Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menunggu (Kepastian) Pemberlakuan Pajak Karbon di Indonesia

Pajak karbon merupakan salah satu instrumen pasar karbon yang digunakan oleh suatu negara dalam merespons krisis iklim di dunia.

Jenis pajak lingkungan ini umumnya dikenakan pada komoditas bahan bakar fosil (seperti bensin, batubara, gas alam) kepada produsen atau konsumen yang menggunakannya karena terdapat emisi karbon yang dihasilkan yang berkontribusi pada perubahan iklim.

Perjanjian Paris yang merupakan kesepakatan dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) juga mendorong penerapan mekanisme pajak karbon secara global, termasuk forum internasional lainnya seperti Sistem Perdagangan Emisi Uni Eropa (EU ETS), Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).

Lantas siapa yang diuntungkan dalam penerapan pajak karbon ini? Bagi pemerintah, pajak karbon dapat membantu pencapaian target pengurangan emisi yang dikomitmenkan dalam dokumen Nationally Determined Contributions (NDCs).

Pendapatan dari pajak juga dapat menambah pendanaan untuk program perubahan iklim, seperti di Indonesia yang hanya memiliki dana 30-40 persen untuk kebutuhan pencapaian target NDC tahun 2030.

Bagi pelaku ekonomi, intrumen pajak karbon mendorong perilaku bisnis yang lebih ramah lingkungan dengan inovasi teknologi dan investasi yang efisien.

Pasar karbon juga akan berkembang. Apalagi prediksi nilai perdagangan karbon global terus meningkat hingga ~2,400 pada tahun 2027 (Coherent Market Insights, 2021).

Sebaliknya, dampak negatif penerapan pajak karbon juga perlu diwaspadai. Ekonomi industri yang sangat bergantung pada bahan bakar fosil dapat mengalami penurunan daya saing akibat kenaikan beban produksi.

Bagi konsumen yang berpendapatan rendah, dampak regresif menghantui karena pendapatan yang mereka akan belanjakan untuk energi atau produk yang dikenakan pajak, seperti Perancis yang mencabut kebijakan penerapan pajak karbon tahun 2019.

Sehingga diperlukan kebijakan yang tepat sasaran untuk mengantisipasi dampak yang ditimbulkan dari penerapan pajak karbon nantinya.

Tarik ulur penerapan pajak karbon di setiap negara bukan tanpa sebab. Meskipun sebagai salah satu polutter terbesar di dunia, Amerika Serikat sebagai contoh, konsep pajak karbon dianggap cukup berisiko secara politis sehingga sulit untuk disahkan dalam kongres mereka.

Terlebih lagi bagi negara dengan industri bahan bakar fosil yang dominan atau konstituen anti-pajak yang cukup vokal.

Pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi COVID-19 dan dampak perang Rusia-Ukraina turut menjadi pertimbangan.

Negara dengan sistem perpajakan dan administrasi yang rumit dan belum baik juga memerlukan investasi dan waktu dalam pengembangan infrastruktur sistemnya.

Lain halnya dengan Finlandia yang menerapkan pajak karbon pertama kali di dunia sejak tahun 1990 karena mendapat dukungan politik yang luas, dipercaya efektif untuk mengurangi emisi, serta turut mempromosikan pembangunan berkelanjutan.

Hingga 1 April 2022, baru sekitar 35 negara di dunia yang mengimplementasikan pajak karbon.

Di Indonesia, ajang pemilihan umum yang akan berlangsung tahun depan, mungkin juga menjadi pertimbangan penerapan pajak karbon ditunda hingga 2025.

Saat ini perdagangan karbon di Indonesia belum dikenakan pajak untuk komoditas/aktifitas yang yang menghasilkan emisi karbon, namun landasan hukum pajak karbon sudah dipersiapkan.

Undang-undang No.7/2021 mengenai harmonisasi peraturan perpajakan dan Peraturan Presiden No. 98/2021 mengenai penyelenggaraan nilai ekonomi karbon, setidaknya mendasari pemberlakuan pajak karbon di Indonesia sambil menunggu aturan detail turunannya.

Ruang lingkup dan tarif pajak karbon telah ditetapkan dalam peraturan saat ini. Dari semua jenis emisi gas rumah kaca, hanya karbondioksida (CO2) yang dikenakan pajak karbon sebagai sumber emisi gas terbesar (~80 persen) penyumbang pemanasan global.

Gas emisi lainnya seperti metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O), dan gas berfluorinasi (F-gas) belum dikenakan tarif pajak karbon saat ini.

Tarifnya, yaitu paling rendah Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen atau lebih tinggi/sama dengan harga karbon di pasar karbon.

Angka ini sebenarnya sangat jauh dari kisaran tarif yang direkomendasikan Bank Dunia untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celcius, yaitu kisaran 50-100 dollar AS per ton CO2 (State and Trends of Carbon Pricing, 2022).

Lain halnya, Uruguay menerapkan tarif pajak karbon tertinggi di dunia, yaitu sebesar 137.30 dollar AS per ton CO2 per 1 April 2022.

Selanjutnya, apalagi yang perlu dipersiapkan sambil menunggu penerapan pajak karbon di Indonesia? Tiga hal ini perlu dipertimbangkan dalam pengembangan infrastruktur sistem pajak karbon.

Pertama, sistem pengumpulan dan pendistribusian hasil pajak karbon. Pengumpulan pajak mungkin tidak akan jauh berbeda dengan pungutan pajak-pajak lainnya yang bisa dikenakan langsung pada suatu barang atau kegiatan yang menghasilkan emisi atau dapat bersifat kumulatif selama periode tertentu.

Namun pendistribusian hasil pajak kabron yang perlu mendapat perhatian lebih.

Finlandia mendistribusikan pendapatan dari pajak karbonnya untuk menambah anggaran pemerintah serta dengan pemotongan independen dalam pajak penghasilan.

Belanda juga menggunakannya untuk mengurangi pajak-pajak lainnya, serta penggunaan untuk program perubahan iklim.

Bahkan Australia menggunakan lebih dari setengah pendapatan dari pajak karbon untuk membantu rumah tangga.

Belajar dari kasus di Perancis, selain untuk program perubahan iklim, Indonesia juga dapat memberikan prioritas pendapatan dari pajak karbon khusus untuk rumah tangga yang berpendapatan rendah sebagai bentuk kompensasi peningkatan biaya energi mereka akibat adanya pajak karbon.

Kedua, pemantauan keefektifannya dan pelaporan dampaknya. Kegiatan ini juga termasuk untuk pencatatan jumlah emisi terkait berapa tarif pajak karbon, pendapatan pajak karbon yang diperoleh, kepatuhan pelaku usaha/konsumen pada pajak karbon, dan jika memungkinkan bersifat laporan publik.

Akuntabilitas yang jelas dan transparan menjadi kunci untuk memudahkan ketelusuran nantinya antara pendapatan yang diperoleh serta hasil ekonomi dan lingkungan secara keseluruhan dari kebijakan pajak karbon ini.

Sistem monitoring dan pelaporan yang dikembangkan juga diharapkan dapat membaca perubahan perilaku di kalangan pelaku usaha/konsumen terkait penggunaan barang atau kegiatan yang menghasilkan emisi.

Ketiga, evaluasi dan penyesuaian kebijakan. Kondisi ekonomi dan lingkungan yang tidak stabil, mengharuskan fleksibitas dan adaptabilitas yang tinggi dari penerapan suatu kebijakan, termasuk pajak karbon.

Amerika Serikat mengembangkan Carbon Tax Assessment Model (CTAM) yang dikelola oleh Kantor Energi Negara Bagian Washington sebagai model open source yang dapat mengukur gas rumah kaca, namun masih dalam perdebatan hasil luarannya.

Evaluasi dampak ekonomi, lingkungan, dan distribusi menjadi penting. Apakah pajak karbon turut menurunkan emisi karbon selama periode penerapannya atau tidak?

Apakah harga barang dan jasa serta daya saing industri tertentu menjadi lebih baik atau sebaliknya? Apakah dampak distribusi pada kelompok pendapatan dan masyarakat golongan tertentu adil atau tidak?

Jawaban dari parameter tersebut tentu dapat menjadi pertimbangan dalam mengevaluasi penerapan kebijakan pajak karbon ke depannya.

Mumpung pajak karbon belum diterapkan, yang terpenting jangan sampai kasus seorang PNS pajak Rafael Alun Trisambodo baru-baru ini, turut mencederai kepercayaan pelaku usaha terhadap sistem pajak karbon dan pemanfaatan pendapatannya yang sedang dibangun dalam penerapan pajak karbon nantinya.

https://money.kompas.com/read/2023/05/13/091500226/menunggu-kepastian-pemberlakuan-pajak-karbon-di-indonesia

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke