Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Cawapres Minim Strategi Fiskal

Sebagai contoh, kita bisa mengkaji program Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.

Mereka akan memberikan makan dan susu gratis. Anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp 400 triliun. Sementara untuk menuju EBT/energi baru terbarukan yang rendah karbon butuh investasi Rp 1.000 triliun.

Pertanyaan kita, bagaimana cara memperoleh anggaran Rp 1.400 triliun untuk dua program tersebut?

Misalkan, program tersebut efektif tahun 2025, maka APBN akan meningkat signifikan, sekitar 42 persen dari 2024.

APBN menjadi lebih ekspansif dan membutuhkan kapasitas fiskal lebih besar. Kapasitas fiskal di sini maksudnya: konsolidasi kemampuan keuangan negara yang dihimpun dari pendapatan negara untuk mendanai anggaran belanja negara.

Pertanyaan yang sama kita ajukan pada tim Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Misalnya, memberikan subsidi untuk tiap ibu hamil Rp 6 juta dan dana desa Rp 5 miliar per desa.

Demikian pula tim Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang berjanji menaikan gaji guru sebesar Rp 30 juta.

Janji-janji politik ini berdampak pada ekspansi fiskal. Membutuhkan kapasitas fiskal yang besar melalui konsolidasi penerimaan negara.

Mencari pikiran strategis Cawapres

Pada debat cawapres sebelumnya, kita sulit menemukan gambaran bagaimana cara mengatasi ekspansi fiskal yang besar dalam APBN melalui janji-janji politik?

Dalam debat, ketiga Cawapres masih sebatas mengumbar proposal populis, tapi belum menggambarkan strategi politik fiskal yang jelas.

Sebagai gambaran, salah satu bentuk dari konsolidasi fiskal untuk meningkatkan penerimaan adalah optimalisasi pajak (tax effort).

Bila kita analisa data yang bersumber dari Kemenkeu, dari 2009-2023, rata-rata peningkatan penerimaan negara sebesar 5,4 persen dan belanja negara 7,3 persen.

Pertumbuhan belanja yang lebih tinggi dari penerimaan, berkonsekuensi pada terbatasnya ruang fiskal.

Dampaknya, defisit APBN dalam tren yang meningkat 15 tahun terakhir. Sementara rasio penerimaan mengalami stagnasi, tercermin dari rasio pajak terhadap PDB yang stuck di bawah 10 persen (sekitar 70 persen dari penerimaan negara adalah dari pajak)

Indikator lain yang bisa dilihat dari sisi penerimaan adalah daya apung/elastisitas pajak (tax buoyancy) kita terhadap pendapatan nasional (PDB).

Dari beberapa sumber yang kita baca, elastisitas pajak kita tahun ini di bawah 1 atau di zona negative 0,09 (Baca: tax buoyancy turun).

Artinya terjadi perubahan diskresi pajak, tapi tidak meningkatkan penerimaan pajak (Elastisitas pajak di atas 1 mencerminkan perubahan diskresi pajak, meningkatkan penerimaan pajak).

Pajak yang tercapai dari potensi pajak kita saat ini baru 60 persen, shadow economy atau kegiatan ekonomi yang tidak terdeteksi dalam administrasi pajak setara 30 persen dari PDB.

Praktik penghindaran pajak, aset-aset orang super kaya RI yang parkir di negara-negara surga pajak, menyumbang shadow economy.

Termasuk sektor informal kita merupakan sektor yang sulit dikenakan pajak (hard to tax), seperti sektor pertanian dan skala mikro kecil. Termasuk beberapa elite di lingkaran tim sukses paslon yang namanya masuk di "Panama papers".

Jadi bagaimana caranya mencapai kapasitas fiskal yang besar untuk meng-cover peningkatan belanja APBN perlu dirasionalisasi ke publik.

Memang kalau cita-cita itu harus tinggi menjulang. Namun dengan target yang optimistis di atas, maka kapasitas ekonomi juga harus tinggi. Rakyat bertanya bagaimana caranya?

Misalnya, pertumbuhan 7 persen itu memang ideal, tapi berat. Indonesia, industri dasarnya mayoritas masih impor. Jadi setiap ekonomi mau tumbuh di atas 6 persen pasti inflasinya juga tinggi/ekonomi kepanasan, khususnya sisi imported inflation, karena bahan baku dan penolong industri dalam negeri masih mengandalkan impor.

Bagaimana ceritanya, kapasitas ekonomi susah tumbuh di atas 6 persen, tapi tax ratio bisa naik mencapai 23 persen? Ini secara teknokratik sulit dicerna! Ini bukan asal bicara. Setelah era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, sembilan tahun terakhir ekonomi kita stuck di 5 persen.

Kinerja PDB, merefleksikan terjadinya dinamika transaksi ekonomi. Namun kalau kinerja PDB yang tercermin dari pertumbuhan yang stuck 5 persen, bagaimana ceritanya rasio pajak bisa naik sampai 23 persen atau tumbuh lebih cepat dari basis ekonomi?

Apalagi kebijakan meningkatkan penerimaan pajak harus adaptif dan seimbang dengan siklus bisnis atau konjungtur ekonomi.

Benturan atap kaca

Melihat data Kemenkeu, pertumbuhan rata-rata penerimaan negara selama 10 tahun terakhir, rata-rata belanja negara tumbuh 6,67 persen, sementara rata-rata pertumbuhan ekonomi stagnan di 5 persen. Pertumbuhan belanja negara lebih cepat dari basis ekonomi.

Kondisi demikian, menggambarkan belanja pemerintah berada pada jalur yang tidak berkelanjutan dan merupakan pendorong utama meningkatnya defisit dan utang. Belanja tumbuh lebih cepat dibandingkan perekonomian.

Menaikkan pajak bukanlah solusi yang bisa diterapkan karena pajak tidak bisa tumbuh lebih cepat dibandingkan pertumbuhan basis ekonomi dalam jangka panjang.

Penerimaan pajak yang diperoleh oleh negara tidak dapat meningkat secara signifikan melebihi nilai produk atau pendapatan yang dihasilkan oleh sektor-sektor ekonomi dalam periode waktu lama.

Hal ini karena pajak merupakan bagian dari produk atau pendapatan tersebut, sehingga jika basis ekonomi cenderung stagnan, maka pajak tidak akan tumbuh. Dampaknya, belanja pemerintah tidak berkelanjutan.

Untuk meningkatkan penerimaan pajak, negara harus mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, serta memperluas basis pajak dengan cara meningkatkan kepatuhan wajib pajak, memperbaiki administrasi perpajakan, dan mengatasi shadow economy.

Tantangan ke depan tidak mudah. Mulai dari krisis geopolitik yang berdampak pada rantai suplai global, tantangan perubahan iklim yang berpotensi menghilangkan PDB global 2 persen-9 persen, fragmentasi ekonomi global dan SDM yang masih rendah.

Saya mengutip tulisan menarik Chaikal Nuryakin, PhD, direktur LPEM FEB UI, Pembangunan ekonomi kita seperti membentur atap kaca di manapun: “it seems that we hit a glass ceiling everywhere.

Kita berharap dalam debat Cawapres kemarin adalah, seperti apa strategi memperkuat basis ekonomi agar tumbuh berkelanjutan. Strategi mereformasi industri dasar agar ekonomi dapat tumbuh lebih tinggi, tapi inflasi relatif terjaga.

Secara geopolitik, bagaimana strategi para Cawapres dalam memperkuat integrasi regional dan kerja sama multilateral untuk menjaga kelancaran rantai suplai.

Mendorong diversifikasi ekspor dan rantai pasok, serta mengembangkan industri strategis dan inovatif.

Demikian juga meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan infrastruktur, serta memperbaiki iklim usaha dan regulasi. Menjaga stabilitas makroekonomi dan fiskal, serta menerapkan reformasi struktural.

Reformasi struktural mencakup berbagai bidang, seperti pasar tenaga kerja, pasar modal, sektor publik, sektor energi, sektor Kesehatan dan sektor pendidikan. Reformasi struktural diharapkan dapat meningkatkan daya saing, pertumbuhan, dan kesejahteraan ekonomi.

https://money.kompas.com/read/2023/12/26/084227426/cawapres-minim-strategi-fiskal

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke