Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indonesian Insight Kompas
Kelindan arsip, data, analisis, dan peristiwa

Arsip Kompas berkelindan dengan olah data, analisis, dan atau peristiwa kenyataan hari ini membangun sebuah cerita. Masa lalu dan masa kini tak pernah benar-benar terputus. Ikhtiar Kompas.com menyongsong masa depan berbekal catatan hingga hari ini, termasuk dari kekayaan Arsip Kompas.

Rusia Jadi Negara Kena Sanksi Terbanyak, Apa Pengaruhnya buat Kita?

Kompas.com - 08/03/2022, 18:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

RUSIA, hingga Senin (7/3/2022), telah menjadi negara yang mendapat sanksi terbanyak se-dunia tersebab invasinya ke Ukraina sejak 24 Februari 2022. Sebelumnya, negara dengan sanksi internasional terbanyak adalah Iran.

Merujuk Castellum ai—situs basis data sanksi internasional—, Rusia telah mendapat 5.532 sanksi internasional hingga 7 Maret 2022 pukul 12.30 WIB. Rinciannya, 2.754 sanksi sudah Rusia terima sebelum 22 Februari 2022 dan 2.778 sanksi didapat Rusia sejak 22 Februari 2022 hingga 7 Maret 2022 pukul 7.30 WIB.

Total sanksi Rusia ini jauh melampaui Iran yang hingga 7 Maret 2022 pukul 12.30 WIB mengantongi 3.616 sanksi internasional. Sebelumnya, Rusia juga sudah berjibaku dengan sanksi ekonomi seturut aneksasi Crimea pada 2014.

Bedanya, saat itu mayoritas sanksi untuk Rusia hanya datang dari Amerika Serikat. Adapun sekarang, sanksi untuk Rusia datang dari hampir semua negara utama perekonomian dunia.

Baca juga: Rusia Tetapkan Negara yang Dianggap Tak Bersahabat, Ini Daftarnya

Sanksi yang diterima Rusia tersebab invasi ke Ukraina pun mencakup banyak aspek. Itu mulai dari gaya sanksi global yang dijatuhkan ke Iran tersebab isu nuklir, penghapusan kode transaski interbank global (society for worldwide interbank financial telecommunications atau SWIFT), hingga penolakan pembelian komoditas dan pemberian utang.

Sanksi untuk Rusia atas invasinya ke Ukraina sejak 24 Februari 2022. Data hingga 7 Maret 2022.AFP/SABRINA BLANCHARD, EMMANUELLE MICHEL; KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI Sanksi untuk Rusia atas invasinya ke Ukraina sejak 24 Februari 2022. Data hingga 7 Maret 2022.

Sederhananya, sanksi yang sekarang dihadapi Rusia itu mulai dari embargo atau pelarangan interaksi—apalagi perdagangan—hingga pemutusan transaksi lintas perbankan global yang berimplikasi pula terhadap pembekuan dana dan aset orang-orang Rusia di jejaring bank internasional.

Perbankan Rusia yang didepak dari SWIFT dan posisinya di peta kapitalisasi perbankan Rusia. Data hingga 6 Maret 2022.AFP/SABRINA BLANCHARD, EMMANUELLE MICHEL; KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI Perbankan Rusia yang didepak dari SWIFT dan posisinya di peta kapitalisasi perbankan Rusia. Data hingga 6 Maret 2022.

Daya tawar Rusia

Seandainya Rusia adalah orang, pasti sudah pusing tujuh keliling. Punya banyak tapi enggak bisa apa-apa dari keberlimpahan itu. Nilai tukar rubel ke dollar AS pun rontok dalam hitungan hari.

Namun, apakah Rusia benar-benar tidak punya daya tawar? 

Rusia masih punya daya tawar dalam rupa komoditas sumber daya alam dan ancaman perang nuklir. Soal nuklir akan dibahas dalam tulisan berbeda karena kompleksitasnya.

Baca juga: Diputus dari SWIFT, Begini Dampak yang Bakal Dirasakan Bank-bank Rusia

Dari sisi komoditas saja, masalah yang muncul dari situasi antara Rusia dan Ukraina sudah rumit. Komoditas Rusia yang paling menjadi daya tawar saat ini adalah minyak mentah dan gas.

Meskipun, pasokan nikel, besi, dan bahkan gandum dunia pun telah terdampak dan harganya melambung tinggi. Nikel, misalnya, sempat menembus harga di atas 100 dollar AS per ton untuk pertama kalinya dalam sejarah komoditas itu, meski kemudian sedikit mereda.

Ilustrasi ladang minyak.SHUTTERSTOK/CALIN TATU Ilustrasi ladang minyak.

Buat catatan, energi Uni Eropa bergantung ke pasokan minyak dan gas dan Rusia. Karenanya,  Uni Eropa belum berada di satu barisan dengan Amerika Serikat dalam wacana embargo. Situasinya jelas berbeda karena Amerika Serikat "hanya" menggunakan 10 persen pasokan minyak dan gas dari Rusia. 

Baca juga: Perang Rusia-Ukraina Bikin Harga Mi Instan Naik? Ini Kata Pengusaha

Meski demikian, Amerika Serikat bahkan negara-negara yang tidak bersinggungan langsung dengan Rusia dan Ukraina bukan tak kena getah dari invasi Rusia ke Ukraina yang berujung timbunan sanksi global ini. Harga minyak mentah dunia, misalnya, melejit hingga menembus rekor tertinggi 14 tahun sejak 2008 gara-gara invasi Rusia ini.

Bagi negara yang punya sumber berlimpah minyak seperti Amerika Serikat—dengan teknologi shale oil-nya—saja lonjakan harga ini tetap jadi perhatian bahkan kekhawatiran. Begitu pasokan dari Rusia diembargo, ketersediaan minyak dunia dipastikan akan mengalami kekurangan (shortfall) dan butuh waktu untuk menambalnya, kalaupun bisa.

Seperti dilansir Financial Times, bos Pioneer Natural Resources, Scott Sheffield, berpendapat sanksi yang akan sanggup membungkam Rusia adalah embargo minyak dan gas. Namun, lanjut dia, sanksi ini bisa melejitkan harga minyak hingga ke level 200 dollar AS per barrel.

"Satu-satunya cara untuk menghentikan Putin (Presiden Rusia, Vladimir Putin) adalah embargo minyak dan gas. (Tapi) jika itu terjadi, harga minyak akan menjadi 200 dollar AS per barrel, setidaknya 150-200 dollar AS per barrel," ujar Sheffield seperti dikutip Financial Times edisi Jumat (4/3/2022).

Simak juga: Liputan Khusus Perang Rusia Vs Ukraina

Lonjakan harga hingga sedemikian tinggi, ujar Shieffield, bisa terjadi karena produksi minyak Amerika Serikat sekalipun memungkinkan didongkrak sampai dua kali lipat akan butuh waktu untuk mewujud. 

"Kita tak akan bisa mengubah (angka produksi) tahun ini," ujar dia sembari menyebut kemungkinan produksi bisa didongkrak sampai dua kali lipat paling cepat pada 2023 atau 2024, jika memang harus begitu. 

Meski demikian, survei yang digelar Quinnipack University dan dilansir pada 7 Maret 2022 mendapati, 71 persen responden mendukung langkah pemerintah Amerika Serikat untuk mengembargo minyak dari Rusia sekalipun itu akan berdampak pada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di tingkat pengguna. Kali ini beda partai politik tidak memberikan hasil akhir dukungan yang berbeda, meski proporsinya tetap beragam.

Ini Amerika Serikat yang produksi minyak di dalam negerinya tercatat 11,6 juta barrel per hari, bahkan sebelum pandemi pernah mencatat rekor 13 juta barrel minyak per hari. Konsumsi minyak negara ini pada 2020 menurut US Energy Information Administration (EIA) adalah 18,9 juta barrel per hari. 

Sementara itu, Uni Eropa mulai mempertimbangkan untuk menerima usul embargo minyak dan gas dari Rusia, melihat eskalasi invasi Rusia ke Ukraina. Namun, baru di tataran wacana saja topik ini sudah langsung membuat bursa utama dunia rontok. 

Kanselir Jerman, Olaf Scholz, mengatakan bahwa pasokan minyak dan gas dari Rusia sangatlah penting bagi perekonomian Eropa. Sekitar 40 persen impor gas Uni Eropa dan seperempat pasokan minyak benua biru itu berasal dari Rusia. Harga gas di Eropa pada Senin sudah menembus rekor baru.

Baca juga: Konflik Ukraina: Semakin Banyak Perusahaan Angkat Kaki dari Rusia, Apa yang Tersisa?

Dari Rusia, Wakil Perdan Menteri Rusia Alexander Novak bahkan mengingatkan larangan impor minyak dari Rusia akan mendatangkan bencana bagi pasar global. 

"(Bila itu terjadi), lonjakan harga bakal tak tertebak—(bisa sampai) 300 dollar AS per barrel, kalau tidak lebih," kata Novak, di Moskwa, Senin (7/3/2022), seperti dikutip AFP.

Menurut Novak, mustahil untuk menggantikan posisi pasokan minyak Rusia di pasar global dalam waktu singkat. Selain butuh lebih dari satu tahun untuk bisa melakukan itu, kalaupun mungkin, harganya juga akan terlalu mahal bagi konsumen.

Bila harga minyak melejit karena pelarangan impor dari Rusia, lanjut Novak, kenaikan akan terjadi pula pada harga eceran bahan bakar minyak (BBM), listrik, dan bahkan pemanas yang sangat penting di musim dingin kawasan tersebut. 

Bukannya mengkeret karena wacana pelarangan perdagangan minyak itu, Rusia bahkan mengancam balik akan menghentikan jalur pasokan jaringan gas Nord Stream 1. Sebelumnya, Jerman sudah menyatakan menghentikan proyek Nord Stream 2, jaringan pipa gas bawah laut dari Rusia ke kawasan Eropa yang akan membuat harga komoditas itu lebih murah.

Baca juga: Rusia Ancam Setop Pasokan Gas ke Eropa, Ini Alasannya

Bagaimana dengan Indonesia dan negara-negara yang ada di posisi net importer—menggunakan lebih banyak pasokan impor untuk pemenuhan kebutuhan—minyaknya dan mata uangnya bukan safe heaven—tujuan penukaran atau penyimpanan demi menjaga nilai tukar?

Antisipasi imbas konflik Rusia-Ukraina buat Indonesia

Kepala ekonom Bank Permata, Josua Pardede, berkeyakinan neraca dagang Indonesia secara umum masih akan surplus sekalipun ada konflik Rusia-Ukraina. Namun, ujar dia, surplus akan ditopang oleh ekspor non-migas.

“Karena memang Indonesia net importer minyak, neraca dagang migas diperkirakan defisit. Namun, harga komoditas juga meroket sehingga neraca dagang non-migas diperkirakan masih surplus dan ini akan menyeimbangkan,” ujar Josua kepada Kontan.co.id, Minggu (6/3/2022).

Tren harga minyak mentah dunia hingga 6 Maret 2022 waktu setempat untuk pengiriman April 2022, sebagaimana diakses dan diunduh dari Yahoo Finance pada Selasa (8/3/2022) petang.DOK YAHOO FINANCE Tren harga minyak mentah dunia hingga 6 Maret 2022 waktu setempat untuk pengiriman April 2022, sebagaimana diakses dan diunduh dari Yahoo Finance pada Selasa (8/3/2022) petang.

Terpisah, Kepala Dewan Komisaris Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan, konflik Rusia-Ukraina akan berdampak pada sentimen kepercayaan investor. Menurut dia, ketidakpastian ekonomi global akibat konflik ini dapat menyebabkan aliran modal asing keluar (capital outflow) dari emerging market, Indonesia salah satu di dalamnya.

Investor, lanjut Wimboh, cenderung mengalihkan dananya dari emerging market ke negara yang kondisi pasarnya dinilai relatif lebih stabil. 

Baca juga: Bos OJK Beberkan Dampak Perang Rusia dengan Ukraina ke Sektor Keuangan RI

Sebelumnya, Sabtu (26/2/2022), peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eisha M Rachbini, mengurai pula sejumlah dampak yang dapat terjadi bila konflik Rusia-Ukraina berkepanjangan, tak terkecuali bagi Indonesia.

Dalam paparannya, Eisha menyebutkan, perang Rusia-Ukraina akan berdampak pada target pelaksanaan amanat UU Nomor 2 Tahun 2022 terkait pembolehan defisit APBN melebihi 3 persen.

Seturut pandemi Covid-19, UU ini membolehkan defisit APBN melebihi 3 persen hingga 2022. APBN 2022 mematok target defisit pada tahun ini adalah 4,85 persen, sebelum pada 2023 harus bisa kembali di bawah 3 persen jika tak ada regulasi baru yang berkata lain.

