Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kepemimpinan yang Rendah Hati

SAMBIL duduk santai dan menyeruput kopi Americano di kafe, seorang teman bercerita, mungkin lebih tepatnya berkeluh kesah mengenai koleganya yang seorang pejabat lembaga pendidikan.

“Dulu dia adalah teman saya, suka kerja bersama dalam tim. Dia memang pintar. Karena kemampuannya menjalin relasi dia kini menjadi pemimpin tertinggi di tempat kami. Selama yang saya kenal, dia orang yang baik.”

Dia menghela napas sejenak sambil kembali menyeruput kopi hitam di hadapannya.

“Dia kini berubah. Kurang menghargai pendapat rekannya, selalu menganggap diri paling bisa memberikan solusi, menganggap diri lebih paham segalanya. Pendek kata, dia berubah menjadi tinggi hati.”

Pemimpin yang tinggi hati meskipun pintar. Kurang lebih begitu gambaran yang diberikan teman itu.

Lawan yang sesuai adalah pemimpin rendah hati. Pemimpin yang menjalankan tugas dan wewenangnya dengan kerendahan hati.

Kepemimpinan yang pada dasarnya adalah kemampuan memengaruhi anggota atau bawahan agar dapat terlibat secara aktif selaras dengan pencapaian tujuan organisasi. Jika dibarengi dengan pemimpin yang rendah hati, maka niscaya akan memberikan dampak positif bagi organisasi.

Ciri pemimpin rendah hati

Kerendahan hati pemimpin adalah karakteristik yang ditunjukkan dengan mengakui kesalahan dan keterbatasan, belajar dari orang lain dan mencontohkan kemampuan mengajar (Owens dan Hekman, 2012).

Masih banyak pihak yang menganggap bahwa rendah hati adalah indikasi orang yang pemalu, kurang berambisi dan kurang percaya diri. Namun kini pandangan itu mulai bergeser.

Vera dan Rodriguez-Lopez (2004) menganggap kerendahan hati sebagai kekuatan penting bagi para pemimpin dan organisasi yang memilikinya, dan merupakan kelemahan berbahaya bagi mereka yang tidak memilikinya.

Owens dan kawan-kawan (2013) mendefinisikan kerendahan hati sebagai karakteristik interpersonal yang berkonotasi dengan kesediaan untuk memandang diri sendiri secara akurat, apresiasi terhadap kekuatan dan kontribusi orang lain dan kemampuan mengajar, atau keterbukaan terhadap ide-ide baru dan umpan balik.

Selanjutnya ia mengategorikan tiga perilaku yang rendah hati: mengakui keterbatasan dan kesalahan, mengakui kekuatan dan kontribusi pengikut, dan memberikan teladan dalam kemampuan mengajar.

Pendek kata, kepemimpinan yang rendah hati berfokus pada proses perkembangan pemimpin itu sendiri. Ia bersikap transparan.

Gaya kepemimpinan yang menggunakan pendekatan dari bawah ke atas yang selalu mendengarkan, mengamati orang lain dan belajar sambil melakukan (learning by doing).

Dampak positif

Penelitian empiris tentang kerendahan hati pemimpin menunjukkan bahwa kerendahan hati pemimpin menumbuhkan konteks organisasi yang mendukung, memperkuat orientasi pembelajaran karyawan, kepuasan kerja, keterlibatan kerja, dan retensi (Owens dan kawan-kawan, 2013).

Hal ini juga mengurangi dampak buruk pemimpin yang narsis.

Dampak positif yang dihasilkan dari kepemimpinan rendah hati dapat disarikan ke dalam tiga hal.

Pertama, ketika pemimpin mengakui keterbatasannya, ia memberi sinyal kepada tim bahwa tidak sempurna adalah hal yang manusiawi.

Kemudian, bawahan merasa lebih aman dengan pengambilan risiko dan melakukan perilaku inovatif, menyumbangkan ide-ide kreatif, serta mempertanyakan saran dan keputusan (Burke, 2006).

Kedua, dengan menyoroti dan menghargai kekuatan pengikut, para pemimpin menumbuhkan orientasi pengembangan dan perubahan kecil yang berkelanjutan dalam organisasi.

Pemimpin yang rendah hati yang mengakui dan menghargai pengetahuan serta keahlian karyawannya akan lebih menghargai upaya kreatif karyawannya.

Gaya kepemimpinan ini memungkinkan karyawan untuk menyelesaikan suatu masalah atau tugas karena hal tersebut menarik atau menantang untuk dilakukan, bukan karena imbalan eksternal (Owens dan Hekman, 2012).

Ketiga, pemimpin dengan kemampuan mengajar akan menunjukkan keterbukaan terhadap pembelajaran, menjadi model bagi pengikut dan mempertimbangkan pandangan alternatif sebagai hal yang paling penting bagi pengikut untuk menganggap ketidakpastian sebagai ancaman yang lebih kecil (Owens dan Hekman, 2012).

Perilaku pemimpin ini memperlihatkan kepada karyawan bahwa keahlian mereka dihargai oleh pemimpinnya dan menandakan tingkat partisipasi dan keterlibatan.

Memasukkan ide dan saran bawahan ke dalam keputusan akan menghasilkan ide dan keluaran inovatif dalam organisasi (De Jong dan Den Hartog, 2007).

Kembali ke sang teman yang sedang gundah di awal tulisan ini.

“Tapi saya belajar banyak dari dia sekarang ini,” katanya.

“Jika kamu menjadi pemimpin dan pintar, tidak usah pamer bahwa kamu pintar, jika kamu punya kekuasaan dan wewenang, tidak usah tunjukkan bahwa kamu ‘orang kuat’, sudahlah, bersikap biasa-biasa saja, sebagaimana dulu ketika belum jadi apa-apa. Semua ada masanya,” ia melanjutkan.

Menjadi pemimpin yang rendah hati memang tidak semudah diucapkan. Ketika seseorang berada di pucuk pimpinan, tanpa disadari, godaan untuk tinggi hati dan kecenderungan untuk “menindas” makin kuat.

Sementara penghargaan kepada pihak yang lebih rendah perlahan hilang. Ujian karakter yang luar biasa bagi seorang pemimpin.

*Dosen Tetap Program Studi Sarjana Manajemen, Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Tarumanagara

https://money.kompas.com/read/2023/11/14/124738026/kepemimpinan-yang-rendah-hati

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke