Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bisuk Siahaan, Sejarah Proyek Asahan

Kompas.com - 16/08/2010, 04:01 WIB

ANDREAS MARYOTO

Menengok sejarah industri Indonesia, sejak merdeka sampai kini, didapati tidak sedikit kisah kegagalan. Beberapa megaproyek ada yang salah sejak survei. Ada juga proyek yang gagal karena ditipu oleh mereka yang mengaku ahli dari luar negeri. Ada yang gagal karena masalah sosial. Ada juga proyek yang sebenarnya salah survei, tetapi dipaksakan tetap beroperasi.

Proyek Asahan yang membangun pabrik peleburan aluminium, PLTA Siguragura dan PLTA Tangga di Sumatera Utara, dengan nilai investasi sekitar 4,5 miliar dollar AS merupakan megaproyek yang sukses. Proyek ini berdasarkan survei akurat dan pengoperasian tepat waktu. Proyek ini juga mendapat pengakuan dari dua perguruan tinggi asing.

”Tahun 1961, begitu menjadi pegawai Departemen Perindustrian Dasar dan Pertambangan (Perdatam), saya mulai merintis proyek ini. Saya ditawari Menteri Perdatam Chairul Saleh untuk memilih satu di antara ratusan proyek yang ditawarkan pemerintah. Saya memilih Proyek Asahan,” kata mantan juru runding dan Ketua Tim Teknis Proyek Asahan Bisuk Siahaan saat menginjakkan kaki di Kuala Tanjung, Kabupaten Batubara, lokasi Proyek Asahan yang kini dikelola PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Di tempat itu Bisuk mengenang kembali upayanya mengegolkan Proyek Asahan hampir 50 tahun lalu.

Alumnus Jurusan Teknik Kimia ITB itu berkisah, ia meminati proyek yang direncanakan pemerintah melalui Pembangunan Semesta Berencana Delapan Tahun ini di tengah sedikitnya tenaga ahli di Indonesia. Semasa kecil ia pernah mendengar cerita dari kakeknya tentang proyek itu saat Pemerintah Hindia Belanda ingin membangun pembangkit listrik, tak jauh dari rumah kakeknya di Balige, Kabupaten Tapanuli Utara (kini Kabupaten Toba Samosir).

”Karena cerita itu, ketika lulus ITB, saya langsung mendaftar sebagai PNS di Perdatam. Saat itu kami yang lulus perguruan tinggi seperti terpanggil menjadi PNS. Saat itu, saya merasa negara membutuhkan saya,” kenang Bisuk.

Hampir menyerah

Tahun itu juga ia diminta pergi ke Medan untuk mempersiapkan survei awal. Dengan modal satu mesin tik ia segera mempersiapkan data awal untuk menyambut tim survei dari Uni Soviet. Waktu itu, Uni Soviet berminat membiayai Proyek Asahan. Tetapi, proyek ini dihentikan karena pemerintah mengalihkan dana untuk program Ganyang Malaysia.

Meski survei terlaksana, akhirnya proyek ini dihentikan karena meletusnya peristiwa G30S. Sejak saat itu, Proyek Asahan hilang dari daftar proyek pemerintah.

Meski pemerintah menghapus proyek ini, Bisuk berprakarsa untuk mempromosikan proyek ini kepada investor asing. Dengan biaya pribadi, ia membuat kantor dan mempekerjakan karyawan. Tiga tahun ia berpromosi, tak ada yang berminat.

Kemudian ada calon investor yang berminat, salah satunya adalah Kaiser Aluminium dari Amerika Serikat. Sebuah tim survei didatangkan dari AS. Bisuk ikut dalam survei di Kuala Tanjung.

”Saya hampir menyerah karena medannya sangat sulit. Tetapi, salah satu anggota tim survei dari AS tetap yakin akan menemukan tempat yang bisa digunakan sebagai lokasi pabrik, juga pelabuhan,” tutur Bisuk.

Kaiser Aluminium meminta agar pemerintah menyediakan PLTA karena ada aturan pihak asing tak diperbolehkan mengelola listrik. Usulan ini tak disanggupi pemerintah sehingga Kaiser Aluminium mundur.

Bisuk lalu mencari dana ke Bank Dunia. Bank Dunia menyarankan agar proyek itu ditender secara internasional. Bank Dunia hanya mau memfasilitasi tender itu. Tetapi, sampai waktu penutupan pengajuan proposal, tak ada perusahaan yang mendaftar.

Uang pribadi

Proyek Asahan kembali hilang, tetapi Bisuk tidak menyerah. Ia kembali mencari investor. Salah satunya, Wakil Presiden Direktur Sumitomo Chemical H Sugano dari Jepang. Sumitomo pun berminat. Mereka berunding. Selain di Jakarta, Sumitomo meminta agar perundingan juga di Tokyo, harapannya Pemerintah Jepang bisa terlibat dalam pembiayaan.

”Saya pikir perundingan paling tiga kali, wah, ternyata sampai tiga tahun. Semua biaya dari uang pribadi dan keluarga saya. Kepalang basah, saat itu saya menyampaikan kepada Ketua Tim Teknis Penanaman Modal Asing BKPM Prof M Sadli bahwa keluarga siap menanggung biaya perundingan,” katanya.

Ketika soal anggaran terselesaikan, pemerintah menunjuk Ketua Tim Perunding Prof M Sadli. Setelah sejumlah penundaan akibat krisis minyak dan kesulitan keuangan Indonesia, Proyek Asahan menjadi proyek pemerintah dengan investasi dari Jepang dan Indonesia.

Sejak itu, Bisuk diminta menjadi Ketua Tim Teknis Proyek Asahan hingga proyek diresmikan Presiden Soeharto, dan dikelola PT Inalum, mulai 1983.

Penyelesaian proyek ini mengagetkan dunia internasional karena masih jarang industri besar di negara berkembang bisa diselesaikan tepat waktu. Apalagi, saat itu ada kasus industri baja di India yang gagal karena salah perencanaan.

Dua perguruan tinggi di AS, Center for International Studies Ohio University dan Pittsburg State University, mengadakan penelitian selama beberapa tahun tentang kesuksesan ini. Kedua perguruan tinggi itu memberikan penghargaan kepada Bisuk yang dinilai sukses.

”Kesuksesan proyek ini bukan hanya soal kemampuan teknis, tetapi karena kemampuan diplomasi dan yang terbesar adalah pendekatan sosial,” katanya. ”Kesalahan terbesar dalam proyek-proyek kita adalah tak adanya pendekatan sosial. Mungkin mereka merasa proyek akan berhasil hanya bermodal dekat dengan penguasa.”

Bisuk berharap sukses Proyek Asahan bisa dipelajari. Ia mengisi hari tuanya dengan menulis buku sejarah industri di Indonesia dan Proyek Asahan. Sejarah industri di Indonesia dicatat agar keberhasilan dan kegagalan menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com