Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menjawab Masalah Rutin El Nino: Desalinasi Air Laut hingga Modernisasi Bulog

EL NINO sudah sering terjadi dengan besaran (magnitude) intensitas, durasi dan frekuensinya semakin meningkat menurut ruang (spasial) maupun waktu (temporal).

Indikasi konkretnya di lapangan ditandai kelangkaan air minum, kelangkaan air irigasi, kekeringan, puso/gagal panen, kebakaran hutan dan lahan.

El nino di daerah endemik kekeringan meningkat ekstrem. Bahkan saat el nino kuat, wilayah yang biasanya airnya cukup dan dikenal sebagai daerah basah juga mengalami kekeringan.

Harga pangan pokok terutama beras melambung, liar, dan tidak terkendali, sehingga mengerek/mendongkrak jumlah penduduk miskin semakin bertambah dan penduduk yang sudah miskin menjadi ekstrem miskin.

Saat el nino kuat, rakyat miskin sudah jatuh tertimpa tangga dan makin tidak berdaya. Itulah sebabnya, setiap ada peringatan kemungkinan terjadinya el nino, pemerintah buru-buru memutuskan mengimpor beras dengan berbagai pembenarannya, tanpa memikirkan dampak negatifnya terhadap distruksi harga beras domestik dan pendapatan petani.

Padahal, sebagai karunia Allah, el nino itu sesungguhnya berkah apabila mampu dikelola dengan bijaksana.

Pemerintah paranoid dan selalu berargumen tidak mau mengulangi sejarah runtuhnya rezim orde lama dan orde baru yang dipicu dan diakselerasi oleh terjadinya bencana kekeringan dahsyat (el nino kuat), sehingga terjadi gagal panen, harga bahan pangan melambung dan rakyat menjerit serta turun ke jalan menurunkan pemerintah yang berkuasa.

Tentu banyak faktor determinan yang memicu dan memacu jatuhnya suatu rezim di luar el nino.

Pertanyaannya fundamentalnya, mengapa pemerintah bersama DPR tidak mengambil pelajaran mahal atas runtuhnya rezim orde lama dan orde baru dengan memanfaatkan el nino sebagai peluang meningkatkan produksi?

Bukan sebaliknya, el nino dimanfaatkan sebagai pembenar untuk kepentingan pribadi dan kelompok, apalagi saat sekarang tahun 2023 merupakan tahun politik, menjelang pileg dan pilpres 2024 yang memerlukan dana pemenangan sangat besar.

Mengapa el nino yang merupakan masalah rutin dan periodik yang tidak ditemukan solusi fundamentalnya, sehingga rakyat selalu menjadi korbannya?

Memetakan besaran dampak el nino menurut ruang dan waktu dan daya dukung ketersediaan air merupakan pendekatan fundamental yang harus dilakukan secara detail dan pada skala operasional.

Peta dampak el nino dan ketersediaan sumberdaya air

Menggunakan citra dengan resolusi spasial dan temporal yang memadai, maka wilayah dampak el nino kuat saat 1965 dan 1998 serta el nino kuat lainnya dapat diketahui besaran dan dampaknya.

Overlay dari pemetaan dampak el nino dua periode yang berbeda dapat memberikan gambaran, apakah besaran el nino meningkat, di mana, berapa luasnya dan apa penyebabnya?

Demikian halnya dengan pemetaan ketersediaan air baik permukaan, waduk, embung, sumur dangkal, sumur dalam, embung, memungkinkan dapat dihitung layanan irigasi yang dapat dilakukan pada musim el nino, sehingga gambaran memitigasi dampak el nino teridentifikasi secara akurat.

Selain itu, penyediaan varietas berumur genjah 70-80 hari yang kebutuhan airnya rendah menjadi pilihan yang menjanjikan.

Umur padi genjah memungkinkan memanfaatkan curah hujan tahunan dengan durasi 150 hari per tahun dapat menghasilkan padi dua musim.

Artinya varietas genjah dapat meningkatkan indek pertanaman dengan biaya murah. Varietas genjah juga memungkinkan kebutuhan air untuk memproduksi padi satu siklus menjadi lebih efisien.

Selain dapat meningkatkan indek pertanaman, juga dapat memperluas areal tanam. Oleh karena a priori musim kering hampir dipastikan terjadi setiap tahun, maka pemerintah suka atau tidak suka, setiap musim hujan harus memproduksi benih padi umur genjah secara memadai sebagai cadangan benih saat musim kemarau ataupun menghadapi el nino.

Pendeknya, ada atau tidak ada el nino, maka pemerintah harus memproduksi benih genjah, memetakan ketersediaan air.

Ironisnya, sejak republik ini berdiri, pendekatan ini tidak pernah dilakukan pemerintah secara masif, terstruktur, dan terencana.

Demikian halnya penampungan air saat musim hujan melalui panen hujan dan aliran permukaan (rainfall and runoff harvesting) harus dilakukan secara merata dari hulu, tengah dan hilir daerah aliran sungai, sehingga pemerintah tidak gagap menghadapi el nino.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana mengubah el nino dari tantangan (threat) menjadi peluang (opportunities). Penyediaan air nonkonvensional merupakan solusinya melalui desalinasi air laut menjadi air irigasi kuncinya.

Desalinasi air laut

Cara-cara penangan el nino selama ini sangat konvensional dan tidak menyelesaikan masalah mendasarnya, yaitu ketersediaan air.

Peningkatan ketersediaan air umumnya hanya dilakukan secara business as usual melalui pemanfaatan air permukaan yang tersedia.

