Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

[TREN DIARY KOMPASIANA] Belajar Mencintai Kegagalan | "1 Kali Gagal, 2 Kali Bangkit" | Mengatasi Minder Bersekolah di Kota

KOMPASIANA---Seperti halnya masa pertumbuhan, dalam berkarya juga kita akan berjalan setelah jatuh berkali-kali. Tapi, itulah berproses.

Nah, dalam berproses itu kita bisa memelajari banyak hal baru. Setelah itu kita bisa mengembangkan keterampilan dari serangkaian kegagalan yang pernah kita laui, bukan?

Memang tidak mudah berdamai dengan kegagalan. Karena kita mesti mengatur ulang pola pikir optimistis untuk memandang setiap kegagalan bukan sebagai kemunduran.

Bila sukses itu dimulai dari kegagalan, bisakah kita mulai mencintai kegagalan?

1. Alasan Mengapa Kamu Harus Belajar Mencintai Kegagalan

Setiap orang pasti pernah merasakan kegagalan, menurut Kompasianer Sri Pujiati bahkan itu merupakan proses dari kehidupan.

Selalu ada cerita kegagalan di balik sebuah kisah kesuksesan, begitu juga sebaliknya.

Pasalnya, kegagalan dan kesuksesan merupakan dua hal yang berjalan berdampingan, tinggal bagaimana kita menyikapinya.

"Kegagalan memang terkadang membuat kita ingin menyerah dan berhenti saja, karena kita merasa usaha yang telah kita lakukan terasa sia-sia dan percuma," tulis Kompasianer Sri Pujiati.

Untuk itulah kita mestibelajar mencintai kegagalan. Itu bukan tanpa alasan, karena di balik kegagalan itu ada hal luar biasa yang mungkin tidak pernah kita ketahui. (Baca selengkapnya)

2. Prinsip Hidup Ketika Terpuruk: "1 Kali Gagal, 2 Kali Bangkit"

Kegagalan adalah hal yang menyakitkan apalagi berkaitan dengan mimpi yang diharapkan terwujud.

Nah, dari kegagalan itu mestinya jadi sesuatu yang diwajarkan. Sederhananya, bagi Kompasianer Indra Mahardika: kita sering mengalami kegagalan dalam porsi masing-masing.

Gagal adalah wajar karena hampir semua orang pernah merasakan. Hal luar biasa adalah bagaimana kita bisa bangkit dari kegagalan tersebut dan belajar apa yang perlu diperbaiki.

"1 kali gagal, 2 kali saya harus bangkit," itu prinsip yang muncul pada Kompasianer Indra Mahardika saat gagal sekolah di tempat yang diinginkan. (Baca selengkapnya)

3. Anak Desa Juga Bisa, Kisahku Mengatasi Rasa Minder Kala Bersekolah di Kota

Menurut banyak orang, tulis Kompasianer Bobby (Ruang Berbagi), anak desa kalah segalanya dibanding anak kota. Akses pendidikan anak kota jauh lebih baik sehingga anak kota unggul dibandingkan anak desa.

Perasaan itu muncul ketika Kompasianer Bobby (Ruang Berbagi) menuliskan catatan pengalamannya mengatasi rasa minder sebagai anak desa yang pindah sekolah ke kota.

"Masa TK sampai SD kelas V aku nikmati tanpa banyak berpikir soal prestasi di sekolah. Segalanya berubah ketika aku pindah ke Kota Yogyakarta sejak kelas VI, demi pendidikan yang lebih baik," lanjutnya, mengisahkan.

Menariknya, ketika akan mengikuti ujian, ketika itu Kompasianer Bobby (Ruang Berbagi) merasakan betul "The Power of Kepepet".

"Ketika terdesak oleh keinginan untuk bisa menunjukkan bahwa anak (dari) desa juga bisa mengikuti pelajaran di kota, prestasiku meningkat," tulis Kompasianer Bobby (Ruang Berbagi). (Baca selengkapnya)

***

Ingin membaca konten menarik lainnya? Silakan kunjungi laman subkategori Kompasiana: Diary.

https://money.kompas.com/read/2021/04/27/070700826/-tren-diary-kompasiana-belajar-mencintai-kegagalan-1-kali-gagal-2-kali-bangkit

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke