Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Data Tenaga Kerja Vs Pasar Keuangan

Kompas.com - 07/08/2009, 10:38 WIB

KOMPAS.com - Data Non-Farm Payroll yang akan dirilis Jumat malam ini serta laporan tingkat pengangguran AS dianggap sebagian besar ekonom merupakan indikator ekonomi paling penting, dan tentu saja imbasnya akan membentuk fluktuasi yang besar di mata uang.

Tapi bagi seorang pelaku pasar, yang dibutuhkan adalah tren konsisten yang jauh lebih mudah dimanfaatkan daripada pergerakan jangka pendek yang tak tentu arah.

Bila kita melihat korelasi dollar dengan saham, tentu kita akan menyadari hubungannya seperti ayam dan telur, dimana saling terpengaruh erat satu sama lain. Misalnya crash (kejatuhan di pasar saham) yang terjadi setelah Lehman bangkrut September tahun lalu, mendorong dollar AS menguat terhadap mata uang regional.

Contoh lainnya adalah ketika wawancara dengan Kepala Bank Sentral AS Bernanke yang terkenal pada tanggal 15 Maret yang menyebutkan tentang resesi di AS akan berakhir tahun ini dan pemulihan mulai tahun 2010. Komentar ini menjadi petaka bagi dollar AS yang melemah tajam sebaliknya pasar saham global bergerak rally.

Korelasi antara pasar saham dan dollar AS biasa kita sebut risk appetite (selera pada aset beresiko) dan risk aversion (menghindari resiko). Investor yang memilih menghindari resiko akan mengoleksi dollar AS (mata uang dianggap aman) dan melepas posisi di saham atau komoditi.

Sebaliknya ketika investor memburu aset beresiko seperti saham maka mereka akan melepas posisi dollar AS. Karena hubungan keduanya begitu erat kita pasti ingin tahu bagaimana dampak data Non Farm Payrolls (data tenaga kerja AS di luar sektor pertanian) yang menjadi fokus utama hari ini (7/9) terhadap selera pada resiko atau hindar resiko.

Pertama-tama kita perlu melihat pengaruh tenaga kerja pada harga saham dan dollar AS. Laporan ini selalu buruk setiap bulan sesuai perkiraan. Pengecualian hanya nampak pada bulan Juli ketika tenaga kerja yang dipangkas hanya 0,1 persen di bawah perkiraan.

Faktanya pada bulan Januari dan Februari, pasar selalu dalam pola menghindari resiko (Indeks S&P melemah 9,03 persen dan 10,69 persen, dan dollar AS menguat 5,46 persen dan 2,53 persen). Saat itu Non Farm Payroll (NFP) angkanya buruk tapi sesuai dengan perkiraan. Bulan Maret, tenaga kerja yang dipangkas makin membengkak tapi angka yang dilaporkan sedikit lebih baik dari perkiraan. Indeks S&P malah naik 9,36 persen sementara dollar AS melemah 2,92 persen.

Bulan selanjutnya April, pengurangan tenaga kerja semakin tinggi seperti perkiraan, namun Indeks S&P tetap menguat 10,52 persen sementara dollar AS melemah 0,94 persen. Ibarat ombak yang sedang pasang, di bulan Mei angka yang dipangkas lebih rendah daripada perkiraan pasar.

Imbasnya S&P menguat 5,21 persen sementara dollar AS melemah 6.22%. Kemudian berlanjut pada bulan Juni, angka yang dilaporkan tidak seburuk perkiraan, namun S&P hanya bergerak flat dan dollar AS menguat 0,84 persen. Dan yang terakhir, di bulan Juli, angkanya kembali lebih buruk dibanding estimasi pasar, namun saham S&P masih menguat 7,22 persen sementara dollar AS jatuh 2,27 persen.

Berdasarkan laporan pemangkasan tenaga kerja dari bulan ke bulan dalam laporan Non Farm Payrolls (NFP) kita bisa melihat bahwa data ini bukanlah alat ukur yang cukup akurat untuk menentukan tertarik tidaknya investor pada resiko. Dalam keterangan di atas terlihat bagaimana saham tidak tentu arah meskipun data bagus atau buruk.

Hal lain yang juga menarik untuk diperhatikan adalah unemployment rate (tingkat pengangguran) khususnya yang terjadi di bulan Juli ketika saham naik meskipun data NFP lebih buruk dari estimasi, tapi tingkat pengangguran masih berada di bawah perkiraan.

Tingkat pengangguran AS diperkirakan masih akan berada di kisaran 10,5 persen hingga akhir tahun 2009, dan akan mencapai puncaknya hingga 11 persen di akhir 2010, bahkan belum tentu bisa kembali di bawah 8 persen hingga tahun 2013. Hal ini tentunya akan memberikan tekanan lebih lanjut pada tingkat konsumsi penduduk AS dalam beberapa bulan mendatang, bahkan bisa memperburuk kondisi perbankan AS, seiring dengan makin banyak penduduk yang kehilangan pekerjaannya, sehingga semakin kesulitan membayar kredit ke bank terutama kredit perumahan.

Jika data yang akan dirilis malam ini kembali mengindikasikan tren pengangguran naik maka terlalu dini untuk mengatakan resesi akan segera berakhir.

Situasi ini pastinya juga akan berdampak pada mata uang rupiah yang lebih banyak dipengaruhi faktor eksternal. Rupiah bakal melemah karena faktor ini. Namun sejauh ini, rupiah masih aman karena kondisi internal seperti prospek pertumbuhan ekonomi, kebijakan pemerintah, suku bunga BI masih positif untuk pasar.

Pelemahan rupiah jangka pendek diperkirakan terbatas di kisaran 10020 sampai 10265. Dimana pelemahan hingga ke area tersebut mungkin dapat dilihat oleh investor sebagai kesempatan emas untuk melakukan aksi beli jika mereka masih yakin pemulihan ekonomi global hanya tertunda sesaat.  (CK / Senior Research Analyst PT Monex)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com