Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemiskinan Bukan Menjadi Penyebab

Kompas.com - 06/06/2011, 21:11 WIB

MALANG, KOMPAS - Peneliti berkebangsaan Australia David Wyatt menemukan, kemiskinan bukan faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya human trafficking (perdagangan manusia). Perdagangan terjadi karena bersatunya berbagai faktor katalis yang mendorong kemiskinan dan berbagai penyebab struktural seperti pendidikan yang rendah, rendahnya penegakan hukum, kelaparan, dan komitmen negara yang rendah untuk membebaskan warganya dari perdagangan manusia.

Wyatt menyampaikan itu saat mempresentasikan penelitiannya sebagai mahasiswa Australian Consortium for In Country Indonesia Studies (Acicis) kerja sama sejumlah perguruan tinggi Australia di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Senin (6/6/2011). Acicis adalah kerja sama pendidikan dan riset komunitas mahasiswa dan dosen Australia untuk meneliti Indonesia dengan cara tinggal (in country), tahun ini sudah berlangsung tahun kelima.

"Meski tentu kemiskinan merupakan faktor terbesar yang melatari munculnya perdagangan manusia, namun kemiskinan tak selalu menghasilkan perdagangan manusia. Kecuali ada faktor katalisnya, dan kemudian disusul dengan adanya penerimaan atau permintaan pasar terhadap obyek perdagangan manusia atau korban," katanya.

Wyatt menemukan, salah satu penyebab mengapa perdagangan manusia bisa membesar skalanya di Indonesia, karena tidak ada penegakan hukum. "Polisi Indonesia bisa berprestasi untuk dua dari tiga kejahatan besar dunia, yakni teorisme dan narkotika. Namun kejahatan ketiga yang tidak kalah penting, yakni perdagangan manusia, tidak cukup kuat untuk diberantas. Pada narkotika, kantor polisi wajib membuat laporan setiap bulan, namun pada kasus perdagangan manusia, tidak ada kewajiban. Pada terorisme ada Densus 88, namun tidak pada pada perdagangan manusia," katanya.

Jika saja, tambahnya, kewajiban yang sama dilakukan polisi untuk perdagangan manusia, maka kasus-kasus perdagangan manusia akan hilang seperti halnya terorisme. Menurut sumber Amerika Serikat, perdagangan manusia dari Indonesia, mencapai 1,8 juta di negara tujuan Arab Saudi, dan di negara-negara Melayu ada 2,6 juta orang.

Di dunia ada 12,3 juta orang korban perdagangan manusia, sebanyak 3 juta orang berasal dari Indonesia dan sebanyak 1,5 juta berumur di bawah 18 tahun. Sebanyak 80 persen diantaranya untuk motivasi eskploitasi seksual, dan sebanyak 18 persen untuk eksploitasi tenaga kerja (perburuhan).

Guru besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Malang Prof Dr Habib Moestopo menjelaskan, seperti di kampungnya di Tulungagung, proses berlangsungnya perdagangan manusia dalam bentuk fenomena pekerja migran, terjadi dengan banyak latar belakang. Ia setuju kemiskinan termasuk penyebab, namun berbagai alasan juga menjadi penyebab, termasuk kebudayaan.

"Perdagangan manusia bisa disebabkan oleh motivasi sekadar mencari uang banyak, demi mendapatkan modal, meski di rumah ia memiliki sawah dan rumah yang sebenarnya sudah cukup memadai. Orang rela kehilangan setahun dua tahun hidupnya demi mendapatkan beber apa juta dari pergi ke luar negeri sebagai TKI," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PMI Manufaktur April 2024 Turun Jadi 52,9 Poin, Menperin: Ada Libur 10 Hari...

PMI Manufaktur April 2024 Turun Jadi 52,9 Poin, Menperin: Ada Libur 10 Hari...

Whats New
Siapa Hendry Lie, Pendiri Sriwijaya Air yang Jadi Tersangka Korupsi Timah Rp 271 Triliun?

Siapa Hendry Lie, Pendiri Sriwijaya Air yang Jadi Tersangka Korupsi Timah Rp 271 Triliun?

Whats New
Inflasi Lebaran 2024 Terendah dalam 3 Tahun, Ini Penyebabnya

Inflasi Lebaran 2024 Terendah dalam 3 Tahun, Ini Penyebabnya

Whats New
Transformasi Digital, BRI BRI Raih Dua 'Award' dalam BSEM MRI 2024

Transformasi Digital, BRI BRI Raih Dua "Award" dalam BSEM MRI 2024

Whats New
Emiten Buah Segar BUAH Targetkan Pendapatan Rp 2 Triliun Tahun Ini

Emiten Buah Segar BUAH Targetkan Pendapatan Rp 2 Triliun Tahun Ini

Whats New
SYL Gunakan Anggaran Kementan untuk Pribadi, Stafsus Sri Mulyani: Tanggung Jawab Masing-masing Kementerian

SYL Gunakan Anggaran Kementan untuk Pribadi, Stafsus Sri Mulyani: Tanggung Jawab Masing-masing Kementerian

Whats New
Saat Sri Mulyani Sampai Turun Tangan Urusi Kasus Alat Tunanetra SLB yang Tertahan Bea Cukai

Saat Sri Mulyani Sampai Turun Tangan Urusi Kasus Alat Tunanetra SLB yang Tertahan Bea Cukai

Whats New
Emiten Manufaktur Kosmetik VICI Catat Pertumbuhan Laba Bersih 20 Persen Menjadi Rp 47,1 Miliar pada Kuartal I-2024

Emiten Manufaktur Kosmetik VICI Catat Pertumbuhan Laba Bersih 20 Persen Menjadi Rp 47,1 Miliar pada Kuartal I-2024

Whats New
Jalankan Fungsi Perlindungan Masyarakat, Bea Cukai Banten Berantas Peredaran Barang Ilegal

Jalankan Fungsi Perlindungan Masyarakat, Bea Cukai Banten Berantas Peredaran Barang Ilegal

Whats New
Impor Bahan Baku Tepung Kini Cukup dengan Dokumen Laporan Surveyor

Impor Bahan Baku Tepung Kini Cukup dengan Dokumen Laporan Surveyor

Whats New
BUAH Bakal Tebar Dividen, Ini Besarannya

BUAH Bakal Tebar Dividen, Ini Besarannya

Whats New
Kementerian ESDM Tetapkan Harga Biodiesel Naik Jadi Rp 12.453 Per Liter

Kementerian ESDM Tetapkan Harga Biodiesel Naik Jadi Rp 12.453 Per Liter

Whats New
Erupsi Gunung Ruang, Bandara Sam Ratulangi Masih Ditutup Sampai Hari Ini

Erupsi Gunung Ruang, Bandara Sam Ratulangi Masih Ditutup Sampai Hari Ini

Whats New
Turun, Inflasi April 2024 Capai 3 Persen

Turun, Inflasi April 2024 Capai 3 Persen

Whats New
Harga Tiket Kereta Api 'Go Show' Naik Mulai 1 Mei

Harga Tiket Kereta Api "Go Show" Naik Mulai 1 Mei

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com