SERUYAN, KOMPAS.com – Mad Sangadat (30) masih ingat betul tabungan hasil kerjanya baru ada Rp 6,9 juta ketika tiba hari kelahiran putra pertamanya enam tahun silam di perantauan.
Dia tengah mengadu nasib di Desa Kenawan, Permata Kecubung, Sukamara, Kalimantan Tengah (Kalteng) kala itu, 753 km dari asalnya Purbalingga, Jawa Tengah (Jateng).
Sang istri, Dwiningsih Afriati (30), sebelumnya sudah dijadwalkan untuk menjalani operasi caesar pada 12 Juli 2017. Di luar kuasa mereka, janin yang dikandung sungsang dan leher terlilit tali pusat.
Setelah membayar travel berangkat berdua, uang simpanan Adat pun tinggal tersisa Rp 6,4 juta setibanya di RSUD Sultan Imanuddin Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, Kalteng.
Meski kondisi ekonomi keluarganya belum mantap dan jaringan sosialnya masih terbatas di tanah orang, dia mengaku saat itu tidak terlalu risau dengan biaya perawatan istri dan anaknya.
Alasannya karena pekerja lepas di perkebunan sawit tersebut telah lebih dulu menjadikan istri dan calon buah hatinya sebagai peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
“Enggak terbayang kalau saat itu kami belum ikut BPJS Kesehatan. Buat operasi caesar saja, biayanya bisa sampai Rp 20 juta. Mungkin kami sudah nangis-nangis jika masuk RS sebagai pasien umum, bingung mau utang ke mana,” ucapnya saat diwawancarai Kompas.com pada Kamis (17/8/2023).
Adat bersyukur tabungannya ketika itu bisa dioptimalkan untuk mencukupi kebutuhan istri dan bayinya pascakelahiran.
Hal itu karena harga-harga kebutuhan di Kalimantan jauh lebih mahal daripada di Jawa. Dia pun merasa tabunganya sangat minim.
Dwi sendiri mulai ikut suaminya hijrah ke Kalimatan ketika sudah hamil empat bulan. Keyakinannya untuk pindah salah satunya juga karena telah mendaftar JKN sejak baru menikah pada 2016.
Dia tenang karena biaya kontrol kehamilan lanjutan maupun berobat jika sewaktu-waktu sakit dapat ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Daerah terpencil
Dwi bercerita, selama mengakses layanan di beberapa faskes di Pulau Borneo sebagai peserta JKN segmen mandiri kelas II, keluarganya tak pernah mendapatkan diskriminasi. Status mereka sebagai penduduk pendatang juga tak pernah sekali pun jadi kendala.
“Kami kan sempat pindah beberapa kali selama di sini (Kalimantan). Yang terjadi, di mana pun kami berobat, pelayanannya sangat baik. Kehadiran kami tak dibedakan dengan pasien non-JKN. Beberapa waktu lalu anak kedua kami juga dilayani dengan optimal ketika opname di RSUD Melawi, Kalbar,” ucapnya puas.
Lagi pula sebut Dwi, kondisi faskes di Kalimantan ternyata tak seperti yang ia bayangkan di awal. Realitasnya, tak jauh tertinggal dari di Jawa.
Dia menemukan banyak desa bahkan telah dilengkapi dengan puskesmas pembantu (Pustu) untuk mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Hal itu terjadi pula di tempat tinggalnya sekarang yang terpencil, di Desa Tumbang Darap, Kecamatan Seruyan Hulu, Seruyan, Kalteng.
"Sistem pendaftaran pasien JKN yang kian mudah juga sudah berlaku di tempat kami. Ketika kami berobat di Pustu, sekarang cukup bawa KTP saja, tak perlu lagi menunjukkan kartu JKN, apalagi berkas fotokopi," ungkapnya.
Saat ditanya, Dwi menyebut, aplikasi Mobile JKN belum bisa dipakai untuk pendaftaran pelayanan di Pustu karena di tempat tinggalnya masih susah sinyal internet.
Dwi selama di Kalimantan hanya memakai Mobile JKN untuk mengubah data peserta seperti pindah faskes tingkat pertama (FKTP) ketika sudah ada rencana pindah tempat tinggal. Itu pun dia lakukan ketika berada di tempat yang tersedia wifi atau ke arah kota.
"Mobile JKN membantu sekali kami untuk urus administrasi kepesertaan. Kami jadi tak perlu datang ke kantor BPJS di (kompleks) kabupaten yang jauh. Seperti di Seruyan, butuh waktu dua hari semalam jika kami harus perjalanan ke sana dari rumah," jelasnya.
Langkah antisipasi
Kebermanfaatan JKN juga dirasakan betul oleh Yogi Nur Prasetyo (31), warga Banjarnegara, Jateng, yang kini tinggal di Desa Balam Sempurna, Balai Jaya, Rokan Hilir, Riau.
Menurut dia, sebagai perantau yang kini hidup sendirian di kota orang, JKN bisa dijadikan sebagai pegangan saat sakit.
Ketika sewaktu-waktu butuh penanganan medis, dirinya tinggal pergi ke Puskesmas Balai Jaya tanpa perlu memikirkan biaya pengobatan.
Maka dari itu, Yogi merasa, program JKN penting sekali diikuti oleh para pekerja, terlebih yang merantau jauh dari keluarga.
“Sakit kan bisa datang kapan saja dan keuangan kita juga belum tentu stabil terus ya? Jadi, lebih cepat mengurus JKN, itu lebih baik bagi siapa saja untuk antisipasi,” ungkapnya.
Kondisi darurat
Sementara itu, Adi Yoga Permana (31) menyampaikan, kebijakan BPJS Kesehatan yang membolehkan peserta JKN mengakses layanan di FKTP lain maksimal tiga kali kunjungan dalam waktu paling lama sebulan sangat berguna baginya.
Sebab, dia selama ini harus sering berpindah-pindah tempat tinggal sementara karena tuntutan pekerjaan sebagai tenaga ahli K3 dengan sistem kontrak per proyek.
Warga Banjarnegara itu menuturkan, ketentuan tersebut telah membuatnya bisa berobat tanpa harus ribet dan keluar biaya ketika berada di luar daerah. Cukup menunjukkan KTP, Yoga sudah bisa menggunakan BPJS Kesehatan di luar FKTP terdaftar.
“Kuncinya atur strategi saja. Kalau memang di tempat tujuan diperkirakan hanya sebulan, saya biasanya tak mengubah FKTP. Tetapi, kalau sampai tiga bulan lebih, saya akan pindahkan FKTP ke puskesmas atau klinik terdekat dengan lokasi proyek,” jelasnya.
Yoga juga merasa dimudahkan dengan aturan BPJS yang mempersilakan para peserta JKN langsung menuju UGD rumah sakit mana pun dalam kaadaaan gawat darurat atau emergency.
“Saat berada di Sukabumi beberapa waktu lalu, anak saya malah yang tiba-tiba sakit panas tinggi. Saya lalu bawa dia ke UGD RS Bhakti Medicare. Setelah diperiksa, anak saya harus opname kurang lebih sepekan dan kami tidak dipungut biaya sama sekali. Padahal FKTP anak saya saat itu masih terdaftar di Puskesmas Madukara 1, Banjarnegara,” ucapnya.
Terbuka aduan
Asisten Deputi Komunikasi Publik dan Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan, Agustian Fardianto, memastikan BPJS telah berkomitmen akan terus berinovasi untuk semakin memudahkan peserta JKN dalam mengakses layanan kesehatan di mana saja.
Dia pun menjelaskan, kebijakan perubahan FKTP yang hanya bisa dilakukan minimal 3 bulan sekali bukan dimaksudkan untuk mempersulit peserta JKN.
Ketentuan tersebut justru diharapkan bisa memberikan keuntungan lebih besar kepada peserta karena akan memudahkan FKTP dalam memantau status kesehatan mereka.
“Fungsi FKTP kan bukan hanya kuratif ya, tapi ada juga promotif dan preventif. Jadi ada berbagai hal yang harus dilakukan FKTP untuk memastikan masyarakat tetap sehat,” ucapnya, Sabtu (19/8/2023).
Ardi mengatakan, BPJS Kesehatan sejak dulu juga sudah berkomitmen untuk dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang setara atau tanpa diskriminasi kepada pasien JKN.
Dengan ini, dia mempersilakan para peserta JKN tidak sungkan melapor ke BPJS Kesehatan apabila masih mengalami kesulitan saat mengakses layanan di faskes, memerlukan informasi, atau bahkan ingin menyampaikan masukan maupun aduan.
Caranya mudah, bisa lewat BPJS Kesehatan Care Center 165, aplikasi Mobile JKN, kantor cabang terdekat, nomor telepon petugas yang tertera di setiap faskes, atau akun media sosial resmi BPJS.
"Misalnya, peserta JKN yang ketika merantau menemukan pelayanan atau sarana- prasarana di fakses di daerah tujuan kurang memadai, itu bisa juga disampaikan. Setiap laporan yang masuk akan coba kami tindaklanjuti. Kami lalu dapat bekerja sama dengan pemerintah, manajemen faskes, atau pemangku kepentingan terkait lainnya untuk mengupayakan pelayanan yang lebih optimal kepada seluruh pasien,” jelas Ardi.
Sementara perawat di Pustu Desa Tumbang Darap, Kalteng, Mustaan, menegaskan bahwa praktik membeda-bedakan pelayanan terhadap pasien JKN dan umum hanya akan membawa kerugian, termasuk ke faskes karena bisa kehilangan kepercayaan dari masyarakat.
https://money.kompas.com/read/2023/08/22/121200026/cerita-perantau-hilang-risau-berkat-jkn