Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Cadangan Pangan Nasional yang Menggelisahkan

Kesepuluh negara tersebut adalah Afghanistan, Burkina Faso, Djibouti, Guatemala, Haiti, Kenya, Madagaskar, Somalia, Nigeria, dan Zimbabwe.

Kondisi pada 2022 menunjukkan menguatnya berbagai parameter pemanasan global. Apa yang disaksikan pada 2023, bahkan lebih ekstrem lagi.

Pada Juli 2023, merupakan bulan terpanas yang pernah tercatat, dengan panas terik di banyak wilayah belahan bumi utara dan hal ini berlanjut hingga Agustus 2023 ini.

Dengan munculnya kembali fenomena El Nino pada 2023, suhu rata-rata global tahun ini diperkirakan akan melebihi rata-rata global pada 2022. Sinyal lebih panasnya suhu pada saat ini terlihat dari serangkaian gelombang panas pada 2023.

Dampak krisis iklim saat ini telah memukul sektor pangan dengan dahsyat. India menghentikan ekspor beras putih nonbasmati pada akhir Juli 2023.

Panen gandum Australia juga berdampak, menambah kekurangan pangan dan lonjakan harga yang disebabkan konflik antara Rusia dengan Ukraina.

Melihat tren saat ini, situasi iklim kedepan sepertinya bakal lebih suram. Selain menguatnya dampak langsung terhadap cuaca ekstrem, krisis pangan bakal lebih dalam.

Bagaimana dampak krisis iklim yang terus menguat terhadap cadangan pangan di Indonesia?

Krisis iklim sedikit banyak akan menggangu ketahanan pangan Indonesia, di tengah mahalnya harga pangan global.

Bila benar, prediksi ancaman kekeringan ikut menguat seiring prediksi El Nino yang berlanjut hingga Februari 2024; maka ketahanan pangan Indonesia akan makin tergerus.

Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa, cuaca ekstrem akibat perubahan iklim mengakibatkan beragam bencana dan kerugian ekonomi.

Indonesia terkena imbasnya. Ia memperkirakan kerugian ekonomi Indonesia dalam kurun waktu 2020-2024 dapat menyentuh Rp 544 triliun jika tidak ada intervensi kebijakan (bussinnes as usual).

Dari jumlah tersebut, risiko kerugian ini berasal dari pesisir dan laut (Rp 408 triliun), diikuti pertanian (Rp 78 triliun), kesehatan (Rp 31 triliun) dan air (Rp 28 triliun).

Pertanian menjadi salah satu sektor yang paling terdampak perubahan iklim. Intervensi pemerintah diperlukan guna menekan kerugian petani, mulai dari kesenjangan hingga meminimalkan konversi lahan.

Meskipun pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian telah mengantisipasi bencana kekeringan panjang dengan mitigasi resiko yang akan timbul dengan berbagai macam startegi, nampaknya belum dapat menghalangi turunnya produksi pangan secara drastis dan gejolak naiknya harga pangan secara nasional khususnya beras yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia.

Cadangan beras nasional

Kendati masih ada panen padi di sejumlah daerah, harga gabah terus naik menjauhi harga pembelian pemerintah. Pengadaan gabah/beras untuk stok pemerintah dikhawatirkan tak optimal.

Berdasarkan Panel Harga Pangan Badan Pangan Nasional (NFA), per Rabu (6/9/2023), harga rata-rata nasional gabah kering panen (GKP) di tingkat petani mencapai Rp 6.220 per kilogram (kg).

Dalam sebulan terakhir, harga rata-rata nasional GKP naik 12,68 persen. Kenaikan harga GKP berimbas pada harga beras di pasaran.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri menuturkan sampai saat ini pasokan beras kepasar-pasar rakyat atau pasar tradisional masih cukup lancar dan aman.

Namun, harga beras medium di pasar-pasar rakyat memang tinggi, yakni berkisar Rp 12.400 per kg hingga Rp 12.600 per kg karena mengikuti kenaikan harga beras.

Indonesia tengah berjibaku dengan kekeringan panjang akibat fenomena El Nino, yang dampaknya telah menyebabkan kenaikan harga gabah dan beras dan akan menggerus produksi beras nasional hingga 1,2 juta ton.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Badan Pangan Nasional (NFA) dengan Komisi IV DPR RI pada Senin, (4/9/2023), terungkap bahwa cadangan beras pemerintah (CBP) di Perum Bulog saat ini tinggal 1,523 juta ton.

CBP ini akan berkurang sebanyak 640.000 ton untuk bantuan beras bagi masyarakat berpenghasilan rendah selama tiga bulan.

Hingga akhir 2023, Perum Bulog bakal kesulitan menyerap gabah atau beras di dalam negeri karena produksi beras pada 2023 diperkiraan turun.

Padahal, konsumsi beras nasional pada 2023 juga lebih tinggi 1,15 persen dibandingkan pada 2022. Kementerian Pertanian memperkirakan dampak El Nino sedang dapat menyebabkan produksi beras berkurang sebanyak 380.000 ton beras.

Namun, jika yang terjadi El Nino kuat, produksi beras yang hilang bisa mencapai 1,2 juta ton.

NFA menyebutkan, defisit beras sudah terjadi pada Juli dan Agustus 2023. Defisit tersebut diperkirakan berlanjut hingga akhir tahun.

Faktor lain yang bakal menghambat Bulog menghambat CBP adalah tingginya harga GKP di tingkat petani. Namun demikian, Bulog berkomitmen menyediakan stok beras sebanyak 1,2 juta ton pada awal 2024.

Hali ini akan dilakukan dengan cara menyerap gabah atau beras di dalam negeri dan impor beras dari negara lain.

Cadangan beras Indonesia saat ini terdiri dari cadangan Bulog 1. 523.279 ton dan cadangan beras impor sebanyak 683.017 ton. Cadangan beras impor terdiri dari Vietnam 305.067 ton, Thailand 371.310 ton, Pakistan 2.487 ton, India 4.147 ton dan Myanmar 0,007 ton.

Target ketersedian beras 2024

Pemerintah telah menggulirkan sejumlah target ketahanan pangan, terutama di bidang pertanian pada 2024.

Dalam Rancangan APBN 2024, pemerintah mencatumkan target ketahanan pangan di bidang pertanian di antaranya adalah ketersediaan beras nasional menjadi 46,84 juta ton.

Pemerintah juga menargetkan lumbung pangan (food estate) seluas 61.400 hektare terbangun di Kalimantan Tengah.

Selain itu produksi padi di Kalteng, Sumatera Selatan, Papua Selatan juga ditargetkan sebanyak 5,06 juta ton.

Tahun ini (2023), pemerintah menargetkan produksi padi sebesar 54,5 juta ton dan beras 34,19 juta ton.

Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan produksi beras pada Januari-September 2023 sebanyak 25,64 juta ton, turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebanyak 26,17 juta ton.

Di Indonesia, dampak fenomena El Nino terasa bersamaan dengan datangnya musim kemarau pada Juli hingga Oktober 2023.

Dalam diskusi yang membahas dampak El Nino pada produksi beras oleh Perhimpunan Agronomi Indonesia pada Juli 2023 di Bogor, Jawa Barat, terungkap surplus beras Indonesia terus menurun.

Data yang disampaikan Direktur Serealia Kementan M. Ismail Wahab memperlihatkan jika pada 2018 ada surplus beras 4,37 juta ton, pada 2022 surplus hanya 1,34 juta ton.

Data juga menunjukkan rata-rata produktivitas padi stagnan hanya di kisaran 5 ton per hektare.

Produktivitas yang stagnan berhadapan dengan kenaikan jumlah penduduk, konsumsi beras yang masih tinggi, dan konversi lahan sawah produktif untuk perutukan non pangan.

Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University, Dwi Andreas Santosa, Rabu (23/8/2023), menilai target ketersediaan beras sebesar 46,84 juta ton pada 2024 kurang realistis. Hal ini disebabkan produksi beras 2015-2022 sudah stagnan dan cenderung turun 0,21 persen per tahun.

Produksi beras nasional rata-rata sebanyak 31 juta ton per tahun. Jika ditambah dengan surplus beras akhir tahun, stok yang ada di masyarakat, swasta dan Perum Bulog, rata-rata ketersediaan beras nasional sekitar 35 juta ton.

Tantangan dan solusi

Tantangan hari ini adalah menjaga kecukupan dan ketersediaan pangan guna menghadapi dampak El Nino.

Pemerintah daerah bersama Perum Bulog harus berhasil mengumpulkan beras dari petani meskipun Indonesia telah mendatangkan 1,3 juta ton beras dari Thailand dan Vietnam pada Juli 2023.

Penganekaragaman sumber karbohidarat selain beras, nampaknya perlu mulai direalisaikan secara konkret dan dalam skala luas. Pemerintah daerah di tingkat kabupaten, sudah harus mulai mengupayakan bahan pangan lain yang diproduksi lokal dan lebih tahan kekeringan.

Sumber karbohidrat seperti jagung, sagu, cantel dan singkong perlu tersedia dalam jumlah cukup dan dapat dilempar ke konsumen tatkala dibutuhkan di pasaran.

Perdagangan antarwilayah dijaga terbuka dan lancar. Bersamaan dengan itu, perlu penjelasan mengenai nilai gizi dan gengsi bahan pangan nonberas.

Di sisi lain, seiring kebutuhan pangan terus meningkat, modernisasi sektor pertanian menjadi suatu keharusan untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian.

Selain itu, modernisasi sektor pertanian dinilai dapat memberikan daya tarik bagi generasi muda dalam rangka regenerasi petani. Upaya modernisasi merupakan bentuk inovasi demi meningkatkan produktivitas ditengah keterbatasan lahan dan keterbatasan sumberdaya petani.

Dalam jangka menengah dan panjang perlu strategi serta kebijakan yang lebih mendalam, matang dan serius lagi menghadapi masalah ketersediaan pangan menghadapi perubahan iklim dan pertambahan penduduk.

Produksi dan distribusi pangan dunia mulai berubah dan pasti akan mempengaruhi Indonesia sebagai salah satu pengimpor pangan.

Guna menghadapi perubahan iklim yang masif, pemerintah mengacu pada rancangan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.

Beberapa strategi pembangunan berketahanan iklim disiapkan untuk sektor pertanian. Pemerintah dalam hal Bappenas akan menerapkan smart agriculture, pengembangan daya saing sumber daya manusia lokal, serta menguatkan sistem intensifikasi padi.

Selain itu, untuk menjawab perubahan iklim dilakukan melalui penerapan pertanian adatif rendah karbon. Juga memodernisasi pembibitan varietas baru yang tahan kekeringan.

https://money.kompas.com/read/2023/09/12/130550926/cadangan-pangan-nasional-yang-menggelisahkan

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke