Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

CSIS: Cabut atau Kurangi Subsidi BBM

Kompas.com - 11/05/2011, 08:33 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah disarankan segera mencabut atau setidaknya mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) supaya alokasi dana untuk keperluan itu bisa dialihkan pada kegiatan pembangunan prioritas, seperti perbaikan infrastruktur.

"Pemerintah sebaiknya segera mencabut atau mengurangi subsidi. Ini bisa dimulai dengan penghapusan subsidi premium," kata peneliti Departemen Ekonomi CSIS, Deni Friawan, saat memaparkan hasil studi tentang penyesuaian subsidi BBM di Jakarta, Selasa (10/5/2011).

Saat harga minyak dunia tinggi dan cenderung naik seperti sekarang, kata dia, merupakan waktu yang tepat untuk melakukan penyesuaian dengan mencabut atau minimal mengurangi subsidi BBM. "Momen ini harus dimanfaatkan. Saat harga minyak dunia tinggi, upaya penyesuaian dengan menghapuskan atau mengurangi subsidi akan menjadi konsekuensi logis yang bisa dipahami masyarakat," katanya.

Apalagi, kata Deni, fakta menunjukkan bahwa 80 persen bensin bersubsidi dinikmati 50 persen keluarga terkaya, sementara keluarga miskin dan hampir miskin masing-masing hanya menikmati 16 persen. "Jadi seharusnya penghapusan atau pengurangan subsidi segera dilakukan atau minimal awal tahun depan meski kami belum tahu apakah kondisinya masih sama seperti sekarang," kata Deni.

Ia juga menyarankan pemerintah menyertai penerapan kebijakan penghapusan/pengurangan subsidi BBM dengan program pemberian kompensasi bagi masyarakat atau merealokasi anggaran subsidi BBM ke pembiayaan pembangunan infrastruktur serta pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, dan program sosial.     

Lebih lanjut Deni menjelaskan, bila kebijakan subsidi BBM tetap dipertahankan, peningkatan harga minyak dunia akan memperlebar gap harga BBM bersubsidi dan BBM tak bersubsidi serta perbedaan harga di dalam dan luar negeri.

Peningkatan gap tersebut, menurut dia, mendorong peningkatan konsumsi BBM bersubsidi, yang akhirnya membuat realisasi anggaran untuk BBM bersubsidi melampaui jumlah yang ditetapkan.

Deni memperkirakan, dengan memperhitungkan kondisi penurunan produksi minyak dan apresiasi nilai tukar rupiah saat ini, pemberian subsidi BBM akan menambah defisit APBN 2011 sebesar Rp 18,8 triliun.

Menurut hasil simulasi koreksi subsidi BBM yang dilakukan peneliti Departemen Ekonomi CSIS, Pratiwi Kartika, jika pemerintah tetap mempertahankan kebijakan subsidi BBM saat harga minyak dunia tinggi, anggaran pemerintah akan membengkak.

Dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesia crude price/ICP) 80 dollar AS per barrel dan konsumsi BBM sekitar 23,2 juta kiloliter, kebutuhan dana subsidi BBM akan mencapai Rp 95 triliun atau 11,5 persen dari belanja pemerintah pusat. "Dari dana subsidi itu, Rp 41 triliun di antaranya untuk premium," katanya.  

Kartika menjelaskan pula bahwa dengan harga minyak dunia melebihi 100 dollar AS per barrel seperti saat ini, biaya subsidi akan melambung dan membuat kondisi APBN rentan.

Tanpa penyesuaian harga BBM premium dari pemerintah, katanya, biaya subsidi bahan bakar jenis ini akan membengkak dari Rp 41 triliun (5 persen dari APBN) menjadi Rp 69 triliun atau 8,2 persen dari total pengeluaran APBN. "Dengan kondisi seperti ini, pertumbuhan PDB diperkirakan berkurang sebesar 0,2 persen dari target yang ditetapkan APBN 2011. Hal ini disebabkan oleh pengurangan anggaran pos-pos lain dalam APBN untuk memenuhi pembengkakan biaya subsidi BBM," katanya.

Pembengkakan anggaran subsidi, jelas dia, pada akhirnya akan memaksa pemerintah memotong pos anggaran yang lain, salah satunya belanja modal. "Ini berarti mengurangi pembangunan infrastruktur. Padahal selama ini kondisi infrastruktur merupakan pengganggu utama iklim bisnis Indonesia," ujar Kartika. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kini Beli Sepatu Impor Tak Dibatasi, Ini Penjelasan Mendag

Kini Beli Sepatu Impor Tak Dibatasi, Ini Penjelasan Mendag

Whats New
TransNusa Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan S1, Ini Syarat dan Cara Daftarnya

TransNusa Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan S1, Ini Syarat dan Cara Daftarnya

Whats New
Suku Bunga BI Naik, ST012 Dinilai Lebih Menarik

Suku Bunga BI Naik, ST012 Dinilai Lebih Menarik

Earn Smart
Kesejahteraan Buruh Tani Era Jokowi dan Tantangan bagi Prabowo

Kesejahteraan Buruh Tani Era Jokowi dan Tantangan bagi Prabowo

Whats New
3,84 Juta Penumpang Naik LRT Jabodebek pada Kuartal I 2024

3,84 Juta Penumpang Naik LRT Jabodebek pada Kuartal I 2024

Whats New
Merger Tiktok Shop dan Tokopedia Dinilai Ciptakan Model Belanja Baru di Industri Digital

Merger Tiktok Shop dan Tokopedia Dinilai Ciptakan Model Belanja Baru di Industri Digital

Whats New
Lowongan Kerja Perum Damri untuk SMA/SMK, Ini Persyaratan dan Cara Mendaftarnya

Lowongan Kerja Perum Damri untuk SMA/SMK, Ini Persyaratan dan Cara Mendaftarnya

Work Smart
IMF Naikkan Proyeksi Pertumbuhan Asia, Ada Apa?

IMF Naikkan Proyeksi Pertumbuhan Asia, Ada Apa?

Whats New
Tak Mau Kejadian Nasabah Lempar Piring Saat Ditagih Kredit Terulang, PNM Kini Fokus Lindungi Karyawannya

Tak Mau Kejadian Nasabah Lempar Piring Saat Ditagih Kredit Terulang, PNM Kini Fokus Lindungi Karyawannya

Whats New
Bertemu Mendag Inggris, Menko Airlangga Bahas Kerja Sama JETCO dan Energi Bersih

Bertemu Mendag Inggris, Menko Airlangga Bahas Kerja Sama JETCO dan Energi Bersih

Whats New
Sepatu Impor Sudah Diterima Pemilik, Siapa yang Tanggung Denda Rp 24,74 Juta?

Sepatu Impor Sudah Diterima Pemilik, Siapa yang Tanggung Denda Rp 24,74 Juta?

Whats New
BI: Biaya Merchant QRIS 0,3 Persen Tidak Boleh Dibebankan ke Konsumen

BI: Biaya Merchant QRIS 0,3 Persen Tidak Boleh Dibebankan ke Konsumen

Whats New
Pemerintahan Baru Bakal Hadapi 'PR' Risiko Impor dan Subsidi Energi

Pemerintahan Baru Bakal Hadapi 'PR' Risiko Impor dan Subsidi Energi

Whats New
Kinerja Baik APBN pada Triwulan I-2024, Pendapatan Bea Cukai Sentuh Rp 69 Triliun

Kinerja Baik APBN pada Triwulan I-2024, Pendapatan Bea Cukai Sentuh Rp 69 Triliun

Whats New
Hadirkan Fitur Menabung Otomatis, Bank Saqu Siapkan Hadiah 50 Motor Honda Scoopy 

Hadirkan Fitur Menabung Otomatis, Bank Saqu Siapkan Hadiah 50 Motor Honda Scoopy 

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com