Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Go To Hell With Your Films

Kompas.com - 24/02/2011, 14:08 WIB

Ini pertanyaan yang cukup menggoda.

Dugaan kuat, hal ini terkait dengan UU Perpajakan 1983 yang di awal masa berlakunya belum secara secara spesifik  mengatur soal pajak royalti tersebut.  

Selain faktor itu, jangan dilupakan "jasa" Soedwikatmono yang pada pertengahan tahun 80 terjun menjadi importir film dan membangun jaringan bioskop modern 21 Group. Sebagai kompensasi atas investasinya di bidang itu, maka waktu itu kemungkinan besar pemerintah memang memberi fasilitas penangguhan pajak untuk sementara waktu.

Langkah penting pengusaha perfilman Sudwikatmono (Pak Dwi, kini almarhum) di masa itu ialah mengonsolidasi para importir film. Untuk menghadapi produsen/ eksportir film MPAA yang gemar mempermainkan harga/mengadu domba importir kita, pada awal Pak Dwi menyatukan importir dalam suatu asosiasi untuk berhadapan dengan pihak MPAA.  

Lima tahun pertama gagasan itu berhasil. Dunia perfilman marak kembali. Gairah memproduksi dan mengimpor film meningkat. Penonton kembali mendatangi bioskop untuk menonton film. Tetapi, pihak MPAA tidak puas dengan keadaan itu. Mereka lalu mengreasi berbagai gara-gara.  

Salah satunya, saat pemerintah hendak menggenjot produksi film nasional dengan mengurangi kuota film impor, pihak AS langsung menghadang dengan senjata pamungkas bernama Super Act 301. Mereka melarang ekspor tekstil kayu lapis masuk negara mereka. Kita pun menyerah. Itu terjadi pada tahun 1992.

Setelah itu, melalui agen-nya di Indonesia, pihak MPAA mempraktikkan politik adu domba di kalangan insan film. Asosiasi dan jaringan 21 mereka tuding melakukan monopoli. Heboh isu monopoli di tanah air itulah kelak yang  ditumpangi MPAA untuk memboikot asosiasi, lalu menjual langsung filmnya  di  Indonesia. Kepada para asosiasi dan jaringan 21 Group. MPAA hanya memberikan kompensasi fee senilai 15% untuk pengaturan pertunjukan film MPAA di Indonesia. Inilah masa importir kembali menjadi buruh di bekas lahannya sendiri. Pihak asosiasi dan 21 Group mereka angkat sebagai mitra/perwakilan mereka di sini. Itu lah yang berlaku hingga sekarang.

Ironis memang. Mereka mendepak Pak Dwi dengan alasan monopoli. Namun, dalam praktik selanjutnya, seluruh  fasilitas Pak Dwi yang dulu diidentifikasi sebagai monopoli, justru mereka manfaatkan dan nikmati hingga sekarang. Termasuk "penangguhan" pajak untuk royalti film-film mereka.  

Dan, kini setelah pemerintah melakukan intensifikasi pajak dengan kembali memungut kewajiban pajak royalti film impor tersebut, MPAA langsung memboikot.

Rasanya sulit kita mengerti bagaimana bisa negara AS yang mengklaim sebagai kampiun demokrasi, yang dulu mengajari pentingnya intensifikasi pajak untuk membiayai peningkatan demokrasi suatu bangsa, eh malah terang-terangan menolak bayar pajak.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com