Seturut lonjakan harga minyak dunia, bahkan sebelum Rusia melakukan invasi terbuka ke Rusia, realisasi subsidi energi Indonesia pada Januari 2022 tercatat Rp 10,2 triliun, melonjak 347 persen dibandingkan Rp 2,3 triliun pada Januari 2021.

Baca juga: Alasan Pertamina Naikkan Harga BBM Non-subsidi per 3 Maret 2022

Di APBN 2022, asumsi makro untuk harga minyak dunia adalah 63 dollar AS per barrel. Adapun pada Selasa (8/3/2022) pagi WIB, harga minyak mentah Brent di London sudah mencapai 127,48 dollar AS per barrel untuk pengiriman Mei 2022 dan pasar minyak WTI di New York mematok harga 122,75 dollar AS per barrel untuk pengiriman April 2022. 

Sementara, produksi di dalam negeri mustahil menutup kebutuhan minyak dan gas domestik. Tidak seperti Amerika Serikat dengan teknologi shale oil-nya, Indonesia tidak lagi punya sumur minyak yang sudah berproduksi dengan cadangan berlimpah.

Kalaupun disebut masih ada cadangan minyak lain di Indonesia, kondisinya sama sekali belum terjamah, sehingga untuk masuk ke proses produksi akan butuh waktu jauh lebih lama lagi.

"Data SKK Migas, produksi minyak mentah di Indonesia mencapai 700.000 barrel per hari, sementara konsumsinya 1,4-1,5 juta barrel per hari, sehingga defisit minyak 500.000 barrel per hari mengandalkan impor," papar Eisha.

Baca juga: Sama-sama Naik, Lebih Murah Mana Harga BBM Pertamina dengan Shell?

Kenaikan harga minyak dunia dengan kondisi pasokan dan kebutuhan konsumsi di dalam negeri, ujar Eisha, akan memberikan tekanan pada APBN 2022. 

"Alokasi anggaran untuk subsidi energi (di APBN 2022) sekitar Rp 134,2 triliun, yang terdiri dari subsidi jenis bahan bakar minyak (BBM) tertentu dan LPG 3 kg senilai Rp 77,54 triliun dan subsidi listrik Rp 56,47 miliar," ungkap Eisha.

Dari komoditas lain, antisipasi juga tetap harus dilakukan. Katakanlah ekspor minyak nabati menyumbang surplus neraca dagang Indonesia, pada praktiknya harga produk turunannya di dalam negeri juga menggunakan rujukan harga internasional. Kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng yang belum tuntas tertangani adalah salah satu contoh terkini.

Baca juga: Ironi Harga Minyak Goreng yang Mendidih di Negeri Penghasil Terbesar CPO

Eisha mengingatkan, penyikapan atas perkembangan invasi Rusia ke Ukraina harus dilakukan teramat hati-hati. Bila gegabah, risiko terjadi commodity shock akan terjadi. Sebaliknya, langkah internvensi harga dan subsidi dalam situasi ini juga akan memberikan tekanan bagi defisit APBN. Saran Eisha, APBN harus dikelola dengan tepat dan efisisien. 

"Dengan memprioritaskan pemulihan ekonomi dan mempertimbangkan untuk menunda pemindahan ibu kota baru."

Terlebih lagi, pengamat ekonomi dari beragam kawasan juga sudah mulai membuat pernyataan senada bahwa pemulihan ekonomi yang belum tuntas dari hajaran pandemi Covid-19 akan makin terseok oleh konflik Rusia-Ukraina ini. 

"Ini semua tentang perlambatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan inflasi," kata pengamat ekonomi dari Rock Creek, Alifia Doriwala, kepada Bloomberg TV sebagaimana dikutip AFP, Selasa (8/3/2022). 

Baca juga: Dari Mana dan Berapa Ongkos Ibu Kota Negara?

Menurut Doriwala, semakin intensifnya sanksi ke Rusia itu memukul semua sektor. Respons bank sentral utama dunia berupa pengurangan kebijakan ekstra longgar sejak pandemi, lanjut dia, adalah hal berikutnya yang dapat diprediksi. 

 

Naskah: Kompas.com/Palupi Annisa Auliani

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com