JAKARTA, KOMPAS.com - Perencana keuangan independen, CEO TGRM Financial Planning Services, Taufik Gumulya, menyebutkan, tidak semua produk asuransi investasi atau sering dikenal dengan sebutan unit link itu jelek.
"Perencana keuangan di Indonesia mostly dia mengatakan (produk asuransi) unit link jelek, tapi sayangnya tidak dibahas yang single premium," ujar Taufik kepada Kompas.com, di Jakarta, Rabu (12/10/2011).
Menurut dia, produk asuransi unit link, yang berbasis proteksi dan investasi, itu terbagi dua pembayaran preminya. Ada premi yang dibayarkan setiap tahun (regular premium) dan ada yang dibayar hanya sekali saja (single premium).
Menurut Taufik, produk unit link dengan single premium itulah yang bagus. "Peraturan Direktorat Jenderal Perasuransian Bapepam-LK itu menyatakan bahwa dari yang diinvestasikan awal itu 125 persen harus menjadi uang pertanggungan," ujar dia.
Maksudnya, ketika nasabah menginvestasikan dana sebesar Rp 10 juta, maka paling tidak keluarga akan menerima Rp 12,5 juta pada saat nasabah meninggal. Itu berlaku sekalipun kondisi ekonomi sedang tidak bagus seperti sekarang ini.
Jadi, terang dia, ada semacam lindung nilai dalam unit lik dengan single premium. "Tapi manakala investasi jadi Rp 15 juta, keluarga terima 15 juta," jelasnya.
Unit link jenis ini pun pas untuk dimiliki oleh orang tua yang mendekati usia pensiun. Ini karena produk asuransi tradisional mempunyai kelemahan yaitu adanya batasan usia sampai usia 70 tahun. Jadi, untuk orang tua dengan usia 63 hingga 65 tahun, bagus untuk memiliki single premium.
Sementara produk unit link dengan regular premium, ia mengatakan biayanya mahal. Pada tahun pertama, misalnya, nasabah dengan premi Rp 12 per tahun, tidak akan ada investasi. "Jadi, nol persen investasinya," tambah dia.
Investasi baru ada pada tahun kedua. Misalnya, sebanyak 15 persen dari premi akan diinvestasikan. Persentase yang diinvestasikan akan semakin meningkat pada tahun-tahun berikutnya. "(Persentase) tergantung perusahaannya, ini saya ambil yang umum. Tahun ketiga dia mengambil 85 persen investasi, tahun keempat 85 persen, dan tahun kelima 85 persen. Tahun keenam 100 persen investasi dari premi yang 100 persen kita setorkan," jelas dia.
Komposisi tersebut, lanjut dia, dinamakan biaya akuisisi. Dengan komposisi biaya akuisisi tersebut, otomatis pertumbuhan investasi nasabah lambat. Padahal, antara asuransi dan investasi merupakan kebutuhan dasar bagi seorang nasabah. "Manakala dia umurnya panjang investasi yang dikejar, manakala dia umurnya pendek proteksi yang dikejar. Kita nggak tahu," sebut Taufik.
Nah, perbedaan ini pun seringkali dimanfaatkan agen asuransi. Agen terkadang menyiasati nasabah yang menginginkan single premium, tapi dialihkan ke yang regular premium. "Seolah-olah yang reguler itu dibikin menjadi single premium. Itu akal-akalannya si agen asuransi," ungkap dia.
"Bapak cukup bayar (premi) sekali aja, tapi nanti setiap bulan kami potong ya Pak," ungkap dia menirukan siasat dari agen asuransi.
Sebagai salah satu solusi, Taufik menyarankan, ada baiknya nasabah konsultasi ke konsultan atau perencana keuangan terkait kejelasan suatu produk unit link. "(Jadi) tidak serta merta saya katakan (unit link) jelek, masih ada plusnya asal tepat," tegas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.