Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menakar Pembentukan Badan Penerimaan Negara

Namun, pembentukan badan independen tersebut sering kali gagal karena sejumlah hal.

Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming selaku pemeroleh suara tertinggi sejauh ini berdasarkan perhitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga menargetkan hal yang sama.

Wacana ini termasuk dalam delapan program utama mereka dengan tujuan meningkatkan tax ratio menjadi 23 persen pada 2029.

Saat ini, otoritas pajak yang berada di bawah Kementerian Keuangan memang sudah mulai ditinggalkan.

Banyak negara yang perlahan menerapkan Semi Autonomous Revenue Authority (SARA) di mana terjadi pemisahan penuh atau parsial atas otoritas pajak dari Kementerian Keuangan.

Tujuan pemisahan untuk meningkatkan penerimaan pajak, memperbaiki pelayanan, dan memaksimalkan pemerintahan di bidang perpajakan.

Berdasarkan studi dari DDTC, tax ratio suatu negara dapat meningkat 3-5 persen setelah penerapan SARA dalam perpajakan.

Hal ini dialami Singapura ketika pembentukan Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS) pada 1992, yang diikuti peningkatan tax ratio menjadi 16,1 persen.

Selain itu, Malaysia juga menerapkan SARA dengan membentuk Lembaga Hasil Dalam Negeri Malaysia (LHDM) pada 1996.

Dengan terbentuk LHDM, tax ratio Malaysia menyentuh 19,8 persen setahun setelah pembentukan badan tersebut. Angka tersebut merupakan angka tertinggi yang diperoleh Malaysia dalam dua dekade kebelakang.

Lantas, apakah pemisahan DJP dari Kementerian Keuangan merupakan langkah tepat untuk meningkatkan tax ratio Indonesia? Tidak semudah itu!

Tax ratio Indonesia pada 2023 mengalami penurunan 0,18 persen y.0.y menjadi 10,21 persen. Angka ini jauh dari kata sustainable berdasarkan batas yang ditetapkan oleh World Bank, yaitu minimal 15 persen.

Angka ini tentunya berbahaya bagi keberlangsungan anggaran Indonesia, apalagi mayoritas belanja negara dibiayai menggunakan pajak.

Faktor institusi bukan satu-satunya variabel yang dapat menjadi kambing hitam dalam penurunan tax ratio suatu negara.

Setidaknya, terdapat tiga faktor lain yang memengaruhi penerimaan pajak, yaitu tingkat ekonomi, struktur ekonomi, dan demografi sosial. Indonesia perlu menyeimbangkan keseluruhan variabel tersebut agar tax ratio Indonesia dapat meningkat signfikan.

Dikaji lebih jauh, penyebab belum maksimalnya penerimaan pajak di Indonesia karena tingkat dan struktur ekonomi Indonesia. Hal ini disebabkan karena 60,5 persen PDB Indonesia disumbang oleh pelaku UMKM.

Namun, porsi UMKM dalam menyumbang penerimaan pajak kepada negara tidak sebanyak itu. Ketika peningkatan GDP yang lebih banyak dibanding dari penerimaan pajak atas UMKM, maka sangat wajar akan terjadi stagnansi atau bahkan penurunan tax ratio Indonesia.

Salah satu penyebab rendahnya kontribusi pajak dari UMKM adalah kurangnya kemampuan mereka dalam melakukan administrasi perpajakan dan pembukuan.

Kondisi ini membuat pelaku UMKM kesulitan melaksanakan kewajiban mereka sebagai wajib pajak. Selain itu, banyak bisnis berskala mikro di Indonesia tidak memahami laporan keuangan dan perpajakan.

Kondisi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan juga memengaruhi penerimaan pajak. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa sektor agraris berkontribusi 13,57 persen terhadap PDB atau senilai Rp 2.835 Triliun.

Pemerintah mengalami kesulitan melacak penghasilan pelaku usaha agraris karena mayoritas petani bekerja secara mandiri, bukan sebagai entitas bisnis.

Profesi petani juga bersifat subsisten sehingga orientasi petani hanya fokus pada pemenuhan kebutuhan hidup, bukan komersial.

Selain itu, volalitas yang tinggi terhadap penghasilan petani juga memicu volalitas penerimaan pajak. Volalitas ini disebabkan ketergantungan usaha agraris terhadap kondisi iklim.

Dibanding membentuk badan penerimaan negara, Indonesia dapat lebih fokus terlebih dahulu dalam memaksimalkan potensi pajak yang ada.

Pembentukan badan independen di waktu yang kurang tepat bisa jadi membawa malapetaka bagi perpajakan Indonesia karena pembentukan lembaga baru tentunya membutuhkan penyesuaian yang tidak sebentar.

Penurunan tax ratio setelah penerapan sistem SARA dialami oleh beberapa negara, salah satunya Malaysia. Setelah melewati masa puncak di 1997, tax ratio Malaysia terus anjlok hingga 10,9 persen pada 2020.

Singapura juga mengalami penurunan tax ratio setelah pembentukan IRAS menjadi 13,1 persen pada 2021. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembentukan badan independen perpajakan tidak dapat menjamin terjadinya peningkatan pada tax ratio.

Keberhasilan pengadopsian sistem SARA juga sangat dipengaruhi kondisi pemerintahan dan politik di negara tersebut.

Otoritas independen tersebut akan menjalankan tugas dan fungsinya dengan lancar jika pemerintahan berlangsung dengan efektif.

Pemerintahan yang efektif ditandai kualitas pelayanan publik, kualitas dari aparatur sipil negara, dan tingkat kebebasan dari tekanan politik. Jika tiga hal tersebut tidak terpenuhi, maka rasanya akan sulit badan penerimaan negara akan benar-benar independen.

Kondisi pemerintahan di Indonesia sepertinya masih jauh dari kata efektif. Banyak lembaga yang seharusnya independen malah dibayang-bayangi oleh tekanan politik.

Sebagai contoh, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk atas dasar pemisahan dari kepolisian justru dipimpin oleh anggota kepolisian.

Corruption Perceptions Index Indonesia yang memiliki skor 34 dari 100 juga mendukung pernyataan di atas. Bahkan, mayoritas dari kasus korupsi Indonesia dilakukan oleh oknum yang merupakan bagian pemerintahan.

Untuk itu, pemerintah seharusnya bisa fokus terlebih dahulu terhadap penggalian potensi pajak di Indonesia.

Jika potensi tersebut sudah terealisasi secara maksimal, maka pembentukan badan penerimaan negara dapat disegerakan dengan syarat pemerintahan berlangsung secara efektif.

Dengan efektifnya pemerintahan, badan penerimaan negara tidak perlu ditakutkan oleh tekanan politik sehingga membuat tax ratio Indonesia meroket.

https://money.kompas.com/read/2024/02/23/103709826/menakar-pembentukan-badan-penerimaan-negara

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke