Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Suku Bunga Turun? Indonesia Bisa!

Kompas.com - 21/11/2011, 01:47 WIB

A TONY PRASETIANTONO

Respons terbaik terhadap datangnya krisis ekonomi global adalah memberikan stimulus kepada sektor riil, baik melalui jalur moneter maupun fiskal. Dari sisi moneter, suku bunga diturunkan, sedangkan dari sisi fiskal diperlukan ekspansi belanja pemerintah agar bisa menciptakan proyek-proyek yang menyerap angkatan kerja. Formula ini tampak sederhana, tetapi tidak mudah diimplementasikan.

Bank Indonesia (BI) belakangan ini gencar mengampanyekan penurunan suku bunga. Dalam dua bulan terakhir, suku bunga acuan (BI Rate) diturunkan 0,75 persen menjadi 6 persen. Namun, selanjutnya, seberapa efektif hal ini dapat menurunkan suku bunga kredit, yang diharapkan dapat memacu pertumbuhan kredit?

Upaya menurunkan suku bunga sudah dilakukan lama, tetapi menemukan beberapa kendala. Kendala inflasi, misalnya, tahun ini dapat ”dijinakkan”. Namun, saya prediksikan inflasi rendah ini bersifat sementara. Tahun depan inflasi masih berpotensi naik di atas 5 persen.

Bulan Oktober 2011 telah terjadi deflasi 0,12 persen sehingga inflasi year on year dapat ditekan menjadi 4,42 persen. Inflasi kalender (Januari-Oktober 2011) bahkan hanya 2,85 persen. Dengan tersisa dua bulan, tampaknya pada akhir tahun ini inflasi dapat ditahan 4 persen, jauh lebih rendah dari asumsi pemerintah sebelumnya, 5,7 persen.

Namun, jangan diabaikan, inflasi rendah ini sesungguhnya berkat pengorbanan subsidi bahan bakar minyak yang besar, yang tahun ini Rp 120 triliun. Jelas tidak sehat karena volume APBN 2011 adalah Rp 1.320 triliun. Berarti subsidi bahan bakar minyak menelan 9 persen dari seluruh belanja negara. Menjadi ironis karena angka itu hampir menyamai belanja pembangunan infrastruktur oleh pemerintah yang Rp 140 triliun. Padahal, kondisi infrastruktur dituding sebagai titik terlemah dalam upaya menarik investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Inflasi akhir tahun 2011 saya perkirakan 4 persen. Angka ini termasuk rendah untuk ukuran ekonomi Indonesia. Angka terendah terjadi tahun 2009, saat inflasi hanya 2,78 persen, akibat lesunya daya beli yang disebabkan krisis ekonomi global. Dengan modal inflasi 4 persen, BI berani menurunkan BI Rate menjadi 6 persen. Namun, sebenarnya masih ada kerawanan yang disebabkan oleh krisis ekonomi global. Krisis ekonomi Italia yang menanggung beban utang 2 triliun euro sejauh ini belum menimbulkan kepanikan di Indonesia.

Namun, harus terus diwaspadai mengingat krisis juga mengancam Portugal dan Spanyol. Patut diwaspadai kemungkinan terjadinya pelarian modal dari Indonesia. Yang menjadi masalah, seberapa kuat zona euro mampu memberikan talangan kepada anggotanya yang terkena krisis? Zona euro memang masih mampu menalangi Yunani dengan 200 miliar euro, tetapi apakah juga bisa tahan jika harus menginjeksi Italia, Portugal, dan Spanyol?

Jika tidak tahan, yang terjadi adalah kenaikan imbal hasil (yield) obligasi negara-negara tersebut. Obligasi Yunani kini harus diberi imbalan di atas 22 persen, sedangkan Italia 7,5 persen. Angka ini sangat tinggi. Italia merupakan kekuatan ekonomi nomor tiga di zona euro sesudah Jerman dan Perancis sehingga sangat ironis jika yield obligasinya setinggi itu. Yield untuk Jerman dan Perancis hanya 3-4 persen.

Ekonom terkenal Paul Krugman termasuk yang skeptis terhadap masa depan zona euro (The New York Times, 12/11/2011). Ia memperkirakan zona euro bakal bubar. Alasannya, negara euro yang terkena krisis seperti Yunani mestinya punya kebijakan mata uang sendiri untuk meredam krisis. Krugman mencontohkan, Pemerintah Amerika Serikat punya keleluasaan mencetak uang baru membeli kembali obligasinya dari pasar surat berharga (kebijakan quantitative easing atau relaksasi likuiditas). Ini tidak mungkin dilakukan Yunani. Mencetak uang adalah urusan zona euro. Oleh karena itu, sulit mempertahankan mata uang euro.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com