Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Aspadin Kukuh Tolak Pelabelan BPA, meski BPOM Temukan Indikasi Kontaminasi di Galon Guna Ulang

KOMPAS.com – Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin) kukuh menolak usulan terkait pelabelan peringatan tentang potensi kontaminasi Bisfenol A (BPA) di air minum dalam kemasan (AMDK).

Ketua Aspidin Rachmat Hidayat mengatakan, pihaknya menentang usulan tersebut lantaran selama 40 tahun penggunaan galon guna ulang polikarbonat, belum ada temuan masalah kesehatan akibat mengonsumsi AMDK tersebut.

Lagi pula, kata dia, galon guna ulang polikarbonat sudah memiliki izin edar Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan bersertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI).

Rachmat pun mengklaim pihaknya menjadi korban kampanye negatif pada persaingan usaha AMDK.

“Kami menyesalkan upaya beberapa pihak yang secara terstruktur, sistematis, masif, dan terus-menerus untuk melakukan kampanye negatif terhadap salah satu kemasan AMDK, khususnya kemasan plastik polikarbonat,” ucap Rachmat dalam rilis pers yang disiarkan kepada awak media, Selasa (29/9/2023).

Temuan BPOM

Meski belum ada laporan masalah kesehatan, kenyataannya, BPOM menemukan kontaminasi BPA di atas ambang aman pada sejumlah galon guna ulang polikarbonat.

Berdasarkan hasil uji migrasi yang dilakukan terhadap AMDK galon polikarbonat sepanjang 2021-2022, BPOM menemukan bahwa 3,4 persen sampel di sarana peredaran tidak memenuhi syarat batas maksimal migrasi BPA yang dipatok BPOM, yakni sebesar 0,6 bagian per juta (bpj).

Tak hanya itu, BPOM juga menemukan sejumlah sampel yang masuk kategori “mengkhawatirkan” dengan migrasi BPA 0,05 bpj hingga 0,6 bpj. Rinciannya adalah 46,97 persen sampel dari sarana peredaran dan 30,91 persen sampel dari sarana produksi.

Temuan BPOM juga mengungkap bahwa sebanyak 5 persen AMDK galon baru di sarana produksi dan 8,67 persen di sarana peredaran masuk ke dalam kategori “berisiko terhadap kesehatan” karena punya migrasi BPA di atas 0,01 bpj.

Karena sejumlah temuan itu, BPOM pun berinisiatif untuk melakukan pengaturan pelabelan AMDK pada kemasan galon guna ulang berbahan polikarbonat. Galon guna ulang ini diwajibkan memasang label “Berpotensi mengandung BPA”.

“Inisiatif tersebut kami lakukan dengan merevisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan,” ujar Kepala BPOM Penny K Lukito pada laman resmi BPOM.

Penny menjelaskan, aturan pelabelan BPA juga mengacu pada hasil kajian dan riset mutakhir di berbagai negara terkait risiko paparan BPA pada kesehatan publik.

"Semua kajian (scientific research) menunjukkan bahwa paparan BPA berisiko sangat tinggi terhadap kesehatan,” jelasnya.

Kehadiran pelabelan tersebut, lanjutnya, justru bisa memotivasi pelaku industri untuk berinovasi dalam menghadirkan kemasan air minum yang aman bagi masyarakat.

“Dari sisi konsumen, pelabelan risiko BPA menjadi hak masyarakat untuk teredukasi dan memilih apa yang aman untuk dikonsumsi," katanya.

Penny menjelaskan, kewajiban pencantuman label “Berpotensi mengandung BPA” pada galon isi ulang polikarbonat sebenarnya bersifat moderat. Dengan kata lain, BPOM tidak melarang penggunaan kemasan galon guna ulang polikarbonat sehingga tidak ada potensi kerugian ekonomi bagi pelaku usaha.

Di kawasan Uni Eropa, kebijakan tersebut diatur lebih ketat. Pada 2018, Uni Eropa menurunkan ambang batas migrasi BPA dari 0,6 bpj menjadi 0,05 bpj.

Selain itu, pada 2023, Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) juga menurunkan ambang batas paparan harian BPA pada manusia, dari 4 mikrogram BPA per kg berat badan per hari menjadi 0,2 nanogram per kg berat badan per hari. Batas ini 20.000 kali lebih ketat ketimbang 2018.

Dukungan untuk BPOM

Upaya BPOM untuk memperketat regulasi terhadap penggunaan BPA mendapatkan dukungan dari sejumlah pihak. Salah satunya datang dari epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono.

Menurut Pandu, BPOM pantas mendapatkan dukungan karena BPA bisa menimbulkan risiko yang luar biasa bagi kesehatan manusia.

“Bahkan, sebelum manusianya lahir, bisa jadi sudah terkena risiko saat dalam kandungan. BPA berpotensi mengganggu pertumbuhan janin sehingga dalam perkembangannya akan menimbulkan banyak masalah kesehatan, termasuk autisme dan attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD),” jelas Pandu.

Pandu menambahkan, paparan BPA dalam jangka panjang dapat memicu banyak gangguan dalam sistem tubuh. Beberapa di antaranya adalah gangguan organ reproduksi, penyakit terkait endokrin, gangguan syaraf, dan kanker.

Oleh karena itu, Pandu pun meminta pemerintah untuk tak abai dan ikut bertanggung jawab menjaga kesehatan masyarakat dengan mengeluarkan regulasi pembatasan penggunaan senyawa BPA.

“Kalau ditunda, pemerintah membiarkan masalah ini menjadi akumulatif sehingga seakan-akan terjadi pembiaran bahwa kesehatan adalah urusan Anda dan negara seolah-olah tidak ikut campur. Keberadaan label informasi akan mengedukasi masyarakat. Maka dari itu, pemerintah perlu mengajak industri supaya bertanggung jawab terhadap kesehatan bangsa ini,” paparnya. 

https://money.kompas.com/read/2023/10/07/080500226/aspadin-kukuh-tolak-pelabelan-bpa-meski-bpom-temukan-indikasi-kontaminasi-di

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke