Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengenal "Sunk Cost Fallacy", Istilah "Bucin" di Dunia Investasi

Berangkat dari istilah tersebut, pada akhirnya muncul fenomena sunk cost fallacy. Sunk cost fallacy merujuk pada kekeliruan sikap terhadap biaya hangus.

Dalam investasi sendiri, sering kali ditemukan beberapa orang yang tetap memilih setia pada suatu saham meskipun saham tersebut tren nya sedang turun.

Beberapa orang tersebut memilih untuk tetap berinvestasi karena mereka sudah terlanjur banyak mengeluarkan uang dan merasa sayang untuk meninggalkan saham tersebut. Pemikiran itu lah yang disebut sebagai sunk cost fallacy.

Gembong Suwito, CFP®, QWP selaku perencana keuangan finansialku menggambarkan fenomena sunk cost fallacy dengan istilah ‘kebucinan’ atau rasa sayang berlebih.

“Sebenarnya ini sudah turun saham-sahamnya, tapi karena sudah sayang banget terus ditambah. Ya bucin lah bahasa cinta nya ya. Sudah bucin jadi apapun keadaanya ya tetap ditambah,” ujarnya.

Sunk cost fallacy baik atau buruk?

Perihal baik dan buruk, Gembong menyampaikan bahwa hal tersebut bergantung pada tipe pemain saham. Menurutnya ada dua tipikal orang dalam bermain saham, yaitu sebagai investor dan trader.

Mari ambil contoh dari saham yang bergerak pada bidang consumer goods atau barang konsumsi sehari-hari. Kondisi pandemi menyebabkan saham perusahaan yang bergerak pada bidang ini menurun, seperti yang terjadi pada Unilever.

Orang dengan tipe investor akan melihat ini sebagai sebuah kesempatan karena harga di pasar bisa dikatakan murah. Dengan membeli di harga yang murah ke depannya jika harga naik mereka akan menjualnya.

Sedangkan bagi orang dengan tipe trader, tren turun mungkin akan memengaruhi mereka. Hal ini disebabkan karena mereka butuh keuntungan yang instan dan dalam waktu yang singkat, biasanya mingguan atau bulanan.

“Kalau dia memahami apa yang dia beli, maka istilah itu baik. Tapi kalau misalkan sebagai trader dan tidak punya rencana, maka sunk cost fallacy ini menjadi buruk,” tegas Gembong.


Bagaimana cara agar tidak terjebak pada sunk cost fallacy?

Gembong menyampaikan dua cara yang bisa dilakukan agar tidak terjebak dalam sunk cost fallacy saat berinvestasi.

“Jadi, sebelum masuk ke sunk cost fallacy maka perlu adanya rencana investasi. Yang kedua melakukan diversifikasi ke beberapa sektor,” sebutnya.

Perencanaan investasi menjadi penting sebelum akhirnya mantap memutuskan untuk investasi. Sebagai investor tentu harapannya adalah tren saham naik dan memberi profit.

Namun terkadang hal tersebut tidak selalu terjadi di lapangan, sehingga perlu rencana lain yang harus dilakukan. Bagi investor yang tidak memiliki rencana pasti akan kesulitan untuk menerima kerugian yang terjadi.

Selanjutnya, untuk melakukan diversifikasi, Gembong menyarankan untuk melakukan diversifikasi minimal ke tiga saham dengan sektor yang berbeda. Hal ini dilakukan agar menyelamatkan keuangan ketika di satu sektor terjadi kerugian.

Perencana keuangan Finansialku ini juga menegaskan bahwa cara-cara yang telah disebutkan sebelumnya harus disesuaikan dengan keadaan keuangan investor. Karena kondisi keuangan setiap orang pasti berbeda-beda.

“Intinya kalau di saham informasinya itu seperti obat dalam kesehatan. Betul-betul kustom dan harus butuh dokter untuk menjelaskan kadarnya, dosisnya, dan jenis obatnya itu berbeda tiap orang,” kata Gembong. (Regine Deanaendra)

Artikel ini merupakan kerja sama dengan Finansialku.com. Isi artikel di luar tanggung jawab Kompas.com.

https://money.kompas.com/read/2021/09/19/121400126/mengenal-sunk-cost-fallacy-istilah-bucin-di-dunia-investasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke