Untuk mewujudkan itu, pemerintah sebaiknya memberikan prioritas kepemilikan 10,03 persen saham tersebut kepada daerah, dengan catatan bahwa daerah tidak meminta alokasi anggaran akuisisi sahamnya dari APBN yang disisipkan ke dalam APBD.
Karena itu, di level daerah pun, pembagian saham hasil divestasi tersebut harus dibuat terang benderang, berapa persen untuk provinsi dan berapa persen untuk kabupaten tempat perusahaan beroperasi. Selain itu, persentasi pemda dan swasta lokal pun harus jelas.
Partisipasi pemda dan swasta lokal via BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) dan Perusda (Perusahaan Daerah) setidaknya sama dengan aturan main di tingkat nasional.
Misalnya, 51 persen saham BUMD dan Perusda dimiliki oleh pemerintah daerah, sementara 49 persen untuk investor lokal.
Dari 51 persen kepemilikan pemerintah daerah ini bisa pula disiasati oleh Pemda dengan membuka peluang publik untuk ikut memilikinya, seperti yang terjadi di PT. Semen Padang dan perusahaan pertambangan asing di berbagai daerah.
Sehingga, kebutuhan dana divestasi tidak terlalu membebani APBD, karena bisa berbagi dengan pihak swasta lokal di satu sisi dan investor retail lokal di sisi lain, yang secara teknis bisa ditawarkan oleh BUMD dan Perusda kepada kabupaten-kabupaten lain di dalam provinsi yang sama yang tidak terkait dengan operasi PT. Vale atau kepada BUMD perbankan lokal.
Ketiga, dengan arsitektur dunia usaha di Sulawesi Selatan yang notabene dikuasai oleh segelintir "oligar" lokal, distribusi saham PT. Vale hasil divestasi yang diperuntukkan pihak swasta lokal sebaiknya diatur secara adil agar tidak hanya didominasi oleh satu atau beberapa pengusaha besar lokal saja.
Peluang kepemilikan harus dibuka selebar-lebarnya untuk semua pihak swasta lokal lain yang berkemampuan untuk ikut berpartisipasi.
Hal ini perlu dilakukan agar terdapat "level playing field" kepemilikan daerah atas saham divestasi PT. Vale Indonesia. Jika peluang kepemilikan swasta lokal dibuka secara bebas, maka besar kemungkinan oligar lokal yang justru akan menguasainya.
Kondisi ini nantinya memperburuk tatanan oligarki lokal di daerah, dalam hal ini Sulawesi Selatan, yang kemudian hari akan mempersulit pemerintah dalam membenahi kinerja PT. Vale, lantaran harus berbenturan dengan kepentingan-kepentingan ekonomi politik oligar lokal yang biasanya cenderung sangat monopolistik.
Keempat, jika divestasi saham harus diambil bersamaan dengan pengambilalihan lahan konsesi yang dipegang oleh PT. Vale Indonesia, maka harus dilakukan secara terbuka dan transparan di satu sisi dan tidak membebani anggaran negara juga di sisi lain.
Pemerintah harus memiliki landasan berpikir dan bertindak secara legal, teknis, sosial, ekonomi, politik, dan rasa keadilan terkait dengan persetujuan luas lahan yang diusulkan menjadi IUPK (sebagai kelanjutan dari KK).
UU No.3 tahun 2020 Pasal 83 poin c menegaskan bahwa luas 1 (satu) Wilayah IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi Pertambangan Mineral logam atau Batubara diberikan berdasarkan hasil evaluasi Menteri terhadap rencana pengembangan seluruh wilayah yang diusulkan oleh pemegang IUPK.
Ini artinya Menteri ESDM berhak mengevaluasi usulan luas wilayah KK yang akan menjadi IUPK berdasarkan rencana kerja PT Vale Indonesia.
Namun demikian, Menteri perlu melakukan kajian mendalam dan adil terhadap rencana Vale tersebut, termasuk apakah rencana tersebut realistis jika dilihat dari track record mereka selama ini.
Kita harus benar-benar teliti. Demi bangsa dan negara, kita tidak boleh silau dengan seremonial investasi yang bombastis yang bisa saja sekedar lip service demi mendapatkan perpanjangan izin.
Jangan sampai pada kemudian hari kita kelak menemukan PT Vale Indonesia hanya melakukan penguasaan lahan saja tanpa ada rencana serius mempercepat program hilirisasi, yang pada akhirnya mencederai keadilan terhadap negara, daerah, dan masyarakat setempat.
Bisa saja, misalnya, opsi pengurangan luas lahan yang disetujui menjadi IUPK harus diambil salah satunya karena berdasarkan hasil evaluasi Menteri bahwa PT Vale Indonesia tidak juga merealisasikan janjinya untuk membangun smelter.
Karena sudah sekitar satu dekade lamanya Vale berkutat dengan rencana pembangunan smelter nikel baru, tapi belum juga ada realisasinya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya