Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ibu Kota Pindah, Jakarta Tetap Jadi Pusat Bisnis

Kompas.com - 30/04/2019, 10:02 WIB
Erlangga Djumena

Editor

Sumber

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo memutuskan untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke luar Pulau Jawa. Bagaimana dengan berbagai aktivitas ekonomi yang selama ini terpusat di Jakarta?

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengusulkan, untuk ibu kota baru ini, yang diposisikan nantinya adalah hanya fungsi pemerintahan.

Pusat pemerintahan tersebut mulai dari eksekutif, kementerian/lembaga, legislatif parlemen (MPR/DPR/DPD), kemudian yudikatif; kejaksaan, Mahkamah Konstitusi (MK) dan seterusnya, kemudian pertahanan keamanan; Polri-TNI, serta kedutaan besar dan perwakilan organisasi internasional yang ada di Indonesia.

Adapun fungsi jasa keuangan, perdagangan dan industri, menurut Menteri PPN/Kepala Bappenas itu, tetap akan di Jakarta, misalkan Bank Indonesia, OJK (Otoritas Jasa Keuangan), BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal).

Baca juga: Berapakah Dana yang Diperlukan untuk Membangun Ibu Kota Baru?

“Ini konsep yang kita coba tiru dari beberapa best practice yang sudah dilakukan di negara lain,” ucap Bambang, Senin (29/4/2019).

Dia menegaskan, yang dituju dengan ibu kota baru adalah pemisahan pusat bisnis dan pusat pemerintahan.

“Jakarta tetap akan menjadi pusat bisnis bahkan harus sudah menjadi pusat bisnis yang levelnya regional atau level Asia Tenggara,” kata Bambang.

Pertimbangan pemindahan

Bambang mengemukakan, banyak faktor yang menjadi pertimbangan perlunya memindahkan Ibu kota negara dari DKI Jakarta.

Ia menyebutkan, Jakarta menjadi kota terburuk keempat berdasarkan kondisi lalu lintas saat sibuk dari 390 kota yang disurvei.

Peringkat 9 terburuk untuk kepuasan pengemudi, serta kinerja kemacetan terburuk, 33.240 Stop-Start Index serta grid lock yang mengakibatkan komunikasi dan koordinasi antar kementerian lembaga kadang-kadang tidak efektif.

“Kerugian ekonomi yang diakibatkan tahun 2013 sebesar Rp 56 triliun per tahun, yang kami perkirakan angkanya sekarang sudah mendekati Rp 100 triliun per tahun dengan makin beratnya kemacetan di wilayah Jakarta,” kata Bambang.

Selain masalah kemacetan menurut Bambang, masalah yang harus diperhatikan di Jakarta adalah masalah banjir.

Baca juga: Ini 3 Kota yang Jadi Alternatif Lokasi Pemindahan Ibu Kota

Tidak hanya banjir yang berasal dari hulu, tetapi juga ada penurunan muka tanah di pantai utara Jakarta, dan kenaikan permukaan air laut di mana 50 persen wilayah Jakarta itu kategorinya rawan banjir atau memiliki tingkat kerawanan banjir di bawah 10 tahunan. Padahal idealnya sebuah kota besar kerawanan banjirnya bisa minimum 50 tahunan.

“Penurunan muka air tanah di utara rata-rata 7,5 cm per tahun dan tanah turun sudah mencapai 60 cm pada periode 89-2007 dan akan terus meningkat sampai 120 cm karena pengurasan air tanah. Sedangkan air laut naik rata-rata 4-6 cm karena perubahan iklim,” ungkap Bambang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com