Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengusaha Walet Keberatan

Kompas.com - 25/08/2009, 14:28 WIB

Semarang, Kompas - Sejumlah pengusaha sarang burung walet di Jawa Tengah keberatan atas rencana pengenaan pajak baru sesuai UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang akan diterapkan pemerintah. Penerapan UU PDRD itu dinilai tidak hanya mematikan usaha sarang burung tradisional, tetapi juga menimbulkan pungutan ganda atas obyek sama.

"Harus diketahui oleh pemerintah, sarang burung tidak dapat dikenai retribusi. Retribusi hanya layak diberlakukan pada fasilitas yang dibangun pemerintah, seperti pasar, rumah sakit, dan terminal penumpang. Rumah atau sarang burung walet itu dibangun sendiri oleh pengelola, kok akan dikenai retribusi," kata Sutardjo, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Sarang Walet Indonesia (APSWI) Jateng, Senin (24/8) di Semarang.

Saat ini APSWI telah menerima keberatan secara tertulis dari 100 pengusaha sarang walet di wilayah eks-Karesidenan Pati, terdiri atas pengusaha di Kudus, Pati, Rembang, Blora, dan Grobogan. Mereka juga mendesak pemerintah turun ke lapangan, melihat langsung kondisi bisnis sarang walet yang empat tahun menurun produksinya hingga 50 persen.

Sutardjo melihat, penerapan pajak sesuai UU PDRD berpotensi pungutan ganda atas obyek yang sama. Tiap pengusaha sarang walet sudah dikenai Pajak Penghasilan (PPh) atas usaha penjualan hasil sarang walet. Pajak ini sudah memberatkan. Padahal masih harus dikenai pajak bumi bangunan per tahun dan izin HO (izin gangguan) untuk setiap rumah usaha sarang waletnya.

"Dari operasional pengelolaan sarang walet, pengusaha juga dikenai biaya sosial lingkungannya yang jumlahnya bisa mencapai 10 persen dari jumlah pendapatan setiap kali panen," kata Sutardjo.

Selaku Koordinator wilayah Pati APSWI Jateng, Sutardjo mengatakan, usaha sarang walet kini justru terpuruk. Kerusakan hutan yang belum pulih, rusaknya embung atau surutnya waduk serta maraknya industri yang polutif menjadi penyebab burung walet banyak migrasi ke luar daerah.

Pengelola sarang walet di Semarang, Sutjipto, mengeluhkan pemerintah terkesan membiarkan usaha pembinaan terhadap pengusaha sarang walet. Dengan tidak adanya komunikasi intensif, tidak heran pemda pun juga kurang peduli terhadap kelangsungan usaha sarang walet.

Hal itu bisa dilihat dari tiadanya perlindungan suatu kawasan, yang selama ini menjadi andalan bisnis sarang walet. Kawasan-kawasan habitat burung walet banyak terpolusi dan tercemar. Harga sarang walet pun, dilaporkan terus menurun.

Kini harga sarang walet sudah dibawah Rp 9 juta per kg. Padahal sebelumnya minimal berharga Rp 10 juta per kg. (WHO)

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com