Oleh karena kekeringan akibat el nino kuat berdampak sangat signifikan terhadap penurunan pasokan air hujan dan meningkatnya evapotranspirasi akibat suhu udara sangat tinggi, lama penyinaran penuh sepanjang hari, maka penguapan mencapai puncaknya.

Implikasinya ketersediaan air sangat rendah dan tanaman harus menguapkan airnya lebih tinggi dibandingkan pasokannya.

Dampak langsungnya tanah mengering, tanaman layu bahkan mencapai titik layu permanen (permanent wilting point), sehingga tanaman tidak mampu berproduksi dengan baik.

Kondisi ini diperburuk dengan mudahnya terjadi kebakaran hutan dan lahan, sehingga memperburuk kondisi udara di atmosfer.

“Kebodohan yang terus berulang” memosisikan Indonesia terus menjadi pasien rutin dalam menyediakan pangan bagi penduduknya.

Betapa ironisnya saat ini, Indonesia harus mengimpor beras dari India dan Republik Rakyat China yang penduduknya jauh lebih besar dibandingkan Indonesia.

Tanah yang subur, luas, air melimpah, tetapi tanpa malu mengimpor beras dari negara yang penduduknya jauh lebih besar. Logika akal sehatnya, Indonesialah yang mengekspor beras ke India dan RRC.

Desalinasi air laut menjadi suatu keharusan sebagai solusi fundamental saat ini dan masa mendatang.

Kalau Indonesia tidak melakukan, maka cepat dan pasti Indonesia akan menjadi pasien tetap dalam memenuhi kebutuhan beras seperti halnya sebagai pasien tetap untuk komoditas kedelai, bawang putih, daging sapi.

Apakah itu yang menjadi pilihan para petinggi dan pemegang amanah rakyat? Pasti tidak, karena bagaimanapun beras merupakan makanan utama dengan dimensi ekonomi, sosial, bahkan politik.

Hancurnya kedaulatan beras nasional akan menjadi awal petaka Indonesia masa mendatang.

Mengapa desalinasi air laut harus dilakukan?

Paling tidak ada dua argumen. Pertama, sentra produksi pangan ada di dataran pantai umumnya tidak diusahakan pada musim kemarau karena mengalami kekeringan.

Kedua, beda tinggi antara lahan sawah tertinggi ke Pantai maksimum 25 meter, sehingga dapat dengan mudah dan murah dialirkan ke hulu, kemudian dialirkan secara gravitasi ke hilir.

Jika desalinasi air laut bisa dilakukan, maka lahan sawah di Pantai utara Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang luasnya mencapai lebih 500.000 hektare dapat menghasilkan panen gadu.

Artinya panen musim kemarau dipastikan produktivitasnya bisa mencapai 7-8 ton dengan biaya produksi murah, karena serangan hama dan penyakit rendah, biaya pestisida rendah serta harga jual gabahnya tinggi.

Jika 500.000 hektare bisa berproduksi 7-8 ton/hektare, maka bisa menghasilkan 3,5-4 Juta gabah dan impor beras bisa dipenuhi dari lahan kering yang diirigasi dari desalinasi air laut.

Kalau musim kemarau berlangsung sekitar 6 bulan, maka Indonesia bisa menghasilkan dua kali panen, sehingga mampu menghasilkan 7-8 juta ton gabah kering panen, sehingga Indonesia akan terbebas dari impor beras yang sudah kronis dan menahun.

Bahkan sebaliknya Indonesia bisa menjadi negara pengekspor beras yang membanggakan.

Pertanyaan selanjutnya, apa yang harus dilakukan pemerintah agar Indonesia mencapai kedaulatan pangan utamanya beras? Modernisasi Bulog jawabnya.

Modernisasi Bulog

Bulog harus dimodernisasi manusianya, infrastruktur bisnis dan bisnis prosesnya, agar mampu menjadi pengendali cadangan pangan utamanya beras nasional.

Pengeringan dan penggilingan padi serta Silo yang terintegrasi harus dilakukan untuk meningkatkan rendemen gabah ke beras, meningkatkan diversifikasi produk turunan gabah, sehingga nilai tambah petani dapat dimaksimalkan serta tentu diikuti dengan menekan biaya penyimpanan.

Bulog harus sungguh-sungguh menyerap gabah saat panen raya bulan Maret-April minimal 80 persen stok nasional.

Argumennya, saat puncak panen raya, pasokan melimpah, harga anjlok, sehingga pembelian Bulog dapat meningkatkan harga gabah di pasaran.

Bulog dapat mengeringkan dan disimpan di silo, sebagai cadangan untuk operasi pasar saat paceklik panen.

Audit BPK yang ketat dan pengawasan DPR yang memadai dapat menjadi pemacu Bulog menyerap gabah pada musim panen raya.

Selanjutnya panen kedua, Bulog dapat menyerap 20 persen, karena harga relatif lebih tinggi.

Bagi pemerintahan baru, Presiden dapat menggabungkan Menteri Pertanian merangkap Kepala Bulog, sehingga tidak ada alasan saling melemahkan tentang serapan gabah Bulog yang rendah akibat produksi padi nasional menurun atau sebaliknya produksi gabah tinggi, tetapi Bulog tidak mau menyerap dan memilih impor.

Jika itu terjadi, maka polemik tanpa ujung dapat dihentikan, karena bisa dimintakan pertanggungjawaban kepada seorang.

*Gatot Irianto, Analis Kebijakan Utama Kementerian Pertanian
Laras Wuri Dianingrum, Advisory Board IFRI dan Peneliti IFRI

https://money.kompas.com/read/2023/10/03/145312526/menjawab-masalah-rutin-el-nino-desalinasi-air-laut-hingga-modernisasi-bulog

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke