Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menuju Rasio Utang Nol Persen

Kompas.com - 20/01/2010, 06:51 WIB

Orin Basuki

 

KOMPAS.com - Awal Januari 2010, dunia dikejutkan oleh potensi krisis utang di Eropa. Rata-rata utang publik di 16 negara anggota Uni Eropa 84 persen dari produk domestik bruto atau PDB tahun 2010. Itu jauh di atas batas maksimal utang publik menurut Pakta Stabilitas dan Pertumbuhan, yakni 60 persen PDB.

 

Jerman, yang terkenal disiplin menjaga stabilitas fiskalnya, akan menderita kenaikan utang publik 78 persen dari PDB tahun ini. Sementara Perancis utang publiknya mencapai 75,8 persen dari PDB pada kuartal III-2008. Yunani utang publiknya akan mencapai 120 persen dari PDB pada 2010. (Kompas, 4 Januari 2010).

Di zona Asia. Utang Jepang dilaporkan bakal mencapai 53,5 triliun yen atau setara dengan 597 miliar dollar AS, untuk tahun anggaran berjalan, 1 April 2009-31 Maret 2010. Ini rekor baru dalam sejarah utang negeri itu.

Menteri Keuangan Jepang Hirohisa Fuji di Tokyo, 8 Desember 2009, sudah mengisyaratkan situasi anggaran Jepang bakal menghadapi masalah yang serius (Kompas, 9 Desember 2009).

Indonesia pernah memiliki rasio utang pemerintah 89 persen terhadap PDB pada tahun 2000, saat total utang mencapai Rp 1.234,28 triliun. Pada Oktober 2009, rasio utang pemerintah turun ke level 30 persen PDB, tetapi nominal utang meningkat menjadi Rp 1.602,19 triliun.

Mengapa pemerintah di seluruh dunia cenderung berutang untuk membiayai anggaran pendapatan dan belanja negaranya?

Salah satu dasar pijakan yang bisa menjelaskan hal ini adalah preposisi yang diungkapkan dua penerima Hadiah Nobel Ekonomi, Franco Modigliani dan Merton Miller. Keduanya tenar dengan rumusan Preposisi M&M I dan II.

Modigliani dan Miller mengasosiakan preposisinya pada institusi bisnis. Saat ini menunjukkan kecenderungan pengelolaan keuangan negara diarahkan seperti manajemen keuangan perusahaan. Ini karena pengelolaan keuangan perusahaan dinilai lebih efisien, transparan, dan efektif.

Preposisi M&M I menyatakan, nilai sebuah institusi tidak bergantung pada struktur permodalannya, apakah memperbanyak utang atau suntikan modal dari pemegang sahamnya. Sebuah perusahaan yang memutuskan untuk membiayai 70 persen bisnisnya dengan utang dan 30 persen dari suntikan modal nilai perusahaannya tetap sama, meski komposisinya dibalik, 30 persen utang dan 70 persen modal pemegang saham.

Dalam ranah keuangan negara, pemegang saham adalah rakyat. Kontribusi rakyat sebagai pemegang saham dilakukan melalui pembayaran pajak. Makin besar pajak yang dibayarkan, makin rendah ketergantungan negara tersebut dari utang.

Zona Eropa menghadapi situasi sulit karena beban utang mereka makin besar, sementara pembayaran pajak semakin rendah karena rakyat tertekan krisis keuangan global yang melanda sejak akhir tahun 2008.

Ironisnya, utang yang diambil dalam jumlah besar pada tahun 2009 digunakan untuk menahan dampak pemburukan krisis, dalam bentuk stimulus fiskal. Namun, stimulus fiskal pun belum sanggup menopang pemulihan ekonomi secara signifikan.

Lalu, di mana posisi Indonesia pada tahun 2010? Pemerintah menargetkan penerbitan obligasi Rp 175,6 triliun. Ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan total obligasi negara yang diterbitkan pada tahun 2009, yakni Rp 144 triliun.

Dilihat dari rasio utang terhadap PDB memang akan ada penurunan. Nominal PDB 2009, di posisi Rp 5.401,6 triliun, sedangkan PDB 2010 menjadi Rp 5.981,37 triliun.

Dengan nilai utang yang bertambah, rasio utang terhadap PDB diharapkan turun dari 30 persen pada 2009 menjadi lebih rendah pada 2010. Ini artinya, dana yang berasal dari utang akan semakin sedikit dalam menopang pertumbuhan ekonomi dan operasional pemerintahan.

Namun, kembali ke Preposisi M&M I, pemegang saham memang menyukai pilihan berutang karena akan meningkatkan pendapatan per lembar saham yang dimilikinya. Namun, mereka juga harus siap dengan situasi lain, yakni menjadi pihak yang dinomorduakan.

Ini karena setiap laba yang diterima perusahaan harus terlebih dahulu digunakan untuk membayar kewajiban kepada pemegang obligasi atau kreditor, baru selanjutnya untuk dividen pemegang saham.

Dengan demikian, makin banyak utang yang diambil pemerintah akan makin besar penerimaan negara yang digunakan untuk membayar bunga dan pokok utang. Sisanya baru untuk kebutuhan lain, termasuk membangun infrastruktur, kesejahteraan rakyat, dan sebagainya.

Preposisi kedua

Pada Preposisi M&M II, Modigliani-Miller mengingatkan adanya risiko bagi perusahaan yang terus-menerus menggenjot utang baru. Semakin besar utang yang diambil, akan makin tinggi ongkos yang harus dibayar jika dianggap gagal bayar.

Pemegang saham biasanya tidak rela jika sebagian pendapatannya tergerus akibat banyaknya utang yang harus dibayar. Ini berarti, pemerintah perlu memperhitungkan ongkos penerbitan obligasi dan penarikan utang yang akan muncul bersamaan dengan penarikan utang baru.

Pada tahun 2009, Kementerian Keuangan mencatat adanya penghematan biaya penerbitan obligasi dan penerbitan utang sekitar Rp 15 triliun.

Namun, total ongkos penerbitan obligasi dan penarikan utang masih Rp 95,49 triliun. Ini relatif tinggi karena nyaris setara dengan sembilan kali anggaran program stabilisasi harga komoditas yang hanya Rp 10 triliun. Ongkos tersebut setara anggaran infrastruktur tahun 2010, yakni Rp 93,35 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah mengatakan, setiap sen yang didapat dari utang sebaiknya untuk investasi. Dengan investasi, setiap sen bisa memberi manfaat yang lebih besar dari modal awalnya.

Namun, rupanya bangsa Indonesia masih perlu bersabar karena rasio utang terhadap PDB masih sekitar 30 persen. Butuh upaya ekstra untuk menggenjot penerimaan pajak yang menjadi satu-satunya sumber pengganti utang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com