Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Omnibus Law, Birokrasi, Demokrasi, dan Penerbangan

Sudah menjadi rahasia umum tentang proses perijinan ini yang banyak dikeluhkan oleh para pengusaha. Omnibus Law bukanlah sesuatu yang baru dari keinginan Presiden Jokowi, karena sejak beliau menjabat sebagai wali kota Solo, maka salah satu karya besarnya adalah menyederhanakan banyak prosedur adminstrasi pemerintahan dalam jajarannya.

Memangkas prosedur yang berbelit-belit sekaligus menyederhanakan banyak peraturan yang tumpang tindih, memang merupakan salah satu kunci sukses dari kenerja pemerintahan yang sekaligus akan mempermudah upaya mencapai kesejahteraan masyarakat luas.

Tidak terlalu jelas tentang apa yang menjadi penyebab utama, akan tetapi kenyataannya yang terjadi adalah meluasnya penolakan terhadap gagasan Omnibus Law yang bahkan diiringi dengan demonstrasi yang anarkis di beberapa kota besar di Indonesia.

Ada penilaian tentang Omnibus Law ini yang terlalu dipaksakan, dalam arti terburu-buru dilakukan saat kita semua sibuk menghadapi pandemi Covid-19. Ada pula penilaian yang menyebutkan bahwa Omnibus Law sangat kurang disosialisasikan sebelumnya, sehingga dengan mudah dijadikan bahan untuk mengerahkan masa untuk berdemonstrasi menolak kebijakan itu.

Lebih dari itu bahkan banyak pula kalangan intelektual terpelajar dan para akedemisi yang mengulas secara detil isi dari Omnibus Law tersebut dengan kesimpulan banyak terdapat kekurangan dalam pasal-pasal di Omnibus Law tersebut. Pada intinya terlihat dipermukaan penolakan yang sangat kuat dari banyak pihak.

Sepintas, penolakan yang muncul terhadap Omnibus Law tentu saja menjadi sangat dipahami bila mengingat bahwa Omnibus Law bertujuan memangkas banyak prosedur dalam jajaran birokrasi terutama dalam masalah peijinan usaha.

Dengan dimudahkannya mekanisme perizinan, maka dipastikan akan banyak dampak yang terjadi bagi mereka yang selama ini justru menikmati kesemrawutan prosedur birokrasi dalam berbagai hal yang menyangkut perijinan. Pungutan liar yang selama puluhan tahun berjalan dengan “bebas” nya, seolah terlindungi oleh banyaknya peraturan, kini akan disederhanakan.

Omnibus Law memang bertujuan terutama sekali menutup kesempatan banyak orang untuk melakukan korupsi yang selama ini sudah merajalela. Sekali lagi, dengan Omnibus Law ini maka akan ada banyak pihak yang merasa dirugikan. Terlepas dari masih banyaknya kekurangan dari Omnibus Law ini, patut disayangkan langkah strategis Presiden yang sangat brilian ini mendapat tentangan yang luas.

Penolakan terhadap banyak hal menyangkut Omnibus Law terutama sekali mengarah kepada isi dari Omnibus Law itu sendiri. Yang pasti ide yang sangat bagus yang melatarbelakangi niat dari Omnibus Law seolah tenggelam dalam hiruk pikuk penolakan terhadap isi dari Omnibus Law. Serangan- serangan terhadap Omnibus Law selalu saja berlindung di bawah jargon demokrasi yang melegalkan soal perbedaan pendapat.

Atas nama demokrasi, selama ini yang terlihat semata adalah harus adanya kelompok oposisi untuk mengawasi kebijakan pemerintah. Di sisi lainnya persepsi tentang perbedaan pendapat adalah persoalan yang biasa dalam berdemokrasi. Lebih jauh lagi, demokrasi juga sering ditonjolkan dalam masalah kebebasan berbicara, yang kemudian terlihat kebablasan jauh dari unsur yang konstruktif.

Terlihat sekali banyak pihak yang sangat menikmati demokrasi yang seolah menempatkan diri sebagai bebas sekali yang tanpa batas. Pada akhrinya, maka bisa saja orang berkesimpulan bahwa dalam eforia berdemokrasi dengan sekian banyak kebebasan yang diperoleh, membawa kita semua pada apa sebenarnya yang menjadi tujuan kita bersama dalam bernegara.

Realitanya terlihat negara sudah sebagai bangsa yang terpecah. Satu pihak pendukung pemerintah yang sah, dan pihak lainnya yang menentang apapun yang menjadi kebijakan pemerintah. Kondisi yang sangat menyedihkan, karena unsur persatuan nasional menjadi sebuah hal yang jauh panggang dari api. Padahal, tanpa persatuan yang erat akan sangat sulit negara ini untuk dapat bekerja dalam mencapai cita-citanya.

Sepintas terlihat, demokrasi justru telah menghasilkan kelompok yang gemar berdemonstrasi dengan brutal dan anarkis, jauh dari tingkah laku sopan santun yang beradab.

Selain dalam perspektif birokrasi dan pemahaman keliru dalam berdemokrasi, Omnibus Law ternyata memberikan juga rasa optimis pada bidang penerbangan. Tercantum antara lain dalam Omnibus Law beberapa peraturan yang cenderung memudahkan bagi mereka yang akan memulai bisnis di bidang penerbangan.

Persyaratan untuk dapat mendirikan sebuah maskapai penerbangan misalnya sudah tidak seketat sebelumnya yang dirasakan sangat memberatkan pihak investor dalam memulai bisnis maskapai penerbangan.

Tentu saja khusus di bidang penerbangan, di tengah kesulitan yang sangat berat dihadapi berkenan dengan pandemi Covid-19, Omnibus Law telah memberikan peluang dengan beberapa keringanan regulasi dalam bisnis penerbangan. Mudah-mudahan ini merupakan sebuah refleksi dari pemerintah untuk memberikan perhatian yang cukup baik pada bisnis penerbangan dan bisnis lainnya di dalam negeri.

Demikianlah secara keseluruhan hiruk pikuk kemunculan Omnibus Law di tengah pandemi Covid-19 yang sebenarnya bertujuan membenahi hambatan birokrasi khususnya dalam bidang perizinan. Sayangnya di tengah iklim demokrasi sekarang ini, maka menjadi tidak mudah bagi pemerintah untuk melakukan terobosan yang sejatinya bertujuan baik.

Sementara itu khusus di bidang penerbangan, Omnibus Law sudah terlihat tampil dengan format yang sangat masuk akal dalam konteks memajukan industry penerbangan yang kondisinya sangat terpukul oleh kehadiran Covid-19.

Mudah-mudahan pandemi Covid-19 dapat segera berlalu dan kehebohan Omnibus Law mendapat segera teratasi dengan baik.

https://money.kompas.com/read/2020/11/03/050300526/omnibus-law-birokrasi-demokrasi-dan-penerbangan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke