Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Roziq dan Ikan Koi Lereng Kelud

Kompas.com - 15/03/2012, 12:12 WIB

Dody Wisnu Pribadi

Seharusnya Mohammad Roziq menjadi guru jika menilik ijazah sarjananya sebagai lulusan Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, Malang, Jawa Timur, tahun 1991. Namun, seperti dikatakannya, ”Gaji guru sukarelawan hanya cukup untuk membeli sabun.”

Karena itu, seperti pemuda lain sedesanya, Desa Kemloko, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, yang berjarak 10 kilometer lereng barat Gunung Kelud, Roziq menambah penghasilan dengan membudidaya atau bertani ikan hias.

Sejak lebih kurang 20 tahun lalu, Kemloko dan desa-desa lain di Blitar memasok ikan hias untuk akuarium air tawar. Ikan seperti black molly, berta, cupang, zebra, manfish, ikan mas, dan mas koki menjadi tambahan penghasilan mereka selain bertani.

Saat mondar-mandir memasok ikan hias ke Surabaya, Malang, dan Yogyakarta, Roziq tertarik dengan ikan koi (Cyprinus carpio Linn). Berbeda dengan ikan hias lain, di matanya, koi mempunyai beragam motif, kekayaan warna, dan bentuk tubuh. Ini yang membuat orang suka ikan koi dibandingkan dengan ikan hias lain, seperti ikan louhan dan ikan arwana.

”Ikan louhan dan arwana bagus juga, cuma berwarna putih, sedangkan ikan koi jinak, pemeliharaannya mudah, tak gampang mati. Harganya bervariasi, dari yang murah sampai sangat tinggi,” katanya.

Tahun 1988 Roziq menekuni budidaya ikan koi bersama adiknya, Muhson. Namun, letusan Gunung Kelud tahun 1991 membuat kolamnya yang seluas 800 meter persegi rusak, tertutup abu dan pasir. Muhson kecewa, lalu merantau ke Malaysia. Jadilah dia sendiri menekuni budidaya koi.

Sejak itulah Roziq mengukir sejarah budidaya ikan koi di Kemloko. Bahkan, ekonomi ikan koi pun meluas sampai ke Kota dan Kabupaten Blitar. Roziq pun takjub karena harga seekor ikan koi bisa mencapai Rp 50.000 per ekor pada 1990-an. ”Padahal, harga seekor kambing muda waktu itu Rp 50.000. Saya jadi bergairah mengembangkan koi. Apalagi harga ikan hias lainnya seperti black molly hanya Rp 10 per ekor,” kisahnya.

Ikan koi relatif mudah dibudidayakan. Tantangannya adalah bagaimana mendapatkan anakan koi yang warna, tubuh, dan motifnya bagus. Alasannya, pusat ketertarikan penggemar koi terutama pada warna dan motif. ”Jika koi dalam jumlah banyak ditebar ke kolam, sangat menarik mengamati ikan-ikan itu berenang- renang dalam rombongan. Daya tarik seperti ini tak ada pada ikan lain. Ini yang membuat koi bernilai tinggi,” katanya.

Apalagi kegemaran pada koi juga memunculkan lomba dan kontes koi. Harga seekor koi yang menang lomba akan meroket. ”Kegemaran pada koi sudah menjadi hobi bergengsi, bahkan ada penggemar yang membeli sendiri koi dari Jepang demi kontes itu,” ujarnya.

Kesuksesan dengan budidaya koi membuat petani lain di Kemloko mengikuti jejaknya. Apalagi Roziq tak pelit berbagi ilmu. ”Kata guru agama, sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi manusia lain. Saya tunjukkan saja bagaimana memijahkan indukan, memilih indukan koi, sampai memilih anakan berkualitas kontes,” katanya.

Ketekunan dan eksperimen

Membudidayakan koi bisa membuat Roziq meraih keuntungan lumayan. Namun ia mengingatkan, membudidayakan koi memerlukan daya dukung lingkungan relatif luas. Ini diperlukan karena pada seleksi akhir, 100-150 koi memerlukan kolam seluas 600 meter persegi. Anakan itu diambil dari sekitar 10.000 anakan koi dari satu siklus penetasan pada satu indukan.

Satu siklus anakan itu memerlukan masa tumbuh tiga bulan. Itu belum termasuk kegagalan sebab bisa terjadi tiga-enam kegagalan penetasan. ”Ini bisnis budidaya yang memerlukan ketekunan. Tak bisa begitu saja diserahkan kepada karyawan dan kita tinggal memetik hasil. Kita harus terlibat langsung, mengamati corak ikan, sampai mencari motif dan warna apa yang sedang dikehendaki pasar. Risiko gagal bisa dihindari dengan ketekunan,” katanya.

Kondisi ini menjadikan budidaya ikan koi tak mudah dikembangkan sebagai industri massal seperti ternak ayam petelur atau pedaging. ”Meski menjanjikan, belum ada investasi besar untuk budidaya ikan koi di Kemloko. Oleh karena itulah, produktivitasnya belum bisa dipacu. Mungkin karena itu pula ikan koi impor asal Jepang tetap tak bisa ditandingi jika diadu dengan ikan koi dalam negeri dalam arena kontes,” kata Roziq.

Kini ratusan petani padi di Kemloko mengonversi sawahnya menjadi kolam ikan koi. Di sisi lain, desa-desa produsen ikan koi pun mulai menghadapi wabah penyakit, yakni pembengkakan insang pada ikan koi yang menular dan menimbulkan kematian. Petani juga mulai menemukan hubungan dengan kejenuhan lahan jika terus-menerus dijadikan kolam. Meski demikian, petani juga mendapati jalan keluarnya.

”Petani di Blitar umumnya bereksperimen sendiri untuk mencari pemecahan masalah. Misalnya, mereka menemukan bahwa masa bertelur indukan bisa diatur sesuai dengan keperluan, dari sebulan hingga setahun. Ini tergantung kesiapan modal pakan petani,” cerita Roziq. Ia menambahkan, selama ini petani Blitar belum sekaligus menjadi pedagang ikan.

Keterampilan yang diawali dan dirintis Roziq membuat ikan koi menjadi budaya di Blitar. Setidaknya, ada tiga kontes koi berskala lokal, regional, dan nasional yang setiap tahun diadakan di Blitar. Penggemarnya tak pernah kehilangan antusiasme. Blitar pun dikenal sebagai standar kualitas tinggi di jagat pasar koi.

Pedagang ikan kerap mempromosikan ikannya, koi asli Blitar. Belakangan muncul wilayah lain sebagai pesaing, misalnya koi dari Sukabumi, Jawa Barat. Munculnya pesaing tak membuat Roziq gentar. Dia tetap berbagi pengetahuan tentang budidaya ikan koi kepada siapa pun yang bertanya.

Meskipun kini kolam ikan koinya sudah tersebar di beberapa lokasi, gaya hidup Roziq relatif tidak berubah. Dia tetap mengerjakan dan mengawasi sendiri budidaya ikan koinya. Sang istri, Himmatul Aminah, tetap bekerja sebagai guru agama di sekolah menengah yang berjarak sekitar 18 kilometer dari desanya. ”Saya saja yang berhenti menjadi guru,” ujarnya sambil tertawa.

Roziq yakin, budidaya ikan koi tetap menjanjikan karena pasarnya berskala dunia. Keyakinan itu tampaknya tak berlebihan. Sebab, suatu ketika sang istri membawa pulang baju seragam batik untuk guru dengan motif ikan koi. Bahkan, patung dan relief koi pun kini menghiasi gapura di Blitar.

Ikan koi seakan identik dengan Blitar. Lingkaran tengah lapangan sepak bola Stadion Kota Blitar pun oleh Pemerintah Kota Blitar diberi gambar ikan koi. Blitar menjadikan ikan koi sebagai simbol, kebanggaan, dan ”penanda” kota tersebut.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com