Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Petani Lebih Butuh Tanah daripada BLT

Kompas.com - 24/09/2010, 03:10 WIB

Mengutip data Konsorsium Pembaruan Agraria, konflik agraria di Indonesia terjadi di berbagai bagian Nusantara dan sampai kini terus berulang dengan pola yang mirip.

erbagai konflik yang pernah terjadi tersebar di 2.834 desa atau kelurahan, 1.355 kecamatan, dan 286 kabupaten atau kota. Luas tanah yang dipersengketakan mencapai 10 juta hektar lebih dan menyebabkan satu juta lebih keluarga petani menjadi korban.

Pada masa-masa selanjutnya, konflik pertanahan ternyata tidak juga menurun. Melihat data lain, setidaknya pada tahun 2009, dari 4.000 laporan kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang masuk ke Komnas HAM, 62 persen di antaranya merupakan kasus lingkungan hidup dan konflik agraria. Berdasarkan validasi Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2007, terjadi 4.581 kasus sengketa pertanahan, 858 kasus konflik pertanahan, dan 2.952 kasus perkara pertanahan.

Komisioner Komnas HAM Johny Nelson Simanjuntak mengatakan, saat ini persoalan pertanahan rata terjadi di hampir semua wilayah Indonesia. Konflik atau sengketa yang terjadi tidak hanya melibatkan petani dengan investor atau perusahaan negara, tetapi juga dengan TNI. Salah satunya yang sempat menarik perhatian publik adalah kasus penembakan terhadap warga Alastlogo, Jawa Timur, oleh beberapa anggota Marinir pada Mei 2007.

Terakhir, pada Juni lalu, dua warga Desa Koto Cengar, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, tewas tertembak Brimob Polda Riau dalam bentrokan yang terjadi di perkebunan kelapa sawit milik PT Tri Bakti Sarimas. Warga menyesalkan tindakan itu. Mereka menuntut, seharusnya aparat mampu bersikap lebih netral dalam persoalan tersebut karena perkara utamanya adalah sengketa antara petani anggota Koperasi Unit Desa (KUD) Prima Sehati dan PT Tri Bakti Sarimas.

Menurut warga, perusahaan itu dinilai ingkar dari perjanjian dan merugikan petani. Mereka hanya diberi uang hasil usaha sebesar Rp 70.000 per bulan untuk lahan seluas dua hektar. Padahal, umumnya—di luar perusahaan—kelapa sawit yang berumur 10 tahun dapat menghasilkan uang hingga Rp 4 juta (Kompas, 9 Juni).

Posisi rakyat

Kasus seperti itu menurut Simanjuntak adalah salah satu bentuk konflik yang terjadi di sekitar persoalan pertanahan.

”Memang, paling banyak konflik yang terjadi terkait dengan perkebunan kelapa sawit karena mereka umumnya membuka lahan sangat luas. Dalam kasus lain, kerap kali izin lokasi yang diberikan tidak memerhatikan kondisi riil di lapangan sehingga ada wilayah yang telah ditinggali masyarakat bertahun-tahun masuk ke dalam area yang diberikan kepada perusahaan. Hal itu yang menjadi salah satu sebab munculnya konflik,” kata Simanjuntak di ruang kerjanya, Selasa (21/9) malam.

Salah satunya konflik di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Wilayah usaha yang diberikan pemerintah daerah kepada perusahaan Nauli Sawit ternyata telah ditinggali transmigran sejak tahun 1980. Dengan bekal izin lokasi itu, Nauli Sawit merasa memiliki kekuatan hukum untuk mulai membersihkan lahan dan mengusir begitu saja warga transmigran yang telah bertahun-tahun tinggal di sana.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com