Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Krisis Listrik: Saatnya Bertindak, Bukan Pemetaan

Kompas.com - 13/11/2009, 07:43 WIB

Ada dua masalah yang menyebabkan sistem kelistrikan di DKI Jakarta defisit. Pertama, sistem kekurangan fasilitas gardu induk (GI). Kedua, ada pembangkit listrik yang menganggur karena tidak ada gas.

Terkait masalah pertama, sistem Jakarta kekurangan GI tegangan ekstra tinggi ataupun GI distribusi. Akibatnya, saat terjadi kerusakan pada GI Cawang dan GI Kembangan, daya listrik dari sistem Jawa-Bali tidak bisa masuk. Ibarat jalan tol, GI adalah pintu tol.

Hasil penyidikan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) atas kebakaran pada GI Cawang menunjukkan adanya kelebihan beban.

PLN mencatat bahwa wilayah Jakarta dan sekitarnya mengalami beban pertumbuhan cukup tinggi, rata-rata 5 persen pada tahun-tahun terakhir. Dengan demikian, beban puncak sistem Jakarta mencapai lebih dari 5.200 megawatt. Hal ini membuat pembebanan GI yang memasok kota Jakarta, seperti di Cawang, Bekasi, Gandul, dan Kembangan. Semua GI ini sejak tahun 2007 mengalami beban yang cukup kritis, yaitu di atas 90 persen.

Sayangnya, penambahan fasilitas distribusi kurang mendapat prioritas. Bahkan, dalam program percepatan pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara 10.000 MW, penambahan fasilitas distribusi ini tidak berjalan bersamaan. Akibatnya, meski ada tambahan daya dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Labuhan, listrik hanya masuk ke sistem besar Jawa dan Bali, tetapi tidak bisa tersalur ke konsumen.

Terkait masalah kedua, defisit listrik di Jakarta bisa dikurangi jika dua turbin baru di kompleks Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Muara Karang berkapasitas 240 MW, bisa mendapatkan gas. Saat ini kedua unit pembangkit itu menganggur.

Tahun 1991, PLN pernah gagal mendapatkan gas untuk PLTGU Muara Karang dan PLTGU Priok karena perundingan soal harga dengan produsen gas alot. Pemerintah kembali menjanjikan pasokan gas untuk PLN setelah sebagian gas dari Kilang Bontang tidak lagi diekspor ke Jepang. Gas tersedia mulai tahun 2011. Namun, gas terancam gagal mengalir karena konsorsium Pertamina dan Perusahaan Gas Negara, yang diperintahkan menyediakan fasilitas pengiriman, pecah kongsi.

Apa yang dihadapi Jakarta hanyalah gambaran kecil tentang kendala teknis yang sangat menentukan, tetapi tidak dijamah oleh kebijakan pemerintah. Kondisi yang sama juga dialami sejumlah daerah.

Tidak mengherankan jika Dewan Energi Nasional berani menyebut bahwa Indonesia berada dalam darurat energi. Indikasi darurat itu terlihat dari krisis listrik di daerah penghasil energi, seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Krisis listrik telah menyebabkan gangguan terhadap kehidupan sosial masyarakat, menghambat aktivitas ekonomi, dan pemerintahan.

Anggota DEN Herman Darnel Ibrahim mengatakan, meskipun pemerintah sudah meluncurkan program percepatan pembangunan pembangkit berbahan bakar batu bara atau proyek 10.000 megawatt untuk mengatasi sumbatan, ternyata implementasi tidak sesuai dengan rencana. ”Terutama terkait dengan kesulitan pendanaan, akhirnya defisit kelistrikan semakin parah,” ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com