Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Nuri Taufiq
Pegawai Negeri Sipil

Statistisi di Badan Pusat Statistik

Tak Cukup dengan Penurunan Kemiskinan Ekstrem

Kompas.com - 27/05/2024, 08:18 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAHUN ini merupakan tahun terakhir bagi Presiden Jokowi dalam pencapaian target angka kemiskinan ekstrem mencapai atau mendekati nol persen.

Angka ini menjadi bagian penting dari target Sustainable Development Goals (SDGs) yang berbunyi “By 2030, eradicate extreme poverty for all people everywhere”.

Kemiskinan ekstrem juga bagian dari ukuran kemiskinan global. Artinya ukuran ini nantinya dapat digunakan untuk membandingkan kondisi kemiskinan di Indonesia dengan negara lainnya.

Sampai saat ini, ukuran yang digunakan dalam kemiskinan ekstrem masih mengacu pada 1,90 dollar AS (2011 Purchasing Power Parity) per kapita per hari.

Nilai PPP digunakan untuk membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara dengan memperhitungkan perbedaan harga kebutuhan dasar. Sehingga bukan dengan menggunakan ukuran nilai tukar kurs dollar AS terhadap rupiah yang berlaku saat ini.

Secara nasional penduduk yang memiliki pengeluaran kurang dari 1,90 dollar AS PPP per kapita per hari inilah yang dikategorikan sebagai penduduk miskin ekstrem.

Dalam satu dekade terakhir mengutip data dari World Bank, penurunan tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia cukup meyakinkan. Angka kemiskinan ekstrem di Indonesia mampu turun mencapai 5,06 poin persen, yaitu turun dari 6,18 persen pada 2014 menjadi 1,12 persen pada 2023.

Selain itu, penurunan ini bahkan lebih cepat dibandingkan dengan penurunan angka kemiskinan reguler yang dirilis BPS.

Data BPS, secara nasional angka kemiskinan pada periode 2014 – 2023 hanya mampu turun sebesar 1,89 poin persen, yaitu turun dari 11,25 persen pada 2014 menjadi 9,36 persen pada 2023.

Tren positif penurunan angka kemiskinan ekstrem sampai saat ini tentu menjadi kabar menggembirakan pada masa akhir pemerintahan Presiden Jokowi. Pasalnya target angka kemiskinan ekstrem untuk mencapai atau mendekati nol persen sudah ada di depan mata.

Namun jika ditilik lebih dalam lagi, ada hal yang masih menjadi PR di balik pencapaian ini. Yaitu mereka yang secara status termasuk dalam penduduk tidak miskin ekstrem, tetapi sebenarnya masih berstatus penduduk miskin.

Mereka secara posisi hanya berada sedikit di atas garis kemiskinan ekstrem dan masih berada di bawah garis kemiskinan.

Perlu kita ingat kembali bahwa pada 2014, angka kemiskinan tercatat sebesar 11,25 persen, sementara angka kemiskinan ekstrem adalah 6,18 persen.

Artinya masih ada angka sebesar 5,07 persen merupakan penduduk yang berstatus tidak miskin ekstrem, tetapi sebenarnya masih termasuk dalam kelomopok penduduk miskin.

Sementara pada 2023, angka kemiskinan ekstrem tercatat sebesar 1,12 persen dengan angka kemiskinan sebesar 9,36 persen.

Artinya masih ada angka 8,24 persen merupakan penduduk yang berstatus tidak miskin ekstrem, tetapi masih termasuk dalam kelomopok penduduk miskin.

Secara series dalam satu dekade terakhir, terjadi lonjakan peningkatan penduduk yang berstatus tidak miskin ekstrem, tetapi masih termasuk dalam kelompok penduduk miskin, yaitu dari 5,07 persen menjadi 8,24 persen atau meningkat sekitar 1,5 kali lipat.

Kelompok penduduk ini merupakan penduduk yang secara ekonomi rentan untuk terjatuh dalam kemiskinan ekstrem, namun mereka juga belum bisa keluar dari jurang kemiskinan.

Dalam laporan terakhir dari World Bank melalui laporan yang berjudul Poverty & Equity Brief East Asia & Pacific yang dirilis April 2024, angka kemiskinan ekstrem yang disajikan sudah menggunakan batas kemiskinan ekstrem terbaru.

Batas yang digunakan dalam laporan tersebut adalah sebesar 2,15 dollar AS (2017 Purchasing Power Parity) per kapita per hari. Batas ini naik dari sebelumnya yang sebesar 1,90 dollar AS (2011 Purchasing Power Parity).

Dengan batas ini, tercatat pada 2023, angka kemiskinan ekstrem adalah sebesar 1,88 persen. Lebih tinggi 0,76 poin persen jika dibandingkan dengan angka dengan menggunakan batas sebelumnya.

Meskipun demikian, dalam sepuluh tahun terakhir, World Bank mencatat pola yang hampir sama juga terjadi jika dibandingkan dengan ukuran kemiskinan ekstrem yang lama.

Dengan menggunakan batas baru, pada periode 2014 – 2023, kemiskinan ekstrem mampu turun 7,38 poin persen dari 9,26 persen menjadi 1,88 persen. Penurunan ini lebih cepat dibandingkan dengan penurunan batas yang lama sebesar 5,06 poin persen.

Namun demikian, sama halnya dengan batas lama, kondisi kerentanan kemiskinan ekstrem dengan batas baru ini ternyata juga mengalami peningkatan.

Terjadi peningkatan penduduk yang berstatus tidak miskin ekstrem, tetapi masih termasuk dalam kelompok penduduk miskin, yaitu dari 1,99 persen pada 2014 menjadi 7,48 persen pada 2023, atau naik lebih dari 3,5 kali lipatnya.

Perlu inovasi

Angka kemiskinan di Indonesia memang masih cukup tinggi. Namun, hingga kini berbagai macam program penanggulangan kemiskinan belum cukup efektif untuk mengatasinya.

Sejumlah PR menanti Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming dalam menurunkan tingkat kemiskinan.

Salah satunya, jarak yang cukup lebar antara capaian tingkat kemiskinan tahun 2023 yang sebesar 9,36 persen, dengan target angka kemiskinan dalam RPJMN 2020-2024 sebesar 6,5-7,5 persen.

Demikian halnya dengan angka kemiskinan ekstrem. Meskipun mampu turun 5,06 poin persen dalam satu dekade terakhir, tetapi mereka belum sepenuhnya keluar dari jurang kemiskinan.

Pemerintah berkomitmen menekan angka kemiskinan serendah-rendahnya. Namun, dari dulu hingga sekarang kecenderungan penanganannya belum banyak berubah.

Selain akurasi data pensasaran program yang problematik, salah satu yang menjadi sorotan adalah kebijakan program bantuan sosial yang bersifat one-size-fits-all atau bagi rata.

Padahal pada kenyataanya terdapat perbedaan biaya hidup antardaerah, perbedaan daya beli masyarakat, disparitas kebutuhan hidup antarwilayah, dan masalah kerentanan yang juga berbeda-beda.

Sebagai contoh adalah program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang merupakan salah satu program pemerintah untuk membantu kebutuhan masyarakat kurang mampu.

BPNT 2024 dicairkan setiap dua bulan sekali dalam satu tahun. Setiap bulannya, penerima program ini akan mendapatkan uang tunai senilai Rp 200.000 per bulan.

Sepanjang 2024 akan ada 6 tahap penyaluran bantuan. Oleh karena itu, dalam satu kali pencairan, penerima program akan menerima uang sebesar Rp 400.000.

Indeks manfaat program BPNT yang sebesar Rp 200.000 per bulan ini akan sama nominalnya untuk seluruh penerima manfaat, tanpa memerhatikan adanya indeks biaya hidup antarwilayah di Indonesia yang berbeda-beda.

Mengutip dari situs Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional pada 20 Mei 2024, misalnya, rata-rata harga beras di Kota Jayapura adalah Rp 17.150 per kg, sementara di Kabupaten Wonogiri sebesar Rp 13.600 per kg.

Dengan indeks manfaat program yang sama antara Kota Jayapura dan Kabupaten Wonogiri tentu akan memberikan efektivitas berbeda dalam penanganan kemiskinan.

Uang Rp 200.000 di Wonogiri bisa mendapatkan sekitar 14,70 kg beras. Sementara di Jayapura hanya akan bisa mencapatkan 11,67 kg beras.

Perlu inovasi kebijakan pengentasan kemiskinan maupun kemiskinan ekstrem yang paripurna. Kebijakan yang tidak hanya untuk memenuhi dokumen target-target pencapaian pembangunan, namun juga komprehensif sampai ke akar masalah.

Indonesia memang hampir mengentaskan kemiskinan ekstrem, namun masih menyisakan penduduk yang secara ekonomi masih rentan untuk terjatuh kembali dalam miskin ekstrem.

Mereka sangat rentan dengan berbagai guncangan, baik guncangan ekonomi maupun non-ekonomi. Bahkan ke depan guncangan non-ekonomi disinyalir akan semakin meningkat akibat dampak dari perubahan iklim.

Ke depan jika tidak ada inovasi untuk mengatasi kemiskinan, bukan tidak mungkin pencapaian kesejahteraan hanya menjadi keberhasilan sesaat yang bersifat semu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com