Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Antara Gesang, Didi Kempot, Jokowi, dan Terminal Tirtonadi Solo

Pernah mendengar kalimat di atas? Sebagian mungkin familiar, sebagian lagi mungkin tidak. Namun bagi pecinta musik campursari, bisa jadi lirik tersebut sangat familiar. Ya, itu adalah lirik lagu berjudul Tirtonadi yang dipopulerkan oleh penyanyi campursari asal Jawa Tengah, Didi Kempot.

Kurang lebih artinya seperti ini: "Saat itu di Tirtonadi, menunggu datangnya bus di malam hari. Tanganmu ku pegang, kau ucap janji, pergi pasti kembali..."

Jauh sebelum Didi Kempot, maestro keroncong Indonesia, Gesang sudah mengabadikan nama Tirtonadi dalam karyanya dengan judul yang sama. Dalam lagu itu, Tirtonadi digambarkan sebagai satu kawasan yang permai dan membuat nyaman siapa saja yang datang.

"Nun disana tempatnya rakyat seluruhnya melepaskan lelahnya, hibur hatinya," begitu lirik tembang karya maestro keroncong yang juga pencipta lagu Bengawan Solo itu.

Saat ini, nama Tirtonadi sendiri sudah diabadikan sebagai nama terminal terbesar di Solo. Di tingkat nasional, Tirtonadi bahkan menjadi salah satu kiblat pengelolaan terminal di Indonesia.

Transformasi

Sebelum 2009, kondisi Terminal Tirtonadi tidak jauh beda dengan kondisi umum terminal lainnya di Indonesia. Kesan kumuh, rawan copet, hingga jadi pangkalan preman, tidak pernah lepas dari prasarana tranportasi yang satu ini.

Tidak cuma masyarakat, pengelola terminal juga kerap kena getah, bahkan kerap diancam preman. Hal itu pula terjadi saat pembenahan infrastruktur dan pelayanan di Terminal Tirtonadi dilakukan pada 2009 silam.

Pembenahan itu ternyata mengusik para preman terminal yang lama bersemayam. Maklum, Terminal Tirtonadi sudah jadi lahan subur. Setiap harinya, 1.500-2.000 bus keluar masuk terminal dengan jumlah hampir 20.000 orang penumpang.

"Untung saya orang sini juga dan kalau enggak diangkat jadi PNS, mungkin saya jadi preman juga," kata Kepala Sub Bagian Tata Usaha UPTD Terminal Tirtonadi Joko Sutrianto sembari tertawa saat ditemui Kompas.com, Rabu (7/12/2016).

Tidak cuma preman, Terminal Tirtonadi pun dikenal rawan copet. Kurangnya pengawasan petugas keamanan dan ketidakwaspadaan penumpang jadi kombinasi pas penyebab menjamurnya para tukang copet.

Saking menjamurnya, pengelola terminal sempat membuat posko khusus untuk istirahat para pencopet. Hal itu dilakukan untuk menyindir para pencopet yang masih gemar berkeliaran di terminal.

Dari segi pelayanan, tentu seadanya. Bila dibandingkan dengan bandar udara, pelayannya bak bumi dan langit. Maklum terminal akrab dengan masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah, sedangkan bandara kelas menengah ke atas.

Namun era suram terminal terbesar di Solo itu mulai habis. Sejak 2009, perubahan total digagas oleh Pemerintah Kota Solo. Kini, terminal yang dulu kumuh, rawan copet, dan pangkalan preman itu justru menjadi acuan pengelolaan terminal untuk daerah lain di Indonesia.

Rabu (7/12/2016), Kompas.com berkesempatan berkunjung ke Terminal Tirtonadi. Kesan pertama yang muncul adalah terminal itu tidak terasa layaknya terminal.

Meski belum sepenuhnya rampung, transformasi sejak 2009 telah membuat Terminal Tirtonadi terasa layaknya bandara. Tentu hal yang paling menonjol adalah lengkapnya fasilitas di dalam terminal.

Layanan informasi, CCTV, ATM center, ruang tunggu ber-AC, layar LED jadwal pemberangkatan, hingga fasilitas khusus penyandang difabel tersedia di terminal itu. Bahkan Desember ini, akan ada fasilitas sistem tiket elektronik atau e-ticketing. Artinya masyakarat bisa memesan tiket melalui gerai resmi, Payment Point Online Bank (PPOB), hingga aplikasi di smartphone.

(BACA: Terminal Tirtonadi Solo Segera Terapkan E-ticketing)

Seiring rencana penerapan sistem e-ticketing, pengelola Terminal Tirtonadi akan menerapkan wajib datang 45 menit sebelum keberangkatan untuk penumpang. Ruang tunggu keberangkatan pun sudah disedikan dengan berbagai fasilitas penunjang mulai pendingin ruangan (AC) hingga televisi layar datar.

