Laode Ida
Fraksi Partai Golkar, PDI-P, PKS, dan Hanura, misalnya, tetap konsisten dengan sikap kritis dan pandangan bahwa kebijakan pemberian dana talangan (bail out) adalah salah, merupakan pelanggaran hukum dengan sejumlah nama yang dianggap harus bertanggung jawab, termasuk Boediono dan Sri Mulyani Indrawati.
Kegelisahan pihak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu, antara lain, ditandai dengan adanya manuver pihak Istana pun begitu gencar dilakukan, mulai dari cara kasar seperti menggertak untuk me-reshuffle (para) menteri yang parpolnya dianggap membangkang atau menyalahi etika koalisi; mempersoalkan figur-figur dari elemen parpol koalisi yang dianggap memiliki kasus hukum (seperti mengangkat dugaan pengemplangan pajak kelompok usaha Aburizal Bakrie dan dugaan L/C fiktif oleh Misbakhun/Fraksi PKS); lobi politik staf ahli Presiden dengan mendatangi sejumlah tokoh yang sebelumnya pernah disowani oleh tim inisiator Pansus; sampai pada pengerahan massa sebagai upaya counter gerakan ekstra parlemen dari kelompok kritis berbagai elemen rakyat.
Upaya-upaya politik pihak SBY itu tampaknya agar rekomendasi Pansus tidak mempersalahkan kebijakan bail out Bank Century dan juga tidak menyebut nama-nama khususnya Boediono dan Sri Mulyani sebagai pihak yang bersalah. Soalnya, agenda pihak SBY sebenarnya sudah tercapai ketika Pansus luput menjadwalkan kehadiran Presiden ke-6 RI itu untuk dimintai keterangannya, dan yang paling penting lagi adalah ia sudah terhindar dari upaya pemakzulan.
Dalam konteks ini, SBY sebenarnya sudah demikian nyaman dengan perkembangan dan hasil kerja atau rekomendasi terakhir dari Pansus. Apalagi, selama proses pembahasan di Pansus, terasakan sekali adanya semacam kesepakatan politik di parlemen, termasuk dari PDI Perjuangan sebagai kekuatan oposisi, bahwa siapa pun yang terkait dengan kebijakan fatal itu bisa dipanggil, dimarahi di Pansus, dan lalu disebut namanya sebagai pihak yang bertanggung jawab, kecuali satu nama, yakni Presiden SBY.
Pandangan, sikap, dan keputusan politik dari Pansus seperti itulah yang sungguh mengecewakan dan atau menggelisahkan rakyat banyak, termasuk sejumlah pengamat di negeri ini. Mengapa?
Pertama, presiden merupakan pusat kekuasaan eksekutif dan sekaligus kepala negara, yang sungguh terasakan sangat aneh dan janggal bila dana yang dikeluarkan dari kas negara sejumlah Rp 6,7 triliun justru tidak diketahui, dan hanya dianggap sebagai hak bawahan yang membidangi. Apabila ini dibiarkan, ada alasan kuat untuk mempertegas penilaian bahwa SBY ternyata lalai dalam memimpin dan mengendalikan negeri ini, dibiarkan mengalami kehancuran dari dalam.
Oleh karena itulah, dalam perspektif ini, Presiden SBY seharusnya tidak bisa dihindari untuk setidaknya dimintai keterangan atas kelalaiannya dalam mengendalikan para bawahan yang