Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Peran Parpol bagi Pertanian dan Kemiskinan

RANCANGAN akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang telah diluncurkan pada 15 Juni 2023 lalu, menunjukkan Pemerintah Republik Indonesia, khususnya Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), ingin agar angka kemiskinan berada di kisaran 0,5 persen - 0,8 persen pada 2045.

Penentuan target tersebut, boleh jadi merupakan respons atas posisi kemiskinan yang, disarikan dari berbagai sumber, masih menjadi persoalan mendasar di Indonesia hingga hari ini.

Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juli 2023 lalu, lantas memberi konfirmasi kuantitatif atas situasi tersebut dengan menyampaikan bahwa 9,36 persen penduduk Indonesia, yang berarti setara dengan 25,90 juta orang, masih hidup di dalam kemiskinan.

Konsekuensinya, target menuju angka kemiskinan rendah pada 2045 jadi tidak mudah untuk diwujudkan.

Apalagi dalam satu dekade terakhir, yaitu dari 2013 hingga 2023, angka kemiskinan di Indonesia hanya turun 2 persen poin dari 11,36 persen menjadi 9,36 persen atau setara dengan 2,27 juta penduduk saja.

Padahal, pada periode satu dekade sebelumnya (2003 ke 2013), angka kemiskinan di Indonesia turun lebih signifikan, yaitu sebesar 6,06 persen poin dari 17,42 persen menjadi 11,36 persen atau sama dengan 9,13 juta penduduk.

Kemiskinan di Indonesia telah menyentuh kategori paling bawah (hardcore) karena prosentasenya yang mencapai kurang dari 10 persen.

Oleh karenanya, dalam upaya untuk mencapai target 0,5 persen-0,8 persen pada 2045, penting bagi Pemerintah untuk terlebih dulu mengenali tipikal masyarakat yang berada di dalamnya.

Besar harapan, melalui profiling yang dilakukan secara saksama, Pemerintah jadi mampu dan mau merumuskan arah kebijakan yang bukan hanya extraordinary, melainkan juga tepat sasaran.

Kunci sektor pertanian

Publikasi Statistik Indonesia 2023 yang dirilis oleh BPS beberapa bulan lalu, menyampaikan bahwa ternyata hampir 90 persen kepala rumah tangga miskin di dalam negeri berstatus bekerja, alih-alih menganggur.

Data tersebut memberi insight kepada publik bahwa pendapatan utama rumah tangga miskin di Indonesia sudah demikian problematik dari sumbernya: mereka bekerja, namun pendapatan yang diperoleh belum mampu mengeluarkan mereka dari kemiskinan.

Tak cukup sampai di situ. Jika diteliti secara lebih mendalam, ternyata hampir separuh dari seluruh kepala rumah tangga miskin yang bekerja tersebut (49,89 persen) menggantungkan sumber pendapatan primernya dari sektor pertanian.

Hanya saja, besar kemungkinan, petani di sini merujuk pada status ‘petani kecil’ alias gurem.

Pemahaman tersebut berangkat dari data The Food and Agriculture Organization (FAO) pada 2021 yang memperkirakan 73,10 persen rumah tangga pertanian pedesaan adalah petani kecil dan 60,30 persennya hidup dalam kemiskinan.

Belakangan, data BPS hasil Sensus Pertanian 2013 juga menunjukkan lebih dari separuh rumah tangga pertanian pengguna lahan memang tergolong sebagai petani gurem (55,33 persen).

Petani gurem, masih menurut BPS, adalah rumah tangga pertanian pengguna lahan yang menguasai bidang, tetapi tidak lebih dari 0,5 hektare. Dampaknya, lahan tersebut jadi kurang produktif karena luas lahan yang dikelola tidak seberapa.

Selain itu, alih-alih mengadopsi sistem tanam modern, petani gurem lebih terbiasa mengelola lahan secara subsisten, yaitu memproduksi hasil panen dalam skala kecil dan menggunakan metode-metode tradisional melalui kepemilikan sumber daya terbatas.

Tak hanya itu, mereka juga masih mengandalkan pengetahuan pertanian secara turun temurun dalam memanfaatkan jenis tanah, menggunakan alat pertanian sederhana seperti cangkul atau sabit, serta mengerahkan tenaga kerja berbasis keluarga.

Konsekuensinya, mereka jadi sulit keluar dari lingkaran kemiskinan karena modal rendah akan berdampak pada produktivitas dan pendapatan rendah.

BPS melalui Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2022 juga menyebutkan bahwa rata-rata pendapatan bersih sebulan pekerja informal pada lapangan pekerjaan utama bidang pertanian tidak lebih dari  Rp 1,4 juta saja.

Upah tersebut lantas menjadikan pertanian sebagai sektor dengan bayaran terendah jika dibandingkan dengan lainnya seperti industri ataupun jasa.

Kondisi tersebut diperburuk dengan tingkat pendidikan kepala rumah tangga miskin yang juga rendah. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2022 misalnya, mencatat bahwa 72,68 persen kepala rumah tangga miskin pertanian berpendidikan Sekolah Dasar (SD) ke bawah.

Pun apabila diberikan pelatihan dan pendidikan untuk beralih bidang, petani kemungkinan besar hanya akan bisa bekerja di perekonomian informal.

Akibatnya, peluang untuk keluar dari kemiskinan tetap kecil karena peningkatan kesejahteraan tidak terjadi secara signifikan.

Keruwetan persoalan pertanian tersebut lantas berbanding lurus dengan kompleksitas kemiskinan yang terjadi.

Sebaliknya, jika yang digunakan adalah justru sudut pandang optimistis, kemampuan menyelesaikan persoalan pertanian juga bisa berbanding lurus dengan penanggulangan kemiskinan secara menyeluruh.

Jalur kuasa alternatif

Pemerintah dengan sumber dayanya yang tidak terbatas lantas menjadi aktor yang digadang-gadang mampu menyelesaikan semua persoalan tersebut sendirian.

Faktanya, bukannya bergerak cepat dan substansial, Pemerintah justru sering tersandera oleh hal-hal administratif, birokratis dan prosedural. Tak ayal, karakter-karakter tersebut justru berpotensi membuka ruang korupsi alih-alih solusi terkini.

Masalah di Kementerian Pertanian (Kementan) yang sedang terjadi di sepertiga tahun terakhir 2023 misalnya, menunjukkan secara terang benderang kelemahan-kelemahan pendekatan yang dilakukan negara dalam mengurus pertanian dan kemiskinan.

Di sisi lain, harus diakui bahwa pertanian adalah sektor spesifik yang tidak bisa ditangani tanpa campur tangan kekuasaan.

Apalagi karena, di ujung jalan, bidang tersebut akan memengaruhi tercukupi atau tidaknya salah satu kebutuhan manusia paling dasar: pangan.

Negara, oleh karenanya, jadi perlu disaingi oleh aktor alternatif lain di luar dirinya demi percepatan kebijakan. Meski demikian, pihak yang dimaksud tetap harus punya nilai kuasa dalam menyelesaikan persoalan pertanian-kemiskinan.

Satu-satunya institusi yang bebas berekspresi di antara masyarakat (sebagai penerima kebijakan) dan negara (sebagai penggagas kebijakan) tetapi tetap memiliki kuasa adalah partai politik (parpol).

Wajah parpol

Richard S. Katz dari John Hopkins University dan Peter Mair dari University of Leiden, dalam tulisannya yang dirilis oleh the American Review of Politics volume 14 pada 1993 berjudul The Evolution of Party Organizations in Europe: the Three Faces of Party Organization mengatakan bahwa sebagai organisasi khusus, idealnya, parpol memiliki 3 (tiga) wajah yang tersedia untuk saling melengkapi, yaitu in the public office, in the central office, dan on the ground.

Peran dari tiga wajah tersebut, jika lantas dikaitkan dengan target sekitar 0 persen angka kemiskinan pada 2045, jadi mendesak untuk digunakan sebagai framework.

Di dalam public office, yang dalam situasi ini didorong sebagai wajah legislatif, alias dalam rupa fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), parpol bisa saja mengambil langkah dengan mendorong anggota-anggotanya di parlemen untuk setidak-tidaknya melakukan 2 (dua) hal menonjol.

Pertama, memproduksi peraturan yang secara langsung menguntungkan petani, khususnya gurem.

Kedua, fraksi juga diharapkan berkenan untuk melakukan koordinasi secara lebih serius dengan para mitra strategis, utamanya dengan Kementan dalam rapat-rapat yang bisa diselenggarakan di dalam komisi terkait.

Selanjutnya, di central office, alias di dalam Dewan Perwakilan Pusat (DPP) partai, yang berarti rupa internal, parpol bisa melakukan upaya-upaya organisasional untuk terus melindungi petani.

Contoh dari langkah kecil yang bisa dilakukan adalah dengan mendirikan atau memperkuat bidang/departemen di dalam parpol yang memang secara khusus mengurusi petani sebagaimana Divisi Pertanian yang telah diperkenalkan beberapa parpol.

Adapun ketiga, on the ground, alias di wajah grass root, parpol bisa bergerak langsung ke medan perjuangan di tengah masyarakat untuk menghimpun informasi sebanyak-banyaknya.

Sehingga, alih-alih hanya memperoleh laporan melalui rapat rutin di kantor, parpol justru akan memperoleh informasi penting dari tim di lapangan yang secara khusus bertugas memantau situasi teraktual para pelaku tani di sawah.

Pada akhirnya, situasi yang tidak menguntungkan petani tersebut, yang lantas berkontribusi terhadap tingginya angka kemiskinan, mesti diurai secara keroyokan dari semua sisi.

Adapun berbeda dengan organisasi pada umumnya, parpol memiliki fungsi eksklusif yang tidak dimiliki oleh institusi lainnya, yaitu didirikan untuk menuju kekuasaan, sehingga mestinya bisa digerakkan untuk menyelesaikan persoalan pertanian dan kemiskinan secara lebih kuat.

Parpol bisa bergerak bottom-up menuju kekuasaan, tetapi di saat yang sama juga bisa bergerak top-down untuk langsung membantu masyarakat.

Tulisan ini, kemudian berupaya untuk mendorong agar fungsi-fungsi yang berasal dari wajah-wajah parpol tersebut bisa dimaksimalkan sedemikian rupa.

Dengan demikian, alih-alih hanya tampak dalam siklus elektoral lima tahunan, parpol justru bisa berpartisipasi secara lebih nyata dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui jalur pertanian.

*Aprilianto Satria Pratama, Kepala Divisi Politik Lokal dan Otonomi Daerah Swasaba Research Initiative
Nuri Taufiq, Statistisi Badan Pusat Statistik RI

https://money.kompas.com/read/2023/10/25/080000826/peran-parpol-bagi-pertanian-dan-kemiskinan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke