Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Petani Bawang Merah Terendam Iklim

Kompas.com - 18/05/2010, 15:20 WIB

Maryono (50), petani bawang merah di Desa Parangtritis, sama sekali tak menyangka tanamannya seluas 700 meter persegi bakal terendam. Menurut perhitungannya, musim hujan berakhir akhir April lalu. Oleh karena itu, ia tidak menyiapkan saluran got yang memadai.

"Saya hanya gali sedalam 70 sentimeter karena asumsinya adalah musim kemarau. Jadi, curah hujan akan minim. Ternyata sepekan ini curah hujan sangat tinggi sehingga saluran got tersebut tidak mampu menampung air. Akibatnya, bawang merah saya terendam," ujar Maryono, Senin (17/5).

Bawang merah tersebut baru berusia 40 hari sehingga umbinya masih sangat kecil. Rendaman air dalam hitungan kurang dari dua hari pun membuat bawang merah membusuk.

Tak mau rugi lebih banyak, Maryono memilih memanennya meski hanya dihargai Rp 2.000 per kilogram. "Daripada saya lanjutkan, hasilnya akan lebih parah lagi," katanya.

Untuk menanami lahan seluas 700 meter persegi, ia sudah mengeluarkan biaya sekitar Rp 2,5 juta. Hasil panenan dini diperkirakan berkisar Rp 500.000. Jika tidak terendam air, hasil panennya berkisar Rp 6,5 juta.

Apa mau dikata, ia harus memilih. Panen dini masih lebih menguntungkan dibandingkan melanjutkannya.

Maryono hanya satu dari ratusan petani bawang merah lain yang merugi karena curah hujan tinggi.

Kejadian serupa pernah menimpa petani bawang merah di daerah Sanden pada tahun 2004. Saat itu banyak areal bawang merah yang terendam karena derasnya aliran air dari daerah hulu. Akibatnya, petani gagal panen dan mereka terpaksa terbelit utang.

"Kami tidak tahu akan terjadi banjir seperti itu. Untuk modal tanam ulang, kami terpaksa cari pinjaman ke sana sini," kata Rahmat (60), petani di Desa Gadingharjo, Sanden.

Ilmu alam

Bagi Maryono dan Rahmat, ilmu yang dipakai dalam siklus menanam adalah ilmu pola alam atau pranata mangsa. Namun, ilmu tersebut selama beberapa tahun ini tak lagi manjur. Mereka bingung harus menggunakan ilmu apa lagi ketika batas musim tak jelas lagi. Hujan bisa datang sewaktu-waktu.

Menurut Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul Edy Suharyanto, sekarang ini sering terjadi anomali iklim. Pihaknya telah diinstruksikan pusat untuk menyiapkan pertanian di musim kemarau, yang diprediksi berlangsung lebih lama. "Kemarau panjang juga bagian dari anomali iklim," katanya.

Untuk itu, perlu ada beberapa penyesuaian di sektor pertanian. Pertama, mengalihkan sebagian komoditas padi ke palawija yang lebih hemat asupan air. Kedua, memilih varietas yang umurnya lebih pendek. Terakhir dengan berhemat dalam menggunakan air.

"Kemarau panjang akan semakin memperberat sektor pertanian dalam menyuplai pangan. Selama ini tingkat produksi pangan sudah cenderung berkurang akibat laju alih fungsi lahan sawah. Di Bantul angka laju alih fungsi lahan berkisar 20 hektar per tahun," paparnya.

Menurutnya, petani harus lebih jeli dan sigap merespons anomali iklim. Untuk kasus bawang merah, petani bisa menyiapkan saluran got lebih dalam jika tidak mau berspekulasi. Gagal beradaptasi, kerugian hanya soal waktu saja.

Kerugian petani akibat bawang merah terendam Minggu lalu diperkirakan mencapai Rp 1,8 miliar. Jumlah itu bisa membengkak bila genangan air meluas.

Tak hanya merugikan petani, buruh sortir bawang merah juga ikut merasakan dampaknya. Order mereka turun drastis. Bahkan, tenaga mereka terancam tidak terserap jika bawang merah yang bisa dipanen dini hanya sedikit.

Apa yang dialami petani di Parangtritis juga dialami petani lain di daerah lain. Bahkan, di negara lain karena iklim yang terus berubah. Tak hanya petani, nelayan dan peneliti pun masih belajar menyesuaikan diri dengan perubahan yang disebabkan kerakusan manusia menggunakan bahan-bahan tak ramah lingkungan. (ENY PRIHTIYANI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com