JAKARTA, KOMPAS.com -- Manajemen PT Pertamina (Persero) mengusulkan agar pemerintah menerapkan proses bisnis minyak dan gas bumi yang terintegrasi dari hulu hingga ke hilir. Hal ini untuk memaksimalkan nilai tambah bagi Pemerintah Indonesia dan agar potensi migas domestik diprioritaskan untuk kebutuhan energi di dalam negeri.
Pelaksana Tugas Harian PT Pertamina (Persero) Waluyo menyampaikan hal itu dalam paparannya pada rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, yang membahas mengenai perubahan Undang Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas, di Gedung MPR/DPR Jakarta. Usulan itu sebagai masukan dalam draft revisi UU Migas.
Menurut Waluyo, cadangan minyak bumi yang dimiliki Indonesia harus menjadi bagian dari stok nasional. Amerika Serikat, misalnya, memasukkan cadangan minyak bumi sebagai stok nasional.
Selain itu, pemerintah harus memanfaatkan dan mengembangkan semaksimal mungkin perangkat perminyakan dan infrastruktur yang telah dimiliki Indonesia. Pihaknya juga meminta agar Pertamina selaku perusahaan nasional yang 100 persen milik pemerintah ditetapkan sebagai manajemen pengelola semua produksi gas bumi di seluruh wilayah kerja panas bumi Indonesia, mulai dari produksi, pengelolaan transportasi hingga penjualan. "Semua potensi migas domestik digunakan untuk kebutuhan energi dalam negeri terjadi di hampir semua negara," ujarnya.
Sejauh ini, pihaknya menilai kurang atau tidak sinerginya kebijakan dan pengelolaan industri migas di Indonesia. Hal ini mengakibatkan tidak terjadi perbaikan berkelanjutan dalam kualitas pengelolaan lahan migas di Indonesia.
Oleh karena itu, pengembang model kontrak pengelolaan migas oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pelakasna kontrak migas adalah Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas dan Kementerian Keuangan, serta pelaksana bisnis migas adalah Pertamina.
Dalam bisnis gas alam cair (LNG) Indonesia, para kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) mempunyai strategi dan kepentingan yang berbeda, sehingga terjadi persaingan internal LNG Indonesia yang menyebabkan posisi tawar dalam penjualan LNG turun. "Saat ini KKKS lebih berperan dari BP Migas dan Direktorat Jenderal Migas dalam hal pemasaran dan operasi penjualan," ujarnya.
Rata-rata produksi minyak siap jual (lifting) Indonesia saat ini sekitar 900.000 barrel per hari. Pertamina biasanya menerima 571.000 barrel per hari namun saat ini menerima di bawah angka itu sebagai bagian pemerintah yang diolah di kilang Pertamina. Total lifting Indonesia sudah sangat rendah dibandingkan kebutuhan kilang domestik.
"Hal ini mengkhawatirkan dalam keamanan pasokan minyak mentah untuk ketahanan energi Indonesia. Untuk itu, Indonesia harus segera berbenah diri mengatur pengelolaan migas," kata Waluyo.
Presiden Direktur PT Medco E & P Indonesia Frila Berlini Yaman menyatakan, perlu dibuat perundang-undangan yang cukup generik atau umum namun memberi peluang bagi perubahan aturan pelaksanaan secara cepat, mengikuti kondisi nyata di industri migas pada setiap saat.
"Bisnis migas hendaknya tetap dipertahankan sebagai salah satu industri strategis, di mana dukungan pemerintah pusat sangat diperlukan, terutama untuk isu-isu terkait dengan instansi pemerintah nonmigas baik Kementerian Kehutanan, pemerintah daerah, dan Kementerian Lingkungan Hidup," tuturnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.