Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Inilah Akar Persoalan Mudik Versi Pemerintah

Kompas.com - 10/05/2012, 14:14 WIB
Didit Putra Erlangga Rahardjo

Penulis

BANDUNG, KOMPAS.com- Kemacetan yang belum bisa dipecahkan selama arus mudik berlangsung memiliki beberapa penyebab yang berdiri terpisah. Inilah analisa Kementerian Pekerjaan Umum atas persoalan kemacetan selama arus mudik seperti diungkapkan Winarno, Direktur Pelaksana Bina Wilayah II Direktorat Jenderal Bina Marga, dalam rapat koordinasi arus mudik lebaran, di Bandung, Kamis (10/5).

Menurut Winarno, beberapa di antara penyebab itu seperti pemanfaatan bagian jalan tidak seperti seharusnya, kendaraan dengan beban melampaui ketentuan, minimnya rambu jalan, posisi bangunan terlalu dekat dengan jalan arteri, maupun hingga budaya berkendara.

"Selain itu ada beberapa kendala terkait infrastruktur seperti sosialisasi penggunaan Jalan Lingkar Nagreg, maupun rusaknya jalur Sadang-Cikamurang yang kerap dipakai sebagai jalur alternatif," ujar Winarno.

Hal serupa juga diungkapkan Ahmadi, Kepala Subdirektorat Direktorat Jenderal Perhubungan Darat. Penggunaan badan jalan untuk ngetem hingga pasar tumpah menyebabkan penyempitan badan jalan dan berujung pada kemacetan lalu lintas.

Kepala Bidang Manajemen Operasional dan Rekayasa Korps Lalu Lintas Mabes Polri, Komisaris Besar Gatot Subroto, menjelaskan bahwa kemacetan kian kronis karena tidak ada pertambahan angkutan massal. "Sebaliknya, jumlah kendaraan pribadi seperti roda empat dan roda dua terus meningkat," katanya.

Pernyataan Gatot didasarkan atas hasil survei yang mereka lakukan pada 18-24 Maret 2012. Survei tersebut juga mengungkapkan titik yang bermasalah seperti Kilometer 8+400 jalur tol Jakarta Cikampek maupun Pasar Cikampek.

Berdasarkan catatan Kompas, persoalan utama arus mudik adalah tingginya volume kendaraan yang bergerak pada waktu yang sama, ditambah dengan mahalnya biaya transportasi umum.

Harga tiket kereta dan bus kelas ekonomi untuk tujuan Jakarta-Solo dan Jakarta-Yogya misalnya, rata-rata sudah hampir Rp 100.000 per penumpang. Jika pemudik membawa istri dan dua anaknya, mereka harus mengeluarkan Rp 800.000 sekeluarga pergi pulang.

Itu baru ongkos kereta atau bus. Belum termasuk ongkos angkutan ke terminal/stasiun di Jakarta dan di kota tujuan. Untuk dicatat, tarif bus dan angkutan di daerah biasanya juga naik selama musim angkutan Lebaran.

Dengan mahalnya biaya transportasi, ditambah dengan biaya transportasi selama di kampung, membuat para pedagang kecil, buruh, dan lainnya, memilih menggunakan sepeda motor, meski itu melanggar aturan (berpenumpang lebih dari dua orang). Sebab, dengan sepeda motor, biaya transportasi tak lebih dari Rp 100.000 untuk satu keluarga.

Bagi mereka yang mampu, mahalnya tarif pesawat dan kereta api eksekutif membuat pemudik memilih mobil pribadi memilih mengemudikan sendiri kendaraannya yang tak akan lebih dari Rp 750 juta sekali jalan untuk 4-5 orang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Usai Gempa Garut, Pertamina Pastikan SPBU hingga Pangkalan Elpiji di Jabar Aman

    Usai Gempa Garut, Pertamina Pastikan SPBU hingga Pangkalan Elpiji di Jabar Aman

    Whats New
    Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

    Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

    Whats New
    BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

    BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

    Work Smart
    Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

    Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

    Whats New
    Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

    Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

    Whats New
    Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

    Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

    Whats New
    Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

    Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

    Whats New
    Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

    Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

    Whats New
    Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

    Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

    Whats New
    Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

    Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

    Work Smart
    Dukung 'Green Building', Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

    Dukung "Green Building", Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

    Whats New
    Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

    Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

    Whats New
    Kinerja Pegawai Bea Cukai 'Dirujak' Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

    Kinerja Pegawai Bea Cukai "Dirujak" Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

    Whats New
    Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

    Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

    Whats New
    Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

    Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

    Work Smart
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com