Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita tentang Kopi Luwak Lampung

Kompas.com - 28/11/2010, 14:41 WIB

KOMPAS.com - Pernah mencicipi minum kopi luwak? Sebutan kopi luwak ini begitu istimewa karena kekhasan proses, kelangkaan, dan citarasa yang unik yang tidak ditemui dalam kopi jenis lainnya.

Kopi luwak memiliki rasa seimbang antara manis, pahit dan asam, terasa lebih lama, "fruty", tidak cacat, tidak "earthy" karena penjaminan kebersihan saat pengumpulan biji kopi.

Selain itu kandungan protein yang rendah pada kopi luwak menghasilkan citarasa yang superior. Itu terjadi karena saat proses pencernaan di perut luwak, protein tercerna dan keluar dari biji kopi. Protein pada kopi menyebabkan rasa bitter saat proses roasting. Jadi semakin rendah kadar protein dalam kopi semakin kurang "bitterness" kopi tersebut.

Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil kopi robusta terbesar di Tanah Air dengan produksi sekitar 140.000 hingga 150.000 ton per tahun. Daerah itu juga selama ini dikenal sebagai salah satu produsen utama kopi Indonesia dan ’pintu gerbang’ utama ekspor kopi Indonesia.

Areal kopi robusta di Lampung seluas 163.000 ha, dan petani yang terlibat dalam budidaya kopi sebanyak 200.000 kepala keluarga.

Bagaimana perkembangan kopi luwak robusta Lampung? Sejak beberapa tahun terakhir sejumlah petani di daerah itu terutama sentra perkebunan kopi seperti Lampung Barat dan Tanggamus mulai mengembangkan budidaya kopi luwak.

Mereka tertarik mengembangkan budidaya kopi luwak mengingat harga kopi hasil fermentasi itu cukup menggiurkan bisa mencapai di atas Rp 750 ribu per kilogram untuk kualitas bagus, sedang dalam bentuk gelonggong Rp 200 ribu per kilogram.

Waktu panjang

Pengusaha kopi luwak, di Kelurahan Way Mengaku, Kecamatan Balik bukit, Lampung Barat, Mega Setiawan, beberapa waktu lalu mengatakan, proses untuk mendapatkan kopi luwak kualitas baik membutuhkan waktu cukup panjang.

"Proses untuk mendapatkan kopi luwak dimulai saat memberi makan luwak pada sore hari dengan hamparan biji kopi merah," jelasnya.

Tahap awal, katanya, luwak akan mencium kopi tersebut, lalu memilih mana yang benar-benar cocok dengan seleranya sehingga tidak semua biji yang diberikan akan disantapnya. "Dari rata-rata 2 kg biji kopi merah yang diberikan ke luwak, rata-rata hanya dimakan separuhnya," jelasnya.

Kopi yang sudah menjadi kotoran luwak dikumpulkan, dicuci menggunakan air yang mengalir. Kemudian dikeringkan di bawah cahaya matahari selama 20 hari akan diperoleh 0,1 kg kopi kering.

Pengusaha kopi luwak lainnya M Sapri menuturkan, perbedaan proses kopi luwak dengan kopi normal terletak pada pemilihan buah kopi, pengelupasan kulit luar, serta proses fermentasi alami. Pada kopi biasa pengelupasan kulit lunak menggunakan mesin, fermentasi di ruang terbuka dengan suhu 26 selama 36 jam, tanpa adanya penambahan enzim.

Selanjutnya kedua jenis kopi ini memasuki proses pengeringan. Untuk kopi biasa terkadang pengeringan menggunakan mesin pemanas (oven). Pengelupasan kulit tanduk, sortasi dan pengemasan, sedang kopi luwak cukup di jemur dengan cahaya matahari.

Penetrasi pasar

Pemasaran kopi luwak robusta Lampung saat ini volumenya masih kecil perlu ada penetrasi pasar sehingga kopi hasil fermentasi itu bisa dikenal luas baik di dalam maupun luar negeri.

"Promosi untuk mencari konsumen terutama di luar negeri harus gencar dilakukan pengusaha maupun petani yang membudidayakan kopi luwak," kata Ketua Kompartemen Renlitbang Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) Lampung, Muchtar Lutfie belum lama ini.

Menurutnya, peningkatan kualitas serta cita rasa khas kopi luwak, juga harus dipertahankan agar konsumen berminat membeli. Kontinuitas produksi menurut Muchtar, harus stabil tidak lebih atau pun berkurang. "Kopi luwak adalah kopi spesial sehingga mutu, citarasa dan kontinuitas produksi harus terjaga," ujarnya.

Saat ini konsumen kopi luwak robusta Lampung di dalam negeri masih sedikit, karena selain sulit didapat juga harganya mahal, sementara konsumen di luar negeri pun hingga saat ini masih sedikit karena itu perlu promosi terus menerus.

Di sisi lain, lanjutnya, konsumen kopi luwak robusta Lampung menginginkan cita rasa kopi hasil fermentasi itu tidak berubah sehingga penikmatnya dapat menikmati kekhasan aroma dan rasanya. "Konsistensi cita rasa kopi luwak robusta Lampung harus dipertahankan sehingga konsumen berminat untuk membeli kopi itu secara kontinyu," kata dia pula.

Konsumen menurutnya menginginkan peningkatan kualitas serta cita rasa yang tetap atau konsisten. "Biasanya kopi luwak robusta aromanya tidak tahan lama bila dibandingkan kopi jenis arabika," kata dia.

Budidaya kopi luwak di Lampung jelas dia, banyak terdapat di Lampung Barat, dan beberapa daerah lain seperti di Tanggamus dan Lampung Selatan. Ia menjelaskan, produksi kopi tersebut saat ini masih sedikit rata-rata sekitar 750 kilogram hingga 1 ton per bulan mengingat biaya budidayanya cukup mahal.

Sementara, harga kopi luwak robusta mencapai Rp 750 ribu hingga Rp 1 juta per kg, sedang kopi luwak jenis arabika di pasaran bisa mencapai Rp3 juta per kg. "Di Jerman harga kopi luwak arabika bisa mencapai Rp 9 juta per kg," jelasnya.

Konsumen di luar negeri, lebih memilih kopi luwak arabika karena kekhasan citarasanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com