Penumpang dengan mudahnya menolak kenaikan tarif bila setiap hari ada gangguan. Rabu (16/2/2011) kemarin, misalnya, gangguan wesel pun terjadi lagi di Stasiun Depok Baru sehingga kereta harus antre. Kereta Ekspres jadi tak ”secepat kilat” lagi karena terhadang antrean kereta-kereta ekonomi ”panas”.
Jangan sampai terulang lagi, kejadian Sabtu, 8 Januari 2011, ketika kenaikan tarif kereta ekonomi hingga 62 persen hanya diberlakukan dalam tempo 24 jam karena ada penolakan.
Apabila ingin direka-reka, tiga bulan adalah waktu yang paling pas untuk memperlihatkan adanya upaya pemenuhan SPM. Perlihatkan dulu, misalnya, niat untuk membangun prasarana bagi penyandang cacat untuk memperbaiki pelayanan di loket. Kemudian, perlahan beberkanlah rencana kenaikan tarif dengan target terukur untuk perbaikan pelayanan kereta api.
Nantinya, ketika tarif dinaikkan dari Rp 1.500 menjadi Rp 2.500, misalnya, harus sudah ada level pelayanan tertentu yang ingin diraih. Misalnya, menurunkan toleransi kereta penumpang ekonomi dalam kota (KRL) dari satu meter persegi untuk enam orang menjadi empat orang sehingga tidak perlu injak-injakan kaki lagi.
Saat ini adalah waktu yang tepat bagi Direktorat Jenderal Perkeretaapian untuk muncul dan menjelaskan SPM itu. Mengapa terus ”bersembunyi” ketika telah memproduksi suatu regulasi yang baik adanya? (HARYO DAMARDONO)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.