Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mencari Solusi Menekan "Eggflation"

Banyak yang berasumsi, kenaikan harga telur merupakan bagian dari inflasi umum yang membuat harga sembako dan bahan makanan lainnya meroket. Tetapi, sebenarnya ketika menyangkut telur, bukan itu masalah utamanya.

Meski mulai turun, harga telur ayam hingga kini masih terbilang mahal. Setelah melewat puncak harga di Rp 40.000 per kg, kini harga telur rata-rata berkisar Rp 34.000 per kg. Harganya diperkirakan akan tetap mahal hingga September 2023.

Ada apa sebenarnya di balik melonjaknya harga telur? Banyak pengamat menyimpulkan bahwa harga telur yang meroket dipengaruhi dua faktor, yaitu kenaikan harga pakan dan program bantuan sosial (bansos).

Program bansos diklaim telah menyebabkan harga telur melambung karena ayam dan telur diserap pemerintah untuk dibagikan kepada sekitar 1,4 juta keluarga penerima manfaat (KPM). Di sisi lain, produksi ternak sulit dilakukan, imbas harga pakan ternak (terutama jagung) yang kian mahal.

Fenomena seperti itu tampaknya sudah musiman. Pasalnya, kenaikan harga telur setelah program bansos pangan juga terjadi tahun lalu. Harga telur tahun lalu mencetak rekor tertinggi dalam sejarah, yaitu Rp 33.000 per kg. Tahun ini, harga telur kembali mencetak rekor, yaitu Rp 40.000 per kg.

Pemerintah selalu menjadikan faktor musiman sebagai dalih saat menjelaskan kepada publik soal kenaikan harga telur ayam saat ini diperkirakan hanya berlaku sementara. Tak ada yang salah memang, hanya saja tidakkah ada langkah konkret pemerintah untuk menahan atau mengatasi kenaikan harga telur agar tidak terjadi setiap tahun?

Menteri Perdagangan (Mendag), Zulkifli Hasan, sangat optimis bahwa harga telur bisa turun dalam dua minggu ke depan. Hal itu lantaran pemerintah sedang berupaya menambah jumlah indukan ayam agar bisa memproduksi telur lebih banyak. Dengan begitu, pasokan telur di pasaran tercukupi, dan harga bisa kembali stabil.

Pertanyaannya, apakah semudah dan sesingkat itu panen telur dari indukan ayam yang biasanya memiliki siklus produksi 12 hingga 14 bulan untuk menghasilkan telur secara konsisten. Itu pun jika distribusi indukan ayamnya merata dan menghasilkan telur di waktu yang relatif bersamaan.

Belum lagi persoalan ayam broiler dan ayam petelur yang diproduksi di Indonesia termasuk jenis ayam yang berbeda dengan garis genetika khusus yang diperlukan untuk memproduksi telur yang akan secara khusus diimpor. Bahkan 81 persen unggas Indonesia memiliki cadangan genetika yang berasal dari Amerika Serikat (Wright dan Darmawan, 2017).

Apakah Zulkifli bisa menjamin dua minggu lagi berhasil sesuai rencana? Tampaknya pemerintah perlu menjelaskan fakta dan data secara detail pada publik agar tidak menimbulkan kebingunan.

Jika dilihat dari industri perunggasan secara umum, sebenarnya tak ada masalah yang berarti dengan produksi telur kita. Bahkan produksi telur ayam ras petelur di Indonesia konsisten meningkat tiap tahun selama 2017-2021.

Menurut laporan Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2021, produksi telur ayam ras tahun 2017 tercatat 4,63 juta ton. Produksinya meningkat 1,19 persen menjadi 4,68 juta ton pada 2018, selanjutnya naik 1,4 persen menjadi 4,75 juta ton pada 2019. Tren peningkatan terus berlanjut mencapai 5,15 juta ton pada 2021.

Meski memang penyebab harga telur terus naik berkaitan erat dengan harga pakan yang kian melambung. Ini juga wajar karena pakan mewakili 60 persen sampai 70 persen dari biaya peternak layer.

Setiap perubahan seputar biaya pakan memengaruhi harga telur. Harga pakan global naik dua kali lipat antara pertengahan tahun 2020 dan 2022. Hal ini berdampak besar pada industri telur, karena sulit bagi produsen untuk membebankan biaya yang lebih tinggi ini kepada pelanggan.

Namun ada hal yang jarang dijelaskan kepada masyarakat, yaitu terkait persaingan industri perunggasan yang cenderung dikuasai beberapa pemain saja. Saat semua faktor sulit menjelaskan mengapa harga telur naik, ada faktor yang tampaknya bisa menjelaskan dari hulu hingga hilir, yaitu potensi skema kolusi harga dan oligopilistik industri.

Oligopoli Industri Perunggasan

Salah satu petunjuknya adalah kurangnya persaingan harga di industri telur pada umumnya. Berkaca dari fenomena eggflation di Amerika Serikat pada Agustus tahun lalu, Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) pernah meminta peningkatan produksi telur.

Saat itu biaya pakan di sana relatif moderat, tetapi harga telur sangat tinggi. Sayangnya, produksi tetap tidak kunjung meningkat dan harga tetap naik. Anehnya, pasar tidak terlalu banyak berubah meski pemerintah turun tangan.

Hal itu menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak berjalan sebagaimana mestinya dalam industri telur. Biasanya, dalam pasar yang kompetitif, jika ada keuntungan yang besar yang dapat diperoleh dengan meningkatkan produksi dan menawarkan harga yang lebih rendah, perusahaan-perusahaan akan bersaing untuk mengambil pangsa pasar dan menurunkan harga.

Namun, dalam kasus itu terlihat bahwa produksi telur tidak meningkat signifikan dan harga tetap tinggi. Inilah yang disebut oligopoli industri perunggasan yang minim persaingan harga.

Industri telur di Indonesia juga ditandai dengan tidak adanya persaingan harga. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain jumlah produsen besar yang sedikit, hambatan masuk yang tinggi, dan peran pemerintah dalam mengatur industri.

Banyak riset menunjukkan industri unggas dan pakan kita dikuasai pemain-pemain besar. Setidaknya ada lima produsen telur teratas di Indonesia menguasai lebih dari 60 persen  pasar, yang memberi mereka kekuatan pasar yang signifikan. Ini berarti, mereka berpotensi secara kolektif menetapkan harga dan membatasi persaingan.

Hambatan untuk masuk ke industri telur juga tinggi. Hal ini disebabkan tingginya biaya mendirikan peternakan unggas, kebutuhan akan pengetahuan dan keterampilan khusus, dan persyaratan perizinan dari pemerintah. Hal ini mempersulit pendatang baru untuk menantang produsen yang ada dan menurunkan harga.

Pemerintah juga berperan dalam mengatur industri telur. Ini termasuk pengaturan kuota produksi, kuota impor, dan harga. Hal ini selanjutnya dapat membatasi persaingan dan menjaga harga tetap tinggi.

Akibat dari faktor-faktor tersebut, industri telur di Indonesia dicirikan oleh tingginya harga dan tidak adanya persaingan harga. Ini menjadi perhatian konsumen, yang membayar lebih untuk telur daripada yang seharusnya. Hal ini juga harus menjadi perhatian pemerintah yang berusaha menekan inflasi pangan.

Bagaimana caranya mengatasinya? Tentu saja kurangi hambatan untuk masuk ke dalam industri, batasi peran pemerintah dalam mengatur industri, dan mulailah mempromosikan transparansi dalam industri, seperti dengan mewajibkan produsen untuk mengumumkan harga ke publik.

Saat terjadi fenomena seperti ini selalu pemerintah yang muncul ke permukaan, sementara produsen-produsen besar tak satu pun muncul menjelaskan hal yang terjadi pada masyarakat.

Di pasar telur, mereka menguasai lebih dari 60 persen pasar. Di pasar pakan ternak, mereka juga memiliki andil yang signifikan. Salah satu produsen pakan unggas terbesar di Indonesia bahkan menggenggam pangsa pasar pakan lebih dari 30 persen.

Artinya mereka memiliki pengaruh yang signifikan terhadap harga pakan unggas, yang dapat memengaruhi biaya pemeliharaan ayam dan unggas lainnya. Mereka terintegrasi secara vertikal, artinya mereka terindikasi menguasai seluruh proses produksi, mulai dari pembibitan ayam hingga pemasaran telur.

Hal itu memberi mereka keuntungan signifikan dibandingkan produsen kecil, yang tidak mampu bersaing dalam harga atau kualitas. Fakta bahwa perusahaan-perusahaan ini mengendalikan pasar pakan dan telur memberi mereka kekuatan pasar yang signifikan. Mereka dapat menggunakan kendali atas pasar pakan untuk memengaruhi biaya beternak ayam, yang kemudian dapat memengaruhi harga telur. Hal ini dapat menyebabkan harga yang lebih tinggi bagi konsumen.

Ada beberapa produsen telur lain di Indonesia, tetapi mereka jauh lebih kecil dari lima perusahaan teratas. Produsen kecil ini menghadapi sejumlah tantangan, termasuk biaya produksi yang tinggi, kurangnya akses ke modal, dan peraturan pemerintah.

Akibatnya, mereka tidak dapat bersaing dengan lima perusahaan teratas dan memiliki pengaruh yang terbatas di pasar. Ini hanyalah konsekuensi potensial. Namun, masih banyak yang harus dilakukan pemerintah untuk meningkatkan persaingan di industri ini, seperti mengurangi hambatan industri dan membudayakan transparansi.

Jika hal itu bisa diatasi oleh pemerintah dan kawanan industri besar, saya yakin ini akan membantu harga telur terjangkau dan stabil dalam jangka panjang.

https://money.kompas.com/read/2023/06/19/133051026/mencari-solusi-menekan-eggflation

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke