kementerian Perdagangan. Sedangkan kenyataannya mereka mendagangkan bukan hanya makanan saja, ada retailnya, nah ini makanya harus diperjelas," kata menteri perdagangan kala itu, Gita Wirjawan.
Saya hanya membayangkan betapa ribetnya pola pikir regulator di negeri ini. Lihat saja apa jadinya bila pola pikir yang sama diberlakukan pada rumah sakit, bandara, terminal, stasiun kereta api atau bahkan armada transportasi yang juga menyediakan restoran walaupun ijinnya adalah usaha transportasi dari Kementerian Perhubungan.
Apa jadinya bila rumah sakit dilarang membuka rumah makan, outlet bank, toko buku dan kafe seperti yang kita biasa lihat hari ini di banyak rumah sakit modern?
Beruntung Kementerian kesehatan yang mengeluarkan izin tak sekaku Kementerian Perdagangan saat itu.
Bahkan dengan paket pendapatan yang beragam seperti itulah, kini terbukti, Rumah Sakit bisa menekan biaya pengobatan yang ditagih kepada BPJS Kesehatan.
Pada saat BPJS Kesehatan terancam defisit, rumah sakit yang memiliki business model seperti itu lebih mudah merespons perubahan ketimbang yang hanya fokus pada perawatan kesehatan semata.
Perilaku kaku seperti ini juga sering kita dengar dilakukan para auditor OJK yang amat menghalangi inovasi di dunia perbankan untuk menjelajahi fintech.