Bahkan nantinya, ada skema kompensasi untuk penumpang bila terjadi keterlambatan pemberangkatan. Persis layaknya kompensasi penumpang pesawat saat terjadi delay penerbangan.

Tidak cuma itu, Terminal Tirtonadi juga memiliki skybridge yang terhubung ke Stasiun Balapan Solo. Panjangnya mencapai 437 meter dengan ketinggian 5 meter. Uniknya, Skybridge Solo itu dibangun di tengah kampung.

Tiang-tiang pancangnya berada di tepian jalan kampung. Rute proyeknya pun masuk ke gang-gang.

(BACA: Menyusuri "Skybridge" Solo yang membelah gang-gang Kampung)

Rencananya, akhir tahun ini skybridge itu akan rampung dan bisa segara dimanfaatkan oleh masyakarat. Meski begitu, Dinas Perhubungan memiliki tantangan berat. Sebab tidak semua masyarakat bisa cepat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.

Bahkan ungkap Joko, masih ada masyarakat dari desa yang masuk ke terminal membawa bebek untuk dijual, bahkan ada pula masyarakat yang masuk terminal dengan sandal penuh lumpur.

Namun ada juga hal-hal lucu. Lantaran lantai yang bersih, ada masyakarat yang melepas sandal sebelum masuk ke terminal.

Sentuhan Jokowi

Menariknya, terminal yang diangkat Gesang dan Didi Kempot untuk dijadikan salah atau karyanya itu punya keterkaitan erat dengan Presiden Joko Widodo.

Seperti diketahui, Jokowi merupakan mantan Wali Kota Solo periode 2005-2012. Dialah pemikir utama dibalik transformasi besar Terminal Tirtonadi.

"Terminal ini hasil pemikiran langsung dari beliau yang sekarang jadi presiden," ujar Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Surakarta Yosca Herman Soedrajad di Solo, Kamis (8/12/2016).

Herman sapaan akrab Yosca, menceritakan bagaimana komitmen Jokowi mengembangkan transportasi di Solo, termasuk membenahi Terminal Tirtonadi. Saat itu, Jokowi terkesan melawan arus.

Pada 2009, trend pembangunan dan pengembangan terminal tipe A harus dilakukan di pinggir kota. Namun Jokowi tidak mau ikut-ikutan. Ia justru bersikukuh ingin pengembangan Terminal Tirtonadi yang letaknya berada di tengah kota.

Namun, kendala lahan sempat menghadang. Berdasarkan aturan Pemerintah Pusat, terminal tipe A minimal harus memiliki kuas lahan mencapai 5 hektar. Saat itu, Terminal Tirtonadi tidak memiliki lahan seluas itu. Akhirnya, Jokowi menyurati Kraton Surakarta meminta izin penggunaan 1,5 hektar tanah milik kraton untuk pengembangan Terminal Tirtonadi.

Permintaan itu disetujui dan pengembangan Terminal Tirtonadi sebagai terminal tipe A pun dimulai. Selain itu, konsep pengembangan Terminal Tirtonadi serupa bandara juga ide Jokowi.

Saat itu, kata Herman, Jokowi tidak mau membeda-bedakan pelayanan fasiltas untuk masyarakat kelas menengah ke bawah dengan menengah ke atas. Masterplan pun dibuat dengan rencana "gila".

Terminal Tirtonadi direncanakan memiliki 5 lantai, komplit dengan pusat perbelanjaan dan hotel di dalamnya. Pergerakan 20.000 orang per hari di terminal itu dinilai sebagai pasar potensial.

Terakhir, Jokowi juga yang menggagas interkoneksi Terminal Tirtonadi dengan Stasiun Balapan yang jaraknya hampir 2 kilometer. Gagasan itu akhirnya dieksekusi oleh Walikota Solo saat ini FX Hadi Rudyatmo.

Eksekusi itu berupa pembangunan jembatan penghubung atau skybridge yang rencananya rampung tahun ini. Dari sisi dana, Pemerintah Pusat turun tangan pada 2011. Dana dari Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) mengucur untuk pembangunan Terminal Tirtonadi.

Sejak 2015, usai Jokowi menjadi Presiden, pengembangan Terminal Tirtonadi semakin mendapat perhatian oleh Pemerintah Pusat. Dengan berbagai perubahan itu, bukan tidak mungkin gambaran almarhum Gesang tentang Tirtonadi dilagunya bisa kembali benar-benar terwujud.

Tirtonadi yang permai dan memberikan kenyamanan bagi masyarakat pengguna jasa angkutan umum.

https://money.kompas.com/read/2016/12/09/160921426/antara-gesang-didi-kempot-jokowi-dan-terminal-tirtonadi-solo